Friday, October 27, 2023

Menjelaskan Subud

BEBERAPA waktu lalu, saya menceritakan pengalaman saya masuk Subud kepada satu anggota dan satu kandidat. Saya bercerita dengan blak-blakan bahwa dua tahun sebelum saya masuk Subud saya telah berhenti beragama dan tidak lagi percaya pada Tuhan, karena berbagai kekecewaan yang saya rasakan pada sejumlah ajaran agama. Saya merasa tidak mendapat solusi dari ajaran agama atas masalah-masalah saya.

Anggota yang mendengarkan cerita saya itu memotong pembicaraan saya dengan pernyataan, “Oh, Mas Arifin sempat ateis dan tidak beragama ya? Pantas, Mas Arifin kalau menjelaskan Subud tidak memasukkan unsur agama sama sekali, dan hanya menceritakan pengalaman-pengalaman Mas Arifin serta kadang mencuplik ceramah Bapak dan Ibu Rahayu. Hebatnya, pengalaman-pengalaman itu bisa menawarkan solusi bagi berbagai masalah.”

Saya terdiam sejenak lalu berkata, “Bukankah pengalaman adalah satu-satunya penjelasan yang bisa diberikan di Subud yang tidak memiliki ajaran dan pelajaran? Bapak juga menjelaskan berdasarkan pengalaman beliau dan tidak memaksa anggota untuk mempercayai cerita Bapak kalau belum mengalami sendiri?”

Si kandidat yang duduk di seberang saya mengangguk-angguk dan berkata pelan, “Ya, inilah yang saya cari. Tampaknya Subud cocok buat saya.”©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 28 Oktober 2023

Monday, October 23, 2023

Sehari dalam Kehidupan Seorang Copywriter

 


SAYA akhirnya sampai pada titik ini pada hari ini, 24 Oktober 2023. Tanggal ini mudah saya ingat karena satu alasan: bertepatan dengan tanggal berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tanggal ini, 29 tahun yang lalu, saya menginjakkan kaki di Puri Matari, kantor sebuah biro iklan ternama Indonesia.

Merupakan sebuah “kecelakaan” yang membuat saya memutuskan bahwa jalan hidup saya adalah menjadi seorang copywriter. Saya diterima di Matari Advertising karena gelar sarjana sejarah dari Universitas Indonesia, dan dikontrak selama satu tahun untuk mengerjakan buku “25 Tahun Matari”. Belum tersedia ruang kerja tersendiri untuk saya dan rekan saya, sehingga untuk sementara kami ditempatkan di perpustakaan Matari.

Di perpustakaan ini terdapat lebih dari 7.000 judul buku, namun yang menarik perhatian saya adalah delapan buku tentang copywriting. Salah satunya adalah karya Alastair Crompton, The Craft of Copywriting. Buku inilah yang menginspirasi saya untuk menjadi seorang copywriter.

Sudah 29 tahun saya terjun ke dunia copywriting. Saya sudah mengerjakan ini begitu lama sampai saya lupa bagaimana rasanya tidak punya ide atau menderita sindrom kertas putih seperti yang dialami para pemula.

Sampai saat ini, walaupun saya sudah melakukannya bertahun-tahun, masih ada yang bertanya kepada saya apa sebenarnya copywriter itu. Namun kali ini saya tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Sebagai gantinya, saya akan bercerita. Judul ceritanya adalah “Sehari dalam Kehidupan Seorang Copywriter”.

Seperti apa kehidupan sehari-hari Anda jika Anda seorang copywriter? Jawaban singkatnya adalah hari-hari setiap orang mungkin sedikit berbeda, tentu saja, tetapi jika Anda pernah menjadi copywriter, maka Anda tahu bahwa Anda dapat mengatur semacam kemiripan dan kerangka di sekitarnya untuk mengatur hari Anda.

Hari ini, saya akan memandu Anda melalui hari-hari biasa saya sebagai seorang copywriter, bagaimana saya mengatur waktu saya untuk duduk dan memiliki waktu menulis secara mendalam, bagaimana saya mengatur pertemuan dengan klien, dan banyak lagi. Ini adalah parameter dan kerangka kerja yang saya berikan pada diri saya sendiri, sehingga saya tetap bisa menjadi kreatif dan visioner dalam segala hal, namun juga dapat menyelesaikan pekerjaan karena itulah satu-satunya cara bisnis saya menghasilkan uang jika saya benar-benar menggunakan otak saya di saat yang paling tepat.

Jadi ini adalah kisah sehari dalam kehidupan, kapanpun saya bangun tidur. Baik saya sedang berlibur atau tidak, hal pertama yang saya lakukan adalah menenggak air dan melakukannya begitu turun dari tempat tidur. Kadang-kadang saya menambahkan lemon dan madu ke dalamnya dan baru setelah itu saya diperbolehkan meminum minuman panas—bagi saya, itu bisa berupa teh atau kopi.

Selanjutnya, saya mengabdikan waktu untuk mendekatkan diri kepada yang ilahi. Sejak saya dibuka di Subud, saya selalu suka duduk diam di tepi tempat tidur dengan mata tertutup dan merasakan diri saya sendiri selama beberapa belas menit. Saya merenung: Oke, di sinilah saya berada dalam hidup. Mengapa saya sangat menyukainya adalah karena hal ini memberi saya ruang untuk mengalami pasang surut.

Setelah itu, saya kemudian mempunyai kesempatan untuk membaca apa pun yang saya inginkan. Seperti buku, saya terobsesi dengan membaca. Waktu saya di pagi hari adalah ketika saya mempunyai kesempatan untuk membaca lebih banyak tentang spiritualitas atau motivasi.

Pada titik ini, putri saya yang berusia enam tahun sudah bangun. Jadi kami pun menyantap sarapan bersama. Istri saya menyiapkan putri kami dan saya sering mengantarnya ke sekolah dasar, sekitar satu kilometer dari rumah.

Dalam rutinitas pagi itu, berolahraga ada di dalamnya. Dalam rutinitas olahraga saya, saya hanya berjalan-jalan sebentar di pagi hari. Itu semua yang saya lakukan di pagi hari sebelum memulai hari kerja saya.

Baiklah, selanjutnya dalam rutinitas harian saya, waktunya sekitar jam 9 pagi hingga jam makan siang. Satu hal yang harus saya lakukan saat pertama kali duduk di belakang meja saya adalah merencanakan hari saya secara mental dan memastikan semuanya sudah direncanakan. Saya tidak langsung duduk dan mulai melakukan hal pertama di meja saya. Saya menenangkan pikiran saya dan berserah diri kepada Tuhan, memohon bimbinganNya dalam segala hal yang saya lakukan pada hari itu.

Oke, itu membawa saya sampai sekitar jam 11.30 atau dua belas siang, saat ini saya akan pergi ke dapur dan mengambil makan siang. Rehat saja, membiarkan otak saya berhenti bekerja sebentar. Saya akan duduk di carport selama beberapa menit, merokok sementara pikiran saya melayang ke dunia asing atau menikmati pemahaman spontan yang datang dari jiwa saya.

Saya biasa bekerja di meja saya. Saya pikir itu adalah peninggalan dari masa saya masih menjadi pegawai tetap. Saya menyadari bahwa saya dapat menghabiskan 45 menit untuk makan siang di meja saya, tidak benar-benar menyelesaikan pekerjaan dengan baik atau sama sekali tidak menikmati proses menikmati makanan enak atau saya dapat menghabiskan 20 hingga 30 menit, menjauh dari segalanya dan kemudian kembali bekerja dan bisa lebih fokus.

Sekitar jam tiga sampai lima sore, saya melakukan sebanyak yang saya bisa selama waktu ini sebelum saya kehabisan akal, siap untuk pergi menemui putri saya, bermain dengan keluarga saya. Dan kemudian saya mematikan komputer. Terkadang, lebih sering saya membuka ponsel cerdas saya di malam hari dan melakukan beberapa hal; terutama memeriksa kotak masuk. Saya tidak menghabiskan banyak waktu sama sekali di kotak masuk email saya, maksimal satu jam setiap hari, dan kemudian tiba waktu makan malam.

Pada malam hari, istri saya akan memasak makan malam, atau saya yang akan memasaknya. Kami akan bermain dengan putri kami, bermain game, membaca, dan sebagainya. Saat semua urusan keluarga selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 20.30, terkadang pukul delapan.

Pada hari-hari tertentu, dua hingga tiga kali seminggu, saya harus pergi ke Latihan bersama di hall Subud dekat rumah saya atau ke wisma Subud yang jaraknya lebih dari 30 kilometer dari rumah saya, dan pulang larut malam. Namun di luar hari-hari itu, saya mencoba menuju kamar tidur lebih awal dan memulai rutinitas perawatan diri, mandi, menyikat gigi. Saya mencoba untuk tertidur antara jam 9 dan 10 karena saya ingin memeriksa apa yang baru di akun media sosial saya (Facebook, Instagram, dan Twitter).

Nah, seperti itulah keseharian saya sebagai copywriter. Faktor-faktor jelas berubah tergantung pada waktu dan musim dalam setahun. Saya belajar banyak bahwa hal ini berubah tergantung pada usia dan tahapan yang saya dan keluarga saya lalui.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 24 October 2023


Saturday, October 21, 2023

Peralihan Peran

 



SAYA baru-baru ini melakukan eksperimen, yang menurut saya sendiri merupakan “aksi nekat yang berbahaya”. Eksperimen ini adalah tentang bagaimana Latihan Kejiwaan dapat membantu kita dalam mengelola daya-daya peserta kita.

Saya memiliki dua nomor WhatsApp dari dua provider Indonesia yang berbeda, Indosat dan Telkomsel. Kedua nomor tersebut terpasang di satu ponsel saya. Secara mental, saya memberi peran protagonis yang baik kepada diri saya sebagai pengguna Indosat, yang menyandang nama Subud saya, Arifin. Peran antagonis saya berikan kepada diri saya sebagai pengguna Telkomsel, yang menyandang nama lahir saya, Anto.

Si Arifin dan si Anto kemudian mengobrol satu sama lain dalam suasana permusuhan—si Arifin yang pemaaf dan pecinta damai versus Anto yang pembenci dengan kehidupan yang depresif. Saya me-niteni (bahasa Jawa: mengobservasi secara tekun) diri ketika peran-peran saling berlawanan itu saya mainkan secara bergantian, dan peralihannya berlangsung sangat cepat, dalam sepersekian detik.

Selanjutnya, saya mengganti peran-perannya: Arifin menjadi wanita yang rupawan dan Anto adalah seorang pria yang sedang menggoda si wanita. Saya merasakan kewanitaan yang sempurna pada diri saya ketika chat dengan nomor Indosat saya, dan merasakan pribadi pria penggoda ketika menggunakan nomor Telkomsel saya.

Setelah melakukan eksperimen ini, saya melakukan Latihan pembersihan, kemudian saya merenungkan bagaimana hal-hal terjadi selama eksperimen tersebut. Saya merenungkan dalam ketakjuban bagaimana Latihan bekerja dalam mengelola daya-daya menurut peran kita masing-masing yang kita lakoni secara terbimbing dalam hidup ini.

Apa yang sebenarnya ingin saya buktikan dengan eksperimen ini? Saya ingin membuktikan untuk diri saya sendiri, bahwa Latihan (yang rajin), seperti yang pernah diceritakan ke saya oleh beberapa pembantu pelatih senior di Cilandak dan di cabang asal saya di Surabaya, Jawa Timur, memampukan kita untuk secara spontan mengelola daya-daya peserta kita untuk hidup secara harmonis, bahagia, dan aktif di dunia ini, dan sekaligus memelihara kontak kita dengan kekuasaan Tuhan. Dan “aksi nekat yang berbahaya” ini telah memberi saya keyakinan penuh bahwa apa yang mereka katakan itu benar adanya.

Saya juga menjadi paham tentang orang-orang yang dewasa ini mengalami gangguan mental (terutama depresi dan kecemasan berlebihan atau anxiety disorder) yang berkecenderungan bunuh diri, yang kabarnya merupakan dampak dari kegandrungan pada media sosial, yang memaksa orang-orang untuk menciptakan citra diri yang palsu. Dan ketika mereka kembali ke kehidupan nyata, daya dari citra diri yang palsu itu masih menempel pada mereka, sedangkan mereka tidak memiliki kemampuan mengelola daya-daya yang sebaliknya dimiliki mereka yang sudah menerima Latihan Kejiwaan.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 21 Oktober 2023












Saturday, October 14, 2023

Mengeksplorasi Berbagai Kemungkinan

PEMBANTU pelatih (PP) saya di Cabang Surabaya, yang kini berdomisili di daerah asalnya, yaitu Madiun, Jawa Timur, menelepon saya pada Jumat malam, 13 Oktober 2023. Obrolan biasa antara PP dan anggota yang diasuhnya sejak si anggota masih kandidat di Cabang Surabaya hingga ia dibuka. Pada setiap momen seperti itu, saya biasanya menceritakan pengalaman-pengalaman bernuansa kejiwaan yang saya lalui pada suatu periode.

Jumat malam itu, saya menceritakan pengalaman “tiga bulan yang menyesakkan” (akhir Juni sampai dengan awal September 2023) dan perkembangan-perkembangan selanjutnya, yang melulu diwarnai bimbingan Tuhan dalam semua langkah saya—secara pikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan, sehingga saya yang tadinya menyesali mengapa saya harus mengalaminya, sekarang selalu mensyukurinya!

Sang PP merasakan bahwa saya saat ini tengah melalui fase yang dia sebut, dengan meminjam pernyataan dari teolog dan filsuf Protestan Jerman, Rudolf Otto (1869-1937), “mysterium tremendum et fascinosum” (Latin: “sebuah misteri yang menggentarkan dan menakjubkan”). Sang Pencipta memiliki keduanya. Melalui tiga bulan itu serta perkembangan-perkembangan setelahnya, saya menyaksikan dengan kagum dan senang bagaimana Tuhan menawarkan cinta bagi hambaNya yang berserah diri dengan sabar, tawakal dan ikhlas.

Saya tidak bisa menceritakan kepada semua orang tentang pengalaman ini dan bagaimana perasaan saya, karena aspek kejiwaannya tidak dapat dicerna oleh akal pikiran, juga tidak dapat dirasakan oleh orang yang tidak satu frekuensi, sekalipun lawan bicara saya juga giat melakukan Latihan Kejiwaan. Baru kepada PP Surabaya itulah saya bisa menceritakan dengan detail apa yang saya alami. Detail rasa saya saat mengalaminya dapat dirasakan si PP dengan jiwanya, sehingga pembicaraan per WhatsApp voice call itu berlangsung nikmat, seru, sekaligus memberi saya kedamaian.

Obrolan itu juga memberi saya sensasi tremendum et fascinosum kepada Sang Pencipta. Saya rasa, Tuhan menghendaki agar saya mendapatkan kesempatan berbagi dengan sang PP, yang mengenal saya sejak saya belum mengandidat di Subud. Saya merasa plong usai bercerita lewat bahasa kata dan rasa itu!

Saya mendapatkan kenyataan bahwa tidak ada satu hal pun dalam hidup kita yang tidak tersentuh oleh Latihan Kejiwaan. Kenyataan ini memastikan keyakinan saya bahwa kekuasaan Tuhan meliputi segala sesuatu, yang tampak maupun tak tampak, yang benda maupun non benda. Baik atau buruk, benar atau salah, tidak relevan dalam konstelasi (sejumlah sifat maha yang berhubungan membentuk konfigurasi khusus) Tuhan, melainkan kenyataan. Karena baik atau buruk, benar atau salah, bersifat subyektif—berbeda ukuran di setiap budaya, karena budaya sendiri adalah ekspresi daya dari budi (akal) makhluk, sedangkan kekuasaan Tuhan melampaui batas-batas buatan makhluk.

Latihan Kejiwaan merepresentasi ke-maha-an Tuhan, membuka keinsafan makhluk bahwa hidup sudah lengkap; segala yang kita butuhkan dan inginkan sejatinya sudah ada. Melalui Latihan Kejiwaan, kita dibimbing untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan. Kita dapat menjadi apa saja, mewujudkan apa saja, melaluinya, jika Tuhan menghendakinya. Kita tinggal bersabar, bertawakal, ikhlas dan berani melalui proses untuk mencapainya, karena cara Tuhan membimbing kita tidaklah sama dengan yang kita bayangkan dengan pikiran kita yang amat terbatas.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 15 Oktober 2023

Friday, October 13, 2023

Bimbingan Tuhan untuk Sejarawan Militer


HARI Rabu, 11 Oktober 2023, saya menerima pesan Facebook Messenger dari yunior saya di Jurusan Sejarah FS/FIB UI yang saat ini menjabat sebagai ketua Ikatan Alumni (Iluni) FIB UI. Dia meminta nomor WhatsApp saya, karena katanya ada wartawan yang mau meminta saya menjadi narasumber mengenai Omar Dhani. Yunior saya tersebut telah mereferensi saya kepada stasiun televisi swasta Trans7, yang mencari seorang sejarawan militer untuk tampil sebagai narasumber dalam program Secret Story Trans7, yang mengetengahkan sosok Menteri/Panglima Angkatan Udara (Menpangau) Republik Indonesia, Laksamana Madya Omar Dhani. Omar Dhani dalam persepsi publik Indonesia dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965 (G30S).

Saya mendapat pemberitahuan dari pihak Trans7 keesokan harinya, 12 Oktober 2023, bahwa saya didaulat sebagai narasumber untuk acara Secret Story Trans7 dalam kapasitas sebagai sejarawan militer—sebuah predikat yang selama ini tidak berani saya sandang karena saya bukan sejarawan akademik meskipun saya kuliah enam tahun di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI; kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya atau FIB UI). Sejak remaja, saya memang penikmat sejarah militer dan ilmu strategi dan ketika di FSUI saya menulis skripsi bertema aksi gerilya dan anti gerilya semasa Agresi Militer Belanda II (1948-1949).

Bagaimanapun, saya terima tantangan itu, meskipun topik seputar keterlibatan Menpangau Omar Dhani dalam G30S yang kabarnya didalangi PKI bukanlah ranah studi sejarah militer yang saya tekuni selama ini—spesialisasi saya adalah periode Perang Kemerdekaan RI 1945-1949 serta sejarah Perang Dunia II. Tetapi, puji Tuhan, saya mendapat bimbinganNya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pewawancara, yang merupakan “pengertian di tempat” tanpa saya rencanakan atau pikirkan. Mengalir begitu saja.

Berkat Latihan Kejiwaan, saya dapat berbicara dengan lancar dan bermuatan analisis-analisis yang “baru dimengertikan” ke saya oleh Sumber Gaib saat syuting. Saya meyakininya sebagai bimbingan jiwa saya, karena saya baru mendapat daftar pertanyaan wawancara dari kru Trans7 justru pada hari syuting, dan karena itu saya belajar kilat dengan googling di ponsel saya. Tergolong sangat kilat!

Kru Trans7 datang ke rumah saya di Pondok Cabe dengan harapan syuting bisa dilakukan di situ, namun karena tidak didapat spot dan sudut ambilan (camera angle) yang pas akhirnya kami harus mencari lokasi lain. Setelah mencari di sepanjang Jl. Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, kami menjumpai kafe yang memiliki interior yang fotogenik dan bersuasana tenang serta nyaman. Aprilia Coffee House & Pastry namanya, beralamat di Jl. Karang Tengah Raya No. 13.

Ketika wawancara dimulai, saya merasakan diri saya sepenuhnya dalam keadaan Latihan, dengan pikiran yang terhenti serta mulut saya berucap dengan lancar, menjawab pertanyaan-pertanyaan pewawancara, tanpa berpikir sama sekali. Saya paling terpesona dengan bimbingan Tuhan untuk sejarawan militer dadakan ini, ketika ia ditanya perihal latar belakang dari tuduhan bahwa Omar Dhani terlibat G30S adalah lantaran ia loyal terhadap Presiden Sukarno.

Tanpa ragu dan bertutur dengan lancar, saya mengatakan, “Konteks loyalitas terhadap Sukarno harus dipertimbangkan dulu, dalam hal ini. Saat itu, Sukarno adalah satu-satunya presiden, seorang kepala negara, yang oleh undang-undang kita ditetapkan sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Di negara-negara demokrasi lainnya kan juga begitu. Otomatis, semua anggota militer, dari jenderal hingga prajurit harus loyal kepada Sukarno sebagai kepala negara, bukan sebagai pribadi. Kalau tidak loyal, bakal dianggap act of mutiny (pemberontakan). Jadi, menurut saya, Omar Dhani tidak terlibat G30S secara langsung, melainkan dia sebagai perwira militer harus loyal kepada kepala negara, siapa pun yang jadi presidennya. Menurut saya, tidak fair bila sejarah mengadili Omar Dhani sebagai konspirator hanya karena menunjukkan kesetiaannya pada kepala negara selaku panglima tertinggi, bukan karena favoritisme politik.”

Saya sendiri syok saat menyatakan pendapat itu; wah kok dapat bimbinganNya keren banget.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 14 Oktober 2023

Tuesday, October 10, 2023

Di Luar Kendali

BELAKANGAN, saya kesengsem pada kutipan ini: “No matter how good person you are, you’re always bad in someone’s story” (Sebaik apa pun Anda, Anda selalu buruk dalam cerita seseorang). Kutipan dari unknown author ini sejalan dengan pengalaman saya baru-baru ini maupun pengalaman-pengalaman yang telah lampau.

Pada 14 Februari 2018 lalu, saya menghadiri acara seminar sejarah yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI) bekerja sama dengan Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Meskipun saya alumnus Departeman Sejarah FIB UI, yang mengundang saya adalah satu saudara Subud yang kebetulan aktif di IKPNI.

Di acara tersebut, juga hadir satu saudari Subud dari Bandung, Jawa Barat, bernama Ibu S, yang berprofesi dosen sejarah di Universitas Pendidikan Indonesia, sebuah perguruan tinggi negeri di ibukota Provinsi Jawa Barat yang berangkat dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung. Ibu S mengenal saya cukup baik, terutama setelah mengetahui bahwa latar belakang akademik saya sama dengan beliau. Beliau memandang saya sebagai seorang intelektual yang berkepribadian ilmiah, memiliki integritas sebagai sarjana lulusan sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia, dan, karena itu, beliau memandang saya merupakan orang yang genah.

Saat rehat makan siang, Ibu S minta waktu untuk berbicara empat mata dengan saya. Jadi, beliau berkisah, beliau baru bertemu dengan saudara Subud dari Cabang Surabaya yang juga mengenal saya dengan cukup baik, bernama B. Meskipun sama-sama berasal dari Cabang Surabaya dan saling mengenal, saya jarang sekali akur dengan B, karena kami sama-sama keras.

Ibu S bercerita bahwa beliau berdebat dengan B mengenai kepribadian saya. Di mata B, saya adalah orang yang brengsek, sangat menyebalkan, tukang bikin onar dan suka mengejek dengan kata-kata kasar atau vulgar. Ibu S membantah semua tuduhan B mengenai diri saya, dan berkomentar sebaliknya. Ibu S menyatakan dengan tegas bahwa beliau tidak percaya bahwa saya seperti yang dikatakan B, karena selama ini di mata Ibu S saya tidak pernah bersikap dan berperilaku sebagaimana yang dikatakan B.

Saat rehat makan siang dari acara seminar itu, saya pun menjelaskan duduk perkaranya. Singkat cerita, Ibu S menyatakan, “Benar kan, Mas Anto tidak seperti yang dituduhkan B. Saya kan sudah mengenal Anda lama, makanya saya tidak percaya kalau Anda seburuk yang dibilang B!”

Di lain kesempatan, dan terjadi baru-baru ini, satu saudara Subud bercerita ke saya melalui pesan WhatsApp bahwa istrinya sangat tidak suka pada saya; menurut istrinya, saya adalah sosok narsistik yang membuatnya muak, dengan postingan-postingan saya di media sosial. Tetapi, sebaliknya, sang suami amat menyukai saya, bahkan membela saya di hadapan istrinya dengan mengatakan bahwa “narsisme” saya itu merepresentasi rasa syukur saya terhadap Latihan Kejiwaan Subud. Sang suami juga mengaku dia seringkali terinspirasi oleh perkataan-perkataan saya yang di mata istrinya dipandang “berbalut keisengan yang menyebalkan”.

Sang istri menyukai postingan-postingan seorang saudara Subud dari Sleman, yang di media sosial justru sering saya komentari dengan bercanda—terutama karena dari sudut pandang Subud, yang dia sampaikan ke publik itu “sangat biasa”. (Dia pernah mengakuinya demikian ke saya via japri; bahwa apa yang biasa di Subud, dipandang luar biasa oleh orang-orang yang belum terbuka pengertiannya.)

Dari kedua cerita di atas, apa yang dapat kita simpulkan?

Kesimpulannya, kita tidak dapat mengontrol atau mengendalikan pandangan, pendapat atau penilaian orang lain terhadap kita. Masing-masing orang memandang, menilai atau mengomentari kepribadian kita sesuai pengalaman atau kesaksian pertama atau kepentingan pribadi mereka terhadap kita. Tidak ada gunanya, malah buang-buang waktu dan tenaga, bila kita berusaha menjelaskan ke semua orang bagaimana sejatinya kita. Karena, seperti dikatakan Ali ibn Abi Talib, “Jangan pernah menjelaskan dirimu kepada siapa pun, karena mereka yang menyukaimu tidak membutuhkannya, dan mereka yang tidak menyukaimu tidak akan mempercayainya.”

Kedua cerita di atas memberi saya kesadaran bahwa saya tidak akan pernah bisa mengontrol atau mengendalikan pendapat orang lain atas diri saya. Alih-alih saya tersinggung dan lantas berupaya keras untuk meluruskan pendapat atau pandangan orang lain mengenai saya, saya memilih untuk menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Mengatur. Seperti yang dikatakan Simon Masrani, CEO Jurassic World, yang juga merupakan kutipan favorit saya, “The key to a happy life is to accept you are never actually in control” (Kunci hidup bahagia adalah menerima bahwa Anda tidak pernah benar-benar memegang kendali).©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 11 Oktober 2023

Sunday, October 1, 2023

Latihan dalam Pekerjaan


BEBERAPA waktu lalu, saya mendapat buku berjudul Buddha @ Office karya Nancy Spears, dari tante saya yang mengira saya menyukai Buddhisme. Bagi saya, tidak ada sesuatu yang baru di dalam buku tersebut, karena mempraktikkan spiritualitas dalam bekerja sudah menjadi bagian terpadu dalam hidup saya sejak saya dibuka di Subud. Dan hal ini juga telah diterapkan oleh mereka yang telah menyadari manfaat Latihan dalam membantu aktivitas sehari-hari.

Ternyata, terutama di generasi anggota Subud terkini, yang sepertinya terputus dari segala sesuatu yang telah dicontohkan oleh Bapak, mengisi kiprah duniawi, seperti kegiatan di kantor, dengan daya Latihan bukan perkara mudah. Mereka menganggap Latihan—yang merupakan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa—dan urusan dunia, apalagi yang berbasis finansial, merupakan dua hal yang berbeda. Sedangkan yang selalu dicontohkan oleh Bapak adalah bahwa Latihan berjumbuh serasi dengan kegiatan sehari-hari kita.

Satu saudara Subud pernah bertanya ke saya, bagaimana mengisi pekerjaan kita dengan Latihan. “Apakah Mas melakukan Latihan seperti di hall, di ruang kerja Mas?” Saya tersenyum geli mendengar pertanyaan itu, tapi itulah kenyataan yang ada dan banyak anggota Subud dewasa ini belum memahami bagaimana menjumbuhkan Latihan dengan kiprah duniawi mereka.

Jawabannya, sebenarnya, cukup sederhana: Kita hanya perlu menyadari Latihan kita. Sejak kita dibuka, daya Latihan telah mengisi diri kita, entah kita menyadarinya atau tidak. Untuk mengaktifkannya, kita hanya perlu berperasaan sabar, tawakal dan ikhlas ketika melakukan pekerjaan kita. Tidak overthinking, tidak berangan-angan mengenai hasil pekerjaan kita, tidak membiarkan rasa takut mempengaruhi keputusan-keputusan yang harus kita ambil.

Menurut pengalaman saya selama ini, sikap dan perilaku kita di kantor atau saat melakukan pekerjaan kita dengan senantiasa terbimbing oleh Latihan, memancarkan kesentosaan yang memberi pengaruh positif kepada orang-orang dan benda-benda di sekitar kita. Dan, dengan begitu, kita akan selalu menyenangi pekerjaan kita, yang akhirnya akan membuat kita selalu dapat memberi hasil yang terbaik.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 2 Oktober 2023