Saturday, August 7, 2021

Cara Keras Untuk Berubah

SAYA selalu percaya dan yakin, sejak dibuka di Subud, bahwa perubahan diri tidak perlu kita upayakan, apalagi dengan mengerahkan akal pikir dan nafsu. Perubahan sikap dan perilaku, selama ini, yang saya alami, berjalan sendiri, dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Esa. Cepat atau lambatnya tergantung dari isi diri saya dan seberapa tekun saya dalam melakukan Latihan Kejiwaan.

Di mata istri saya, perilaku saya belum banyak berubah meskipun sudah 17 tahun melakukan Latihan Kejiwaan. Saya masih pemarah, keras kepala, egois, selalu mau benarnya sendiri. Bukannya saya senang dengan perilaku itu, saya malah merasa terbebani. Inilah bedanya saya sebelum dan sesudah menerima Latihan Kejiwaan. Sebelum dibuka dahulu, jauh sebelum saya bersentuhan dengan Subud, bila saya berperilaku buruk hal itu terlupakan oleh saya; saya melakukannya tanpa kesadaran. Sekarang, setelah dibuka, saya langsung tersadar (atau disadarkan oleh jiwa saya) bahwa suatu tindakan atau perkataan saya telah menyakiti orang lain.

Pasti akan muncul pertanyaan dari pembaca, “Lalu, kalau sadar, kenapa masih juga melakukannya?” Ya, saya juga tidak mengerti. Kadang, pengulangan perkataan atau perbuatan buruk saya adalah untuk benar-benar membuat saya jera dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Kadang pula bermakna bahwa saya menjadi kepanjangan tangan Tuhan untuk memperbaiki perilaku seseorang; ada yang segera menyadarinya sehingga memaafkan saya, bahkan berterima kasih kepada saya, tapi ada pula yang tidak mau menerimanya, tidak mau menginsafinya, yang dia mau hanya menghakimi saya, seolah dia yang paling suci.

Setiap kali perkataan atau perbuatan saya menyebabkan kesedihan atau kemarahan istri saya, saya pasti akan memohon kepada Tuhan, juga kepada Yang Mulia Bapak, agar saya dibantu untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Entah sudah berapa ratus kali saya memohon hal itu, tapi tetap saja berulang dan berulang. Sampai suatu ketika...

Pada 27 Juni 2021, istri saya memeriksakan diri ke dokter karena penciuman dan indera perasanya hilang. Sejak beberapa hari sebelumnya, dia memang sudah batuk dan pilek serta kelelahan yang menimbulkan gejala masuk angin. Dia dites swab antigen oleh dokter di klinik 24 jam di dekat rumah kami dan hasilnya menyatakan istri saya positif Covid-19. Baik istri maupun saya langsung lemas. Bukan penyakitnya yang merisaukan, tapi kenyataan bahwa kami harus melalui episode yang sulit.

Istri saya langsung memutuskan untuk melakukan isolasi mandiri (isoman). Saya dan anak saya serta asisten rumah tangga kami harus melakukan tes swab antigen pula. Puji Tuhan, hasilnya negatif, dan itu sekaligus memastikan bahwa saya dan anak saya harus berpisah sementara dari istri saya.

Sebenarnya itu mudah—dia bisa menempati dan mengurung diri di satu kamar tidur di rumah kami, tapi menjadi sulit karena dengan pertimbangan ada anak kami yang masih kecil di rumah. Istri pun terpaksa tidak isoman di rumah sendiri. Dia dibolehkan satu tetangga kami untuk menempati garasi rumahnya yang tidak terpakai. Selang seminggu kemudian, istri saya pindah ke rumah kosong yang pemiliknya pernah mengontrakkan rumah ke kami ketika kami baru pindah ke Pondok Cabe. Pemiliknya mengizinkan istri saya isoman di rumah kosong itu tanpa harus membayar biaya sewa.

Selama istri isoman, saya mengganti perannya sebagai ibu rumah tangga, yang tentunya sulit bagi saya karena saya belum terbiasa. Selama ini, saya terlalu dependen pada istri, sehingga saya tidak belajar banyak tentang mengurus rumah tangga. Yang paling repot adalah mendampingi anak perempuan kami yang dalam usia empat tahun delapan bulan sedang sangat aktif. Dia selalu menuntut ditemani oleh saya, termasuk saat dia tidur. Sedangkan pada saat yang sama saya banyak pekerjaan. Saya sering harus mencari cara bagaimana rapat Zoom saya dengan klien tidak direcoki anak—seringnya tidak berhasil.

Di satu titik dalam periode 19 hari istri saya isoman, jauh dari rumahnya sendiri, yang ditempati saya dan anak kami, satu keponakan perempuan berumur 21 tahun dan satu asisten rumah tangga, saya berkeluh-kesah kepada Tuhan, mengapa kami harus melalui cobaan ini. Saat itu, malam hari, usai saya menidurkan anak saya, di kamar tidur yang biasanya ditempati anak dan istri saya.

Segera setelah saya berkeluh-kesah dalam hati, saya mendapatkan pengertian: “Bukankah kamu selama ini sering memohon kepada Tuhan agar kamu bisa berubah menjadi baik? Dia memberimu cobaan ini karena cara inilah yang bisa mengubahmu. Kamu perlu cara keras untuk berubah, Arifin! Well, sifat ‘keras’ itu sebenarnya menurut akal pikirmu! Kalau kamu berserah diri dengan sabar, tawakal dan ikhlas, sesungguhnya caraNya ini justru dipenuhi kasih sayangNya kepadamu. Cara ini yang cocok buatmu, Arifin. Syukuri saja dan semua akan baik-baik saja bagimu dan bagi keluargamu!”

Saya tertegun di tempat tidur. Perasaan suka cita memenuhi diri, menggetarkan rasa. Singkat cerita, saya menyaksikan diri saya berubah. Pada hari Minggu siang ini, 7 Agustus 2021, sesaat setelah menikmati makan siang dengan menu mie ayam yang saya racik, di ruang tamu, istri saya berkata, “You sekarang sudah banyak berubah. Aku bersyukur karenanya.” Puji Tuhan.©2021

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Agustus 2021