Saturday, February 26, 2011

Merindu di Bulan Februari

Kado ulang tahun buat istriku...


Kecupan pagi yang kau beri setiap pagi

membuka cakrawala yang berseri-seri,

menyambut cinta yang kusisipkan di hati

yang merindu di bulan Februari

Tetes-tetes hujan merangkul sunyi

Hening meruyak di tengah pagi

ketika ku kenang semua ulang tahunmu,

yang menjadikanmu baru setiap waktu

Namun dengan nuansa cintamu tetap sama

—masih merengkuh asa, mendekap pesona

Tak pernah henti tercurah dari hati

yang merindu di bulan Februari

Izinkan aku membalas kecupanmu,

mengungkapkan peri rasa kasih yang berpadu

dengan segenap cinta dan rindu

akan kehadiran asa dan pesona

mendampingi kehidupan kita di dunia

Di hari ulang tahunmu ini, Istriku,

takkan kubiarkan berlalu seiring waktu

semua kenangan yang tercipta dari berbagi hati

yang merindu di bulan Februari...


Jakarta, 24 Februari 2011

Sunday, February 13, 2011

Berubah Pikiran


“Perubahan tidak akan datang jika kita menunggu orang lain atau waktu yang lain. Kita menunggu diri kita sendiri. Kitalah perubahan yang kita cari.”

Barack Obama



Setelah membaca cukup banyak literatur, ucapan-ucapan para guru bijak maupun sejumlah pengalaman yang pernah saya lalui, saya semakin yakin bahwa apa pun yang kita pikirkan atau ucapkan dengan landasan niat yang kuat pasti akan terwujud. Entah itu kebaikan atau pun keburukan. Yang kita pikirkan tentang diri kita, anggapan kita, dalam sekejap dapat menjadi doa, yang pada gilirannya akan menjadikan kita sebagaimana yang kita pikirkan atau anggap sebelumnya.


Pengalaman-pengalaman saya pribadi membuktikan hal itu. Beberapa tahun lalu, saya pernah berujar ke salah seorang kawan saya bahwa saya ingin sekali jalan-jalan ke berbagai tempat tetapi digaji untuk itu. Dengan kata lain, pekerjaan saya adalah berlibur (vacationing for a living). Saya segera melupakan ucapan saya itu. Tetapi saya langsung teringat kembali setelah sang kawan mengingatkan saya pada ucapan saya sekitar tiga tahun yang lalu itu, setelah ia menyadari bahwa apa yang saya ucapkan itu menjadi kenyataan pada tahun 2009, ketika saya didaulat untuk menulis buku tentang Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua, yang untuk maksud itu saya pun harus terbang ke sana. Honor yang saya terima untuk penulisan buku itu tidak sedikit. Sejumlah daerah destinasi wisata di Nusantara saya sambangi dan memperoleh bayaran untuk itu!


Beberapa waktu lalu, saya berpikir (atau tepatnya, berkhayal) diri saya menjadi penulis naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat (copywriter) yang terkenal, sehingga dengan demikian saya bisa memperoleh banyak pekerjaan. Tidak lama setelah saya berkhayal sedemikian rupa, saya sering dihubungi oleh orang-orang yang mengaku mendapat rujukan dari orang-orang yang mengenal saya—tetapi mereka tidak mau memberitahu saya nama-nama pemberi rujukan—bahwa saya merupakan copywriter andalan saat ini. Hah?!


Robert Scheinfeld membahas fenomena ini dalam bukunya, The 11th Element: The Key to Unlocking Your Master Blueprint for Wealth and Success (New York: Wiley, 2003). Begitu pula Rhonda Byrne lewat The Secret (New York: Atria Books, 2006) atau ‘Rahasia’, walaupun sebenarnya bukan rahasia lagi, lantaran Buddha Gautama sudah mengamati fenomena alami ini ribuan tahun yang lalu, sehingga ia pun berujar, “Kamu menjadi seperti apa yang kamu pikirkan.”


Yang menjadi pertanyaan saya belakangan ini adalah, apabila pemikiran atau anggapan, atau bahkan khayalan saja bisa menjadi kenyataan, cepat atau lambat, lantas mengapa banyak orang yang tetap menderita kemiskinan, kekurangan materi, tertinggal secara intelektual dan sakit-sakitan?


Saya mengamati salah satu penjual bakso dan mie ayam langganan saya, sejak saya masih duduk di kelas satu sekolah menengah pertama, tahun 1980. Dia masih berjualan bakso dan mie ayam dengan gerobaknya yang lusuh dan kumuh, kadang keliling namun seringnya mangkal di depan sekolah dasar alma mater saya di Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, lantaran dia sudah tidak semuda dan seenerjik ketika saya pertama kali membeli darinya tiga puluh tahun yang lalu.


Saya bertanya-tanya, mengapa secara fisik dia tidak mengalami perubahan ke aras yang lebih baik. Yang berubah hanyalah penampilan busananya: ia tampak selalu mengenakan kupluk di kepalanya dan rajin salat, yang membuat saya berasumsi bahwa ia pastilah tak pernah berhenti berdoa dan berharap keadaan ekonominya berubah menjadi lebih baik. Nyatanya, secara ekonomi ia tidak berubah; masih lusuh dan kumuh, bukan hanya gerobaknya, tetapi juga penampilan dirinya.


Siang ini, saya membeli dua bungkus mie ayam darinya untuk makan siang saya dan istri. Ketika saya minta tambah kuahnya, dengan nada menghardik, ia mengatakan, “Ini sudah banyak!” Saya kaget, pasalnya kuah yang saya minta hanyalah air biasa, yang mendidih, bukan kuah kaldu, yang memang boleh ia jadikan alasan yang kuat untuk menolak permintaan saya, karena ketersediaannya yang terbatas.


Sesampainya di rumah, saya dan istri menyantap mie ayam itu. Bah, hambar rasanya, begitu pula rasa dua pentol bakso yang melengkapi masing-masing porsi, sehingga istri saya merasa perlu menambahkan bumbu penyedap, minyak wijen dan bawang putih goreng. Saat itulah, saya beroleh pemahaman, mengapa nasib si penjual bakso dan mie ayam langganan saya itu tidak berubah dari masa ke masa. Ia sendiri tidak berniat mengubahnya. Ia sudah puas dengan apa yang dikerjakannya, meski pelanggan telah sering mengeluhkan kekurangan dalam hal layanan dan kualitas produk. Dalam teori dan praktik pemasaran, kedua hal itu saja merupakan prasyarat utama untuk menciptakan pembelian berulang (repeat buying).


Saya teringat perkataan orang bijak bahwa alam bekerja keras untuk manusia, dan karena itu pula manusia mesti bekerja keras untuk mengimbanginya. Alam sudah menyediakan apa yang manusia butuhkan untuk kelangsungan hidupnya; tinggal manusia menggali, mengolah dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan dirinya. Hukumnya menetapkan bahwa hidup kita takkan berubah jika kita sendiri tidak mengupayakan perubahan itu. Tidak perlu menunggu orang lain atau waktu lain untuk mengalami perubahan itu. Yang bisa melakukan perubahan itu adalah kita sendiri dan sekarang!


Berdoa dan berharap adalah energi kesintasan (survival) kita, hanya bila kita mengimbanginya dengan tindakan yang relevan. Bila, misalnya, sumber kesintasan kita adalah pekerjaan yang mensyaratkan layanan kepada orang lain, tentunya reputasi diri maupun produk yang kita tawarkan mesti dipertimbangkan dengan baik. Jangan hanya mengharapkan keuntungan tetapi dengan merugikan kepentingan orang lain.


Untuk itu, kita mesti berubah pikiran pula. Tidak hanya memikirkan keuntungan yang bakal kita peroleh, tetapi juga memikirkan (baca: berniat) agar layanan dan produk yang kita tawarkan dapat memiliki kualitas yang disenangi orang lain. Ini berlaku bukan hanya dalam menjual makanan seperti penjual bakso dan mie ayam langganan saya di atas. Dalam hal menulis, merancang sesuatu, memasak, berhubungan dengan orang lain, dan lain-lain kegiatan pun mensyaratkan pemikiran dan niat yang sungguh-sungguh diarahkan pada apa yang dikerjakan, sehingga hasilnya mampu menyenangkan orang lain yang menikmatinya.


Jangan lupa bahwa kita hidup dan melakoni kehidupan selalu diwarnai dengan hubungan dengan orang lain. Untuk apa pun yang kita kerjakan, ada pemangku kepentingan (stakeholder) atas hasilnya. Sehingga perlu kita senantiasa memikirkan orang lain dalam beraksi. Orang lainlah yang memberi makna reaktif atas setiap aksi kita, sehingga, dengan demikian, tindakan kita mempunyai makna.©



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 12 Februari 2011