Saturday, May 4, 2019

Obituari Pak Judo Purnomo Budi


SEPANJANG karir saya selama hampir 25 tahun di industri komunikasi, saya pernah bekerja di 13 biro iklan. Dua di antaranya di Surabaya.

Orang bilang, industri periklanan Jakarta lebih maju 20 tahun daripada Surabaya. Tapi saya justru belajar jauh lebih banyak di Surabaya, terutama ketika menjadi copywriter di PT Aditya Lini Pariwara, atau ADline Communications, dari tahun 2000 sampai 2005. Saya belajar banyak hal dalam berbagai spektrum komunikasi pemasaran dari tokoh periklanan Surabaya, Pak Judo Purnomo Budi, yang adalah direktur utama ADline Communications.

Pak Judo ini model bos yang unik, yang belum pernah saya jumpai di tempat-tempat saya bekerja lainnya. Beliau menganggap karyawannya sebagai partner alih-alih anak buah yang bisa beliau perintah. Saya ingat ketika saya menghadap Pak Judo di ruang kerja beliau untuk meminjam uang buat uang muka pembelian sepeda motor secara kredit. Masih terpatri di benak saya kata-kata beliau: “Kamu sudah aku anggap adikku sendiri, jadi jangan sungkan kalau mau minta apa. Ini aku kasih, terserah kamu mau balikin atau nggak, dan nggak akan dipotong dari gajimu.”

Yang saya pelajari dari Pak Judo bukan teori periklanan—hal itu beliau persilakan saya untuk membacanya di buku-buku komunikasi pemasaran di rak buku di ruang kerja beliau. Beliau mengajarkan saya tentang pendekatan pribadi dalam melayani klien. “Di bidang kita ini, To, ndak selalu soal teknis dan profesional. Klien kita adalah para pebisnis yang sebenarnya sudah muak kalau bicara tentang bisnis mereka. Kamu ajak ngobrol mereka tentang hobi mereka, misalnya.”

Saya saksikan sendiri kepiawaian Pak Judo melayani klien ketika kami menangani satu merek minyak goreng dengan pasar lokal Jawa Timur. Beliau menanyakan klien tentang mobil Jaguar yang terparkir di areal pabrik minyak goreng tersebut di kawasan Rungkut, Surabaya. Hal itu ditanyakan Pak Judo ketika tim kreatif ADline (saya dan art director) baru memasuki ruang rapat dan klien kami muncul tidak lama kemudian. Dengan bangga klien bercerita tentang mobil Jaguarnya. Dari situ berkembang obrolan santai Pak Judo dan tim kreatif ADline tentang kehidupan klien sejak kecil. Tak terasa dua jam berlalu, sampai semua orang nyaris lupa bahwa tujuan tim kreatif ADline datang ke pabrik minyak goreng itu adalah untuk mempresentasikan papan cerita (storyboard) iklan televisi dari merek minyak goreng produksi pabrik si pemilik Jaguar.

Presentasinya malah berlangsung kurang dari 15 menit, dan klien yang hatinya senang karena diajak mengobrol tentang kehidupannya langsung setuju dengan konsep kreatifnya. Sebelumnya, saya dan art director selalu datang berdua saja, tanpa didampingi Pak Judo. Karena sudah delapan kali konsep kreatif kami di-reject, akhirnya Pak Judo merasa ada kekurangan dalam cara saya dan art director melayani klien. Hal itu mendorong Pak Judo mendampingi saya dan art director dalam presentasi berikutnya. Presentasi kesembilan itu membuahkan hasil. Dan sejak itu, saya terbiasa mengutamakan pendekatan pribadi, di atas teknis dan profesionalisme, dalam melayani klien.

Hubungan saya dengan Pak Judo tidak pernah terputus, bahkan ketika saya pindah kerja di biro iklan yang pemiliknya adalah musuh bebuyutan beliau. Hubungan saya dengan Pak Judo sempat dingin, tapi dengan mudah beliau memaafkan saya ketika saya dicurangi musuh bebuyutan beliau. Saya bahkan dijadikan “managing partner” di ADline yang kala itu sudah di ambang kehancuran.

Ketika pada Juni 2005 saya kembali ke Jakarta, berkarir lagi di dunia periklanan Jakarta, saya masih terus berkontak dengan Pak Judo, terutama pada hari ulang tahun beliau—yang selalu saya ingat karena bertepatan dengan hari ulang tahun (HUT) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada HUT TNI ke-69, tahun 2014, beliau menjawab pesan WhatsApp saya yang berisi ucapan selamat ulang tahun ke beliau: “Ultahku dirayakan besar-besaran, nih, To, di Dermaga Ujung Surabaya. Aku dapat undangannya.”

Satu hal yang paling saya ingat tentang Pak Judo adalah kegemaran beliau bersepeda. Bersepeda ke berbagai tujuan yang kadang sangat jauh dari Surabaya, seperti ke Malang. Pernah suatu kali ADline mendapat klien janapada (clubhouse) sebuah komunitas golf di Jawa Timur, dan agar bisa melayani klien dengan optimal maka Pak Judo harus bermain golf. Beliau malah menyuruh saya belajar golf. “Kamu ae, To, belajar golf, temenin klien. Aku nggowes ae.”

Dengan sepeda pula, Pak Judo menemui Sang Pencipta. Pagi ini, pukul 05.30 WIB, saya mendapat pesan WhatsApp dari saudara SUBUD Cabang Surabaya yang juga pengusaha periklanan, bahwa sebelum subuh tadi Pak Judo telah pergi untuk selamanya. Informasi yang saya peroleh dari sumber lainnya, beliau ditabrak lari sepeda motor di depan Hotel Ibis Prapen, Surabaya, pada hari Jumat, 3 Mei 2019, jam 07.15 WIB, saat sedang bersepeda rutin.

Selamat jalan, Pak Judo, semoga dilancarkan perjalanan ke kehidupan selanjutnya. Kenangan-kenangan kebaikan almarhum tetap tinggal di hati saya.©2019



Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 5 Mei 2019