Saturday, April 25, 2009

Terima Kasih Sepanjang Jalan

“Berterima kasih adalah sambungan paling langsung kita ke Tuhan dan malaikat.
Jika kita bersabar, tak peduli betapa pun gila dan susahnya perasaan kita,
kita dapat menemukan sesuatu untuk kita syukuri.”
—Terry Lynn Taylor, penulis Messengers of Love, Light, and Grace:
Getting to Know Your Personal Angels (California: HJ Kramer/New World Library, 2005)



Salah seorang saudara Subud saya di Surabaya, ketika saya masih berstatus ‘calon anggota Subud’, mengalami cobaan hidup yang di mata saya tergolong sangat berat -- yang sempat membuat saya ragu untuk masuk Subud, karena terusik pemikiran bahwa anggota Subud pasti mendapat cobaan seberat itu. Bayangkan saja: istrinya berselingkuh dan menuntut cerai; ia kalah di pengadilan dalam memperebutkan putri semata wayangnya; bisnisnya bangkrut, meninggalkan hutang segunung, hingga ia dikejar-kejar penagih hutang dengan ancaman akan dibunuh; dan ia terlunta-lunta di jalanan -- tidur di emperan masjid atau di rumah teman-temannya, sampai harus mengemis buat bisa makan paling tidak sekali sehari. Namun, saya perhatikan, setiap kali ia hendak makan, ia berucap, "Terima kasih, aku masih bisa makan." Ia senantiasa mengucapkan terima kasih untuk apa pun yang ia lakukan dan yang ia terima, termasuk untuk cobaan yang tengah mendera dirinya sedemikian rupa. Saya pun bertanya kepadanya, mengapa ia berbuat demikian.

Ia mengingatkan saya, bahwa ada orang-orang yang tidak bisa/sulit makan, walaupun kekayaannya segudang. Bisa saja orang itu menderita penyakit yang membuat mulutnya pahit atau susah menelan, atau berpantang berbagai macam makanan. Ada pula sejumlah kawan saya yang kaya-raya tetapi tak pernah bisa menikmati kekayaan mereka. Mereka tak pernah menikmati liburan bersama keluarga, karena waktunya habis untuk mengumpulkan kekayaan.

Saudara Subud saya yang tengah ditimpa kemalangan itu juga berterima kasih, karena masih bisa tidur, walaupun di emperan masjid atau di sembarang tempat. Ia memberi saya gambaran tentang orang-orang yang punya ranjang mewah nan empuk, tetapi setiap malam mereka tak dapat memejamkan mata, berhubung uang buat beli ranjang itu adalah hasil korupsi, atau mereka terlalu takut rumahnya disantroni maling, atau masalah di kantor belum selesai. Saudara Subud saya itu juga berterima kasih karena masih bisa salat. “Banyak orang yang sembahyang tetapi gagal mendapatkan kekhusyukan,” katanya mencontohkan. Dirinya, sebaliknya, berkat berterima kasih sepanjang jalan, kekhusyukan mewarnai salatnya selalu.

Contoh-contoh itu membawa saya ke alam permenungan, dan bergidik, merasa ngeri. Benar juga, saudara Subud saya ini. Saya rasa, dengan ia senantiasa berterima kasih sepanjang jalan hidupnya yang sedang dicoba ia ‘menerima kasih’ yang demikian besar dari Tuhan.

Amalan saudara Subud saya itu kini tengah saya terapkan. Berat memang. Rasanya susah untuk berterima kasih kepada orang yang telah menyakiti hati saya, misalnya. Atau berterima kasih atas kegagalan yang menimpa saya. Saya hampir selalu lupa untuk berterima kasih bilamana saya hendak makan, karena merasa setiap hari saya bisa makan – tak terpikir bahwa suatu saat saya bisa saja menderita penyakit seperti yang dicontohkan di atas.

Kemarin, 22 April 2009, saya berkeluh-kesah akibat cuaca panas yang menyengat sepanjang hari. Tidak sedikit pun saya menginsafi bahwa panas bisa menyejukkan hati saya saat saya menerima kepahaman mengenainya. Malamnya, udara panas masih juga menyertai hari, sehingga saya terdorong untuk menenggak sebotol air mineral. Tiba-tiba sebuah keinsafan mengguyur diri saya: beberapa jam sebelumnya, saya ditelepon oleh seorang saudara Subud saya yang ayahnya menderita gagal ginjal sehingga mesti cuci darah. Ayahnya itu pantang minum terlalu banyak, karena dapat mengakibatkan ginjalnya kepenuhan cairan – dan itu dapat membahayakan jiwanya. Saat itulah, ketika bayangan tentang ayah si saudara Subud itu memenuhi benak saya, spontan saya berucap, “Terima kasih, aku masih bisa minum.” Udara panas itu juga mengingatkan saya agar sering minum air putih, agar kesehatan ginjal saya terpelihara. Terima kasih, wahai udara panas...

Bukan main. Pengalaman ini membuat saya dan Anda sepatutnya berterima kasih sepanjang jalan untuk apa pun yang kita terima dalam hidup ini. Modalnya hanyalah niat dan kemauan untuk menginsafi bahwa segala sesuatu yang menghampiri kita datang dari dan kembali kepada Tuhan Yang Maha Memberi.©

Perjalanan yang Tak Kunjung Berakhir

“Perjalanan terpanjang adalah perjalanan ke dalam diri.”
—Dag Hammarskjold (1905-1961)


Saya sering melakukan perjalanan. Perjalanan di luar diri maupun perjalanan ke dalam diri. Kebanyakan perjalanan di luar diri yang saya lakukan membawa efek bagi sisi dalam diri saya. Sebaliknya, perjalanan ke dalam diri berpengaruh dalam kehidupan lahiriah saya. Kedua jenis perjalanan itu dapat Anda peroleh makna dan manfaatnya apabila Anda melakukannya secara sadar dan senantiasa merefleksi diri.

Pada sebagian besar perjalanan yang saya lakukan secara sadar dan berefleksi diri tanpa henti, saya kerap berkinerja sebagai pengelana tinimbang pelancong. Paul F. Bowles (1910-1999), seorang komposer, penulis dan penerjemah berkebangsaan Amerika yang perjalanannya ke Afrika Utara menjadi setting bagi novelnya, The Sheltering Sky (1949), yang diangkat sutradara terkemuka Bernardo Bertolucci ke layar perak dengan judul yang sama, mewakili pandangannya tentang perjalanan dalam pengertian kosa kata tourist dan traveler. Seorang tourist (pelancong) adalah sosok pribadi yang memikirkan pulang begitu dia sampai ke tujuan perjalanan, sementara seorang traveler (pengelana) tidak pernah akan kembali untuk selamanya.

Perjalanan dalam konteks saya menjadi pasal suatu pembelajaran diri, tidak hanya terapi untuk mengatasi stres. Baru-baru ini, tepatnya pada 11-13 April 2009, saya dan empat saudara Subud saya menempuh perjalanan ke Jawa Tengah, mengunjungi saudara-saudara Subud di Purwokerto serta menghadiri acara Pertemuan Pembantu Pelatih Daerah dan Pengurus PPK Subud Indonesia Pengurus Daerah V Jawa Tengah-DI Yogyakarta di Temanggung. Kami juga menyempatkan diri mengunjungi seorang saudara Subud di Wonosobo.

Berbagai pelajaran saya reguk dari perjalanan yang kami tempuh dengan mobil Hyundai Trajet itu. Pelajaran itu seakan dikirim dari langit, dan sesuai benar dengan keadaan diri saya saat itu yang tengah kecewa dengan kegagalan dan frustrasi terhadap sejumlah pembatalan terkait dengan pekerjaan-pekerjaan saya. Dalam perjalanan ke Jawa Tengah itu saya menjumpai seorang saudara Subud yang tengah ditimpa kemalangan – yang begitu mengenaskan hingga saya tidak mampu menahan airmata, yang membuat saya berpikir, bahwa keadaan saya jauh lebih baik dari dirinya dan sepatutnya saya bersyukur karenanya, alih-alih mengeluh.

Saya juga bertemu dengan saudara Subud di Wonosobo yang sukses mengembangkan kewirausahaan di bidang kerajinan bambu dan kayu. Dari kisahnya, semakin jelas dan nyata bagi saya bahwa kegagalan bukan untuk disesali, melainkan dijadikan pegas untuk dapat meraih prestasi lebih tinggi. Dia sering dan masih mengalami kegagalan di tengah usahanya, tetapi berbekal tekad dan keyakinan bahwa Tuhan senantiasa memberi pertolongan, langkahnya tak surut.

Dalam perjalanan balik ke Jakarta pada 13 April, kami singgah di kompleks pemakaman dan pesanggrahan Sukamulia, Cipanas, Jawa Barat, di mana makam pendiri Subud, Muhammad Subuh, beserta keluarganya berada. Selepas dari lahan berbukit nan hijau seluas 60 hektar itu, kami mengunjungi seorang saudara Subud yang sukses berbisnis budidaya anggrek impor dekat situ, walau malam telah menyelimuti bumi dan hujan mengiringi. Di tengah dingin yang cukup menggigilkan badan, kami mendengarkan tuturan kisah si pengusaha ketika mulai membangun bisnisnya.

Lagi-lagi, saya menangkap penjelasan bahwa kegagalan merupakan bagian dari kisah sukses. Sukses tidak dibangun dalam semalam, apalagi menyangkut tanaman anggrek yang memerlukan waktu untuk tumbuh dan berkembang, yang mesti dirawat dengan seksama dan dijaga. Sebagaimana sifat tanaman yang menjadi komoditi usahanya, si pengusaha juga mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara mental-spiritual. Ia menginsafi bahwa usahanya itu merupakan tuntunan Tuhan, mengingat bahwa sebelumnya ia sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidang peranggrekan. Bisnis semula yang sudah lama ditekuninya malah besi. Keyakinan akan pertolongan Tuhan serta keinsafan bahwa kegagalan bukanlah sesuatu yang buruk, lagi-lagi, menjadi energi pendorong kesuksesan bagi si pengusaha. Seperti kata pepatah, bad weather makes good timber – cuaca buruk hanya menyisakan pohon-pohon kokoh yang berkualitas baik. Semua orang yang berhasil dalam hidupnya telah melalui banyak sekali cuaca buruk.

Perjalanan kami ke dan dari Jawa Tengah pada 11-13 April itu selalu diwarnai tawa dan canda. Suasana riang meringankan perjalanan kami, membuat mobil yang kami tumpangi melaju ringan dan mulus di atas aspal, pengemudinya tidak kelelahan, serta saya mengalami pembelajaran tak henti-hentinya, bahkan ketika saya telah kembali di Jakarta. Perjalanan, di luar maupun di dalam diri, bila disadari dan sambil berefleksi diri akan menjadi proses yang tak kunjung berakhir.©

“Pakai Otak atau Buang Saja!”


“Otak adalah organ yang sangat hebat. Ia mulai bekerja pada
saat Anda bangun pagi dan tidak berhenti sampai Anda tiba di kantor.”
—Robert Frost (1874-1963)


Mendiang ibu saya adalah orang Aceh yang nenek-moyangnya berasal dari Irak dan Gujarat, India Selatan. Bisa dimaklumi bila semasa hidup beliau sering memasak menu khas Asia Selatan dan Timur Tengah, terutama yang bertema kari. ‘Teman makan kari’ biasanya adalah roti jala atau roti cane. Kebiasaan itu tampaknya sudah berlangsung lama hingga dianggap sebagai suatu konvensi: pelengkap makan kari adalah roti jala/cane, atau, sebaliknya, jika mau menyantap roti jala/cane, harus pakai kari.

Kari yang umumnya dianggap khas Timur Tengah adalah yang mengandung daging kambing. Saya tidak suka daging kambing, sehingga apabila ingin menikmati roti jala/cane saya tambahkan dengan kari ayam atau, bila tidak tersedia, dengan menu berkuah lainnya. Suatu kali, saya siram sepiring penuh roti jala dengan sup jagung, yang karuan saja membuat para tetua di keluarga saya membelalakkan mata dan menggeleng-gelengkan kepala, seakan saya baru saja melanggar adat-istiadat leluhur.

Sajian yang keluar dari zona kebiasaan makan tradisi Timur Tengah dan Asia Selatan itu tetap terasa lezat di lidah saya, dan secara tak sadar rupanya saya telah melakukan senam otak yang sangat bermanfaat bagi generasi Baby Boomers seperti saya.

Keluar dari rutinitas adalah tema sentral yang dikemukakan Lawrence C. Katz, Ph.D. dan Manning Rubin dalam buku yang mereka tulis bersama, Keep Your Brain Alive – 83 Neurobic Exercises to Help Prevent Memory Loss and Increase Mental Fitness (New York: Workman Publishing Company, 1999).

Menurut Katz, yang profesor biologi saraf di Duke University Medical Center dan peneliti pada Howard Hughes Medical Institute itu, otak yang jarang diberdayakan berpotensi melemah. Ia menulis di halaman 20: “Pakai atau buang saja – use it or lose it”. Otak yang aktif adalah otak yang sehat, sementara ketiadaan aktivitas mengurangi kebugaran otak. Untuk membantu meningkatkan kebugaran otak kita, Katz dan Rubin – yang tersebut kedua adalah seorang copywriter dengan pengalaman lama di biro-biro iklan besar seperti Grey dan J. Walter Thompson – menciptakan metode pemberdayaan otak yang mereka sebut neurobics, paduan kata neuro (saraf) dan aerobics (senam). Tujuan dari neurobics dan latihan-latihan berikutnya adalah memberi kita cara yang seimbang, nyaman dan menyenangkan untuk merangsang otak kita. Neurobics merupakan program saintifik yang akan membantu kita untuk memodifikasi perilaku kita dengan memperkenalkan hal-hal yang tidak terduga pada otak kita serta melengkapi bantuan dari semua indra kita ketika kita berkegiatan sepanjang hari.

Usia 40-50 tahun yang hinggap pada generasi Baby Boomers sekarang ini merupakan usia yang rentan terhadap kelupaan dan kelambanan berpikir. Penyebabnya, terutama, adalah tingginya tingkat rutinitas yang mereka lewati sehari-hari. Pada usia ini kebanyakan kita lebih suka berada di zona kenyamanan, bebas dari tantangan, serta enggan bersentuhan dengan hal-hal baru. Kita pun berubah menjadi robot, yang menjalani hidup dengan hal-hal, keadaan dan kegiatan yang sama, tanpa keinginan untuk sesekali atau senantiasa mengubahnya. Tulis Katz di halaman 22, “Otak manusia secara evolusioner dipersiapkan untuk mencari tahu dan merespons segala sesuatu yang tidak terduga atau baru – informasi baru yang masuk dari dunia luar yang berbeda dari apa yang diharapkannya. Itulah yang membuat otak bekerja. Sebagai respons atas kebaruan, aktivitas selaput otak meningkat di lebih banyak dan di berbagai area otak. Hal ini memperkuat koneksi-koneksi sinaptis, mengaitkan berbagai area secara bersama-sama dalam pola-pola yang baru, dan memompa produksi neurotrofin (molekul pertumbuhan otak yang diproduksi secara alami di dalam otak).”

Rata-rata kita menganggap bahwa dengan mendengarkan lebih banyak musik, menonton televisi lebih sering, atau dipijat, yang merangsang organ-organ pengindraan kita, akan membuat kesehatan otak menjadi lebih baik. Namun, bagaimanapun, stimulasi pasif semacam itu rupanya tidak bekerja sebagaimana neurobics, begitu pula dengan mengulang kegiatan-kegiatan rutin yang sama. Neurobics tidak pasif maupun rutin. Ia menggunakan indra-indra kita secara baru untuk keluar dari rutinitas kita setiap hari.

Sebagian besar – jika tidak bisa dikatakan semua – pekerjaan kita bersifat rutin dan memantangi kebaruan. Bahkan departemen kreatif di biro-biro iklan yang kerap diklaim sebagai sarangnya makhluk-makhluk kreatif tak terhindar dari rutinitas yang mematikan kreativitas. Seorang copywriter pernah mencoba mengoreksi saya sehubungan dengan kepala naskah sebuah iklan kolom yang saya buat, yang menggunakan tanda koma pada akhir kalimatnya, alih-alih titik atau tidak menggunakan tanda baca sama sekali. Saya menaruh koma itu sekadar untuk menampilkan sesuatu yang baru, karena iklan tersebut tidak menggunakan gambar, selain bahwa hingga saat itu tak pernah terlihat kepala naskah yang mencantumkan tanda koma pada penutup kalimatnya. Terbukti kemudian bahwa iklan kolom itu menarik perhatian pembaca, justru berkat koma yang ‘tidak pada tempatnya’ itu. Tindakan semacam ini dianjurkan Katz dan Rubin. Tulis mereka di halaman 32, “Dengan hanya melakukan perubahan-perubahan kecil di dalam kebiasaan-kebiasaan sehari-hari Anda, Anda dapat menjadikan rutinitas-rutinitas setiap hari menjadi latihan-latihan yang ‘membangun pikiran’.” Latihan-latihan ini dapat menjaga agar otak kita tetap hidup, kuat, dan sehat ketika kita semakin tua.

Banyak dari latihan-latihan neurobics menantang otak dengan mengurangi ketergantungannya pada penglihatan dan pendengaran serta mendorong indra penciuman, perasa dan pengecap kita yang jarang digunakan untuk memainkan peran yang lebih besar dalam kegiatan kita sehari-hari. Dengan demikian, jalur-jalur di jaringan asosiatif dari otak kita yang kurang aktif dirangsang, dan meningkatkan fleksibilitas mental kita.

Dalam buku setebal 148 halaman (termasuk catatan belakang dan biodata penulis) ini, terungkap bahwa tidak semua kegiatan kita yang keluar dari rutinitas dapat digolongkan sebagai neurobics. Jika Anda biasa menulis dengan pena, lalu menggantinya dengan pensil, itu tidak tergolong neurobics. Kegiatan tersebut baru bisa dikatakan neurobics jika dalam menulis Anda menggunakan tangan kiri, sementara sebenarnya Anda tidak kidal. Bagi mereka yang tidak kidal, yang mengendalikan pena adalah selaput otak di sisi kiri otak mereka. Ketika mereka menulis dengan tangan kiri, jaringan koneksi, sirkuit, dan area otak yang terlibat dalam menulis dengan tangan kiri, yang biasanya jarang sekali digunakan, kini diaktifkan di sisi kanan otak. Tiba-tiba otak dihadapkan dengan tugas baru yang menantang dan berpotensi menimbulkan frustrasi.

Saya bersyukur kepada Tuhan ketika memperoleh kesempatan membaca buku Keep Your Brain Alive ini. Buku ini memberi saya 'bonus' kepahaman bahwa seharusnya cobaan hidup itu sepatutnya disyukuri, alih-alih ditangisi. Jika saya terus-menerus disodori rutinitas hidup yang bebas dari jerih-payah dan penderitaan, dan terus menggelayut di zona kenyamanan, kemungkinan besar otak saya menjadi lemah dan organ-organ pengindraan saya menjadi tidak peka. Kalau sudah begitu, ya, sebaiknya dibuang saja.©

Friday, April 10, 2009

Melihat Dengan Hati

“Kita tahu tentang kebenaran, tidak hanya dengan nalar, tetapi juga dengan hati.”
—Blaise Pascal, (1623-1662)


Beberapa hari yang lalu, saya berniat untuk melakukan Latihan Kejiwaan Subud di kamar tidur saya. Seperti pada latihan-latihan kejiwaan secara bersama-sama, kami, para anggota Subud, biasanya melepas segala perhiasan dan aksesori yang melekat pada badan kami, semata agar tidak menimbulkan halangan ketika kami berlatih kejiwaan, yang pada dasarnya hanya menerima (receive) dengan sabar, ikhlas dan tawakal itu. Saat itu, saya masih mengenakan kacamata baca saya, yang memang sengaja tetap saya kenakan, agar istri saya menegur, “Kok kacamatanya nggak dilepas? Saya jawab sambil bergurau, “Biar nanti Tuhannya kelihatan jelas.”

‘Melihat Tuhan’ merupakan topik yang tidak pernah habis dibahas dalam berbagai diskusi spiritual dan keagamaan. Bagaimana caranya melihat Tuhan yang dipercaya merupakan eksistensi yang gaib, tankasat mata, namun ada? Para guru kebijaksanaan menganjurkan agar kita melihat dengan hati. Sama dengan melihat Tuhan, ‘melihat dengan hati’ adalah tema pembicaraan di kalangan pejalan spiritual yang tak pernah ada selesainya. “Lihatlah dengan hati” adalah salah satu sub-judul dari bab 6 buku Michael Ray, The Highest Goal – Rahasia yang Setiap Saat Menopang Anda (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2006). “Melihat dengan hati” juga adalah judul lagu Deddy Mizwar yang dijadikan original soundtrack-nya film Naga Bonar.

Bagaimana melihat dengan hati, sementara yang selama ini dianggap sebagai alat penglihatan adalah mata? Melihat dengan hati, menurut hemat saya, adalah merenungkan sisi keilahian dari semua keadaan yang melingkupi kehidupan kita maupun kehidupan itu sendiri. Melihat dengan hati adalah meletakkan segala sesuatu yang kita hadapi dalam hidup ini di sisi Tuhan – dengan kata lain, menempatkan apa pun di atas altar keindahan. Mata fisik kita tidak mampu melakukan hal itu. Ketika kita melihat segala keindahan yang ada di dunia ini dengan mata lahiriah kita saja, maka kita cenderung bersikap serakah dan ingin menguasai semua keindahan itu. Sikap itu, sudah tentu, mencelakakan.

Sesuatu bisa dianggap buruk, apabila kita melihatnya dengan mata lahiriah kita. Tetapi begitu pikiran kita hening, kebijaksanaan yang akan mengemuka, dan terbukalah mata hati kita. Pada saat itu, bahkan terbuka kemungkinan bagi kita untuk berkomunikasi dengan Tuhan, dengan sesama kita, dan dengan alam. Dengan hati, kita bisa melihat dengan kepekaan yang tajam.

Mengapa kita perlu membiasakan diri melihat dengan hati? Penulis dan penerbang berkebangsaan Prancis, Antoine de Saint ExupĂ©ry (1900-1944), di dalam novelnya yang paling terkenal, The Little Prince, yang diterbitkan pada 1943, menulis, “Hanya dengan hatilah seseorang dapat melihat dengan benar; apa yang esensial tidak terlihat mata.” Dengan melihat dengan hati, penglihatan kita akan jauh melampaui apa yang dapat diketahui mata lahiriah kita dan keheningan pikiran yang total membebaskan jarak pandang kita dari ‘radikal-radikal bebas pikiran’. Kita akan mampu melihat sisi-sisi terbaik dalam diri orang lain.

Ungkapan “dari mata turun ke hati” hanya ideal dalam fiksi. Sebaliknya, dalam kehidupan nyata dari kebanyakan kita, seringnya terjadi “dari mata naik ke pikiran”. Sejumlah guru kebijaksanaan menganggap bahwa pikiran adalah tempat bersemayamnya suara penilaian (voice of judgment) kita, sehingga mereka senantiasa mengajak kita untuk mempergunakan hati (maksudnya, hati spiritual, bukan hati fisik) sebagai jalan untuk memandang kehidupan kita maupun orang lain. Hati itu murni dan suci, pemberian Yang Maha Kuasa, yang diperuntukkan bagi manusia dalam bertindak, bekerja dan berinteraksi. Robert Frager dalam bukunya, Hati, Diri & Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi (Jakarta: Penerbit Serambi, 2006) mengungkapkan bahwa hati merupakan sesuatu yang identik dengan spiritualitas. Karenanya, bagi para sufi, hati adalah kuil Tuhan dan rumah cinta.

Ketulusan, niat baik, belas kasih, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan spiritualitas bersumber dari hati. Maka, kita cenderung mengatakan bahwa orang yang tidak memiliki ketulusan, niat baik, belas kasih, dan lain sebagainya tidak memiliki hati. Semakin kita menggunakan hati kita untuk melihat keindahan yang terdapat pada orang lain, benda dan keadaan (yang di mata lahiriah kita justru tampak buruk), kita semakin jelas melihat Tuhan – dan mencintaiNya. Melihat dengan hati membuat kita dapat menjalin hubungan dari hati dan membawa kita ke momen-momen yang mencapai keilahian bersama orang lain.©

Thursday, April 9, 2009

Ironi Zaman Sekarang

“Barangsiapa mengabaikan pembelajaran pada masa mudanya,
akan kehilangan masa lalunya dan mati di masa depannya.”

—Euripides (484-406 SM), Phrixus


Minggu, 6 April 2009 lalu, usai latihan bio energy power di halaman kantor TSA Komunika, di bilangan Cilandak Tengah, Jakarta Selatan, saya melaju ke Wisma Subud di Jl. RS Fatmawati, untuk menghadiri rapat serta untuk melakukan Latihan Kejiwaan sesudahnya.

Saya menghadiri rapat Pengurus Nasional PPK Subud Indonesia untuk membahas acara kunjungan ke PPK Subud Cabang Purwokerto dan Temanggung, Jawa Tengah, pada 11 dan 12 April mendatang. Saat pembahasan soal transportasi untuk menempuh perjalanan Jakarta-Purwokerto-Temanggung-Jakarta, salah seorang saudara Subud saya menawarkan mobilnya, yang selain besar juga “Ada GPS-nya!” Tawaran itu disambut gembira oleh beberapa orang lainnya di ruang rapat tersebut, bukan karena mobilnya saja, melainkan juga karena ada GPS (global positioning system)-nya. Mereka berkomentar, dengan adanya GPS, perjalanan kami akan lancar dan cepat sampai tujuan.

Saya pertama kali melihat alat navigasi bernama GPS itu ketika melakukan kunjungan ke kapal helicopter cruiser milik Perancis, Jeanne d’Arc (R97), yang merapat di dermaga Komando Lintas Laut Militer Tanjung Priok, tahun 1990an. Menurut seorang kadet akademi angkatan laut Prancis yang memandu saya dan kawan saya, GPS di kapal itu berfungsi sebagai sistem satelit navigasi global. Sebuah alat penerima GPS menghitung posisinya dengan secara tepat menghitung waktu dari sinyal-sinyal yang dikirim satelit-satelit GPS di angkasa. “Posisi secara pasti ditentukan oleh koordinat yang tercantum pada layar,” jelas si kadet. Tetapi, ia menambahkan, GPS itu tidak mampu menentukan apakah kapal sedang berada di laut dalam atau dangkal, atau ada karang atau ancaman gunung es. Untuk maksud itu, kapal memiliki sistem pengindraan di lambungnya.

Saya nyaris tidak bisa menahan tawa. Betapa tidak, pada saat rapat itu saya segera teringat pada perjalanan ke Purwokerto pada bulan Ramadhan tahun 1985 yang saya lakukan bersama ayah saya, dua bibi saya dan dua orang sepupu, naik sedan bobrok tak ber-AC, apalagi ber-GPS. Jalur pantai utara Jawa (Pantura) saat itu berupa jalan sempit, rusak dan tak berpenerangan. Kami berangkat dari Jakarta sore, dan selepas Cirebon, selain malam yang gelap-gulita, hujan lebat juga mengiringi laju sedan yang kami tumpangi. Kabut menutupi pemandangan di depan, sehingga ayah saya, yang memegang kemudi, menjalankan mobil dengan hati-hati. Kegelapan, kabut dan hujan lebat hampir selalu menghadang sepanjang perjalanan, tetapi ayah saya mempercayakan instingnya, dan tibalah kami di Purwokerto dengan selamat, 8 jam sejak keberangkatan kami dari Jakarta. Delapan jam – sama dengan waktu tempuh mobil ber-GPS di era modern ini, di mana jalur Pantura sudah jauh lebih baik keadaannya daripada di tahun 1985!

Inilah ironisnya kita. Semakin maju kehidupan kita sekarang, semakin jauh kita dari apa yang kita miliki secara alami. Dahulu, rasanya, kita bisa hidup normal tanpa telepon seluler, internet, GPS, PDA, Black Berry, dan teknologi acang (gadget) lainnya. Namun sekarang, tanpa itu semua rasanya hidup kita tak ada artinya. Ada yang bahkan merasa dunianya kiamat, saat acangnya ngadat.

Dahulu, orang tua kita, kakek-nenek kita, dapat hidup sehat dan berumur panjang tanpa harus mengonsumsi tablet vitamin atau suplemen energi. Sekarang, badan kita loyo apabila belum menenggak minuman berenergi atau beragam kapsul pembangkit stamina. Dahulu oksigen bebas kita hirup, namun sejak kita isi udara dengan polusi, kita terpaksa merogoh kocek demi sebotol air yang diiklankan mengandung oksigen. Bahkan anak sekolah saja tahu bahwa air itu mengandung satu atom oksigen yang berikat kovalen dengan dua atom hidrogen.

Dahulu pula, para leluhur kita mengandalkan keheningan batin mereka untuk berkomunikasi tanpa perantara dengan Tuhan, setiap saat. Kini, walaupun teknologi komunikasi sudah sedemikian canggih, manusia malah mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan Penciptanya, yang menyebabkan begitu banyak manusia menjadi lebih menderita meski dikelilingi peranti yang memiliki tujuan dan fungsi praktis, yang dimaksudkan untuk mempermudah hidupnya. Itu dikarenakan manusia lupa untuk hidup dengan apa-apa yang sudah ada pada dirinya.

Menurut Hiromi Shinya, MD, dalam bukunya, The Miracle of Enzyme: Self-Healing Program – Meningkatkan Daya Tahan Tubuh, Memicu Regenerasi Sel, Cetakan IV (Bandung: Penerbit Qanita-PT Mizan Pustaka, 2009), obat dan bahkan herbal bersifat asing bagi tubuh kita. Secara alami, obat-obatan membuat tubuh kita membangun toleransi terhadap zat-zat kimia dan karenanya menjadi tidak sensitif terhadap rangsangan. Hukum alam ini berlaku bagi apa pun yang menyangkut diri kita. Para pendahulu kita terbiasa dengan mendayagunakan apa-apa yang telah ada pada diri mereka.

Sejak aktif berlatih kejiwaan Subud, saya jadi mengerti bagaimana orang tua saya dahulu dapat merasakan keadaan serta ‘mendeteksi secara diam-diam’ keberadaan anak-anaknya (bandingkan dengan orang tua modern yang melengkapi diri mereka dan anak-anak mereka dengan ponsel supaya dapat tetap saling terkoneksi). Almarhum ibu saya kerap menolak pacar-pacar anak-anaknya tanpa terlebih dahulu berkomunikasi dengan mereka. Setelah saya berlatih kejiwaan Subud, saya mengalami sendiri, bahwa kehalusan rasa yang ada pada diri ibu berpotensi mensinyalir hal-hal niskala (tankasat mata) pada diri orang lain.

Kehalusan rasa meningkatkan kepekaan kita. Kepekaan yang tajam membuka saluran komunikasi dan perasaan antara kita dengan orang lain. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya bila kita semua dapat terkoneksi secara ‘gaib’. Takkan ada lagi konflik akibat salah paham, kasih sayang akan membudaya dan, yang pasti, industri perangkat teknologi informasi dan telekomunikasi akan gulung tikar!

Jika kita tak mau lagi memberdayakan apa yang ada pada dan dalam diri kita, dan sebaliknya selalu amat bergantung pada apa yang ada di luar diri kita, bukankah sebaiknya eksistensi kita diakhiri saja?©

Friday, April 3, 2009

Yang Kuasa di Kursi Terdakwa

“Tuhan menolong mereka yang tidak bisa menolong dirinya sendiri.”
—Wilson Mizner (1876-1933), dramawan



Kemarin (2 April 2009), saya menonton acara berita di salah satu stasiun televisi swasta, yang mengetengahkan berita tentang perkembangan pasca tragedi jebolnya tanggul Situ Gintung. Penulis puisi tentang tragedi itu diwawancarai; ia menekankan bahwa musibah jebolnya tanggul disebabkan oleh banyaknya anak-anak muda berpacaran di sekitar situ (danau) dan ada yang suka berjudi.

Kata-kata si penulis puisi, yang menurut saya, sama sekali tidak menyentuh jiwa itu, membawa ingatan saya pada saat Aceh digulung gelombang tsunami pada 26 Desember 2004. Kalangan beragama, utamanya, menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan konsekuensi logis dari menurunnya etika dan moral masyarakat Aceh, yang membiarkan perjudian serta kemaksiatan terjadi di daerah mereka. Sherina Munaf pun menyanyikan lagu yang bertanya mengapa Tuhan marah.

Setiap kali terjadi musibah yang memakan banyak korban jiwa, selalu saja Yang Kuasa didudukkan di kursi terdakwa. Maksud di balik ‘pendakwaan’ itu, saya kira, bertujuan baik, yaitu untuk mengingatkan kita agar tidak lalai dalam perbuatan serta amal ibadah agama kita masing-masing. Tetapi, di lain pihak, dengan meletakkan penyebab timbulnya segala bencana alam di tangan Tuhan tanpa kita sadari sama dengan ‘melempar batu sembunyi tangan’, alias menutup-nutupi akibat perbuatan kita sendiri. Bagaimana tindakan kita terhadap lingkungan hidup, yang menyebabkan semua bencana alam itu terjadi, sama sekali tidak diekspos.

Klien saya dahulu, seorang peneliti VCO (virgin coconut oil) dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, ketika mengisahkan perjalanannya ke Aceh menyampaikan kesaksiannya bahwa sebuah rumah di bibir pantai yang dikelilingi pohon kelapa terhindar dari kehancuran. Itu memperkuat keyakinan saya bahwa Tuhan menyelimuti pantai-pantai dengan pohon kelapa dan pohon bakau agar manusia yang mendiami lahan-lahan di daerah pesisir terlindungi dari ombak besar. Tetapi, manusia malah menebangi pohon-pohon pelindung itu agar lahan tumbuhnya bisa dijadikan tambak atau persawahan, atau malah perumahan. Mungkin mereka berpikir, “Kalau ada apa-apa, kita kan bisa mendakwa Tuhan sebagai penyebabnya. Entar kita bikin isu bahwa kampung kita banyak kemaksiatan yang bikin Tuhan marah.”

Sesungguhnya tidak tepat istilah ‘bencana alam’, melainkan ‘peristiwa alam’. Istilah ‘bencana alam’ seolah menuding alamlah biang keladinya bencana. Sebuah paper dari Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bagian Barat (BP2TPDAS-IBB) menyampaikan, bahwa peristiwa alam sebenarnya menunjukkan bahwa alam sedang bergolak menuju keseimbangan baru. Kondisi ini akan terus bergerak menyesuaikan diri terhadap intervensi manusia yang tidak pernah berhenti memengaruhinya. Proses alam saat menuju keseimbangan baru ini sering kurang bisa dimaknai oleh manusia. Sebaliknya, manusia seringkali malah saling menyalahkan, bukannya mencari solusi yang arif.

Dalam rangka menuju keseimbangan alam ini, sesekali bumi ingin ‘membetulkan duduknya’, yang menimbulkan goncangan gempa bumi. Yang salah adalah manusia – mengapa pula bermukim di kawasan rawan gempa. Kalau pun tidak ada pilihan lain, Tuhan toh sudah membekali manusia dengan perangkat berpikir yang memandunya dalam bertindak. Ia bisa membuat infrastruktur untuk mengurangi dampak gempa bumi serta memanfaatkan prasarana-prasarana yang tersedia di alam, seperti daerah aliran sungai dan hutan.

Ketika masih menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, untuk tugas salah satu matakuliah saya menulis makalah tentang cikal-bakal berdirinya kota Batavia. Ketika VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) memindahkan basis administrasi dan perdagangannya dari pelabuhan Banten ke tanah yang kini menjadi pondasi kota Jakarta, seorang ahli geografi Belanda (saya lupa namanya, walaupun bukunya saya pakai sebagai salah satu acuan untuk penulisan makalah tersebut) sudah memperingatkan bahwa kawasan yang saat itu ditempati kota Jayakarta rawan gempa. Tetapi karena Gubernur Jendral VOC pertama, Pieter Both, bersikeras menjadikan Jayakarta pusat aktivitas perdagangan dan pelabuhan VOC, maka Belanda membangun gorong-gorong di bawah tanah serta saluran-saluran air (kanal) di permukaan tanah untuk membantu mengurangi efek gempa bumi terhadap manusia dan bangunan.

Seiring kemajuan zaman, kemampuan berpikir manusia malah semakin mundur. Eksistensi gorong-gorong warisan Belanda tersebut diakhiri oleh tancapan tonggak-tonggak pondasi dari gedung-gedung pencakar langit yang kini terhampar di kota Jakarta. Kanal-kanal digusur pembangunan fisik yang membabi-buta, yang mengakibatkan banjir rutin bertamu ke ibukota, yang ketika memakan korban jiwa para pemimpin agama pun beramai-ramai mendudukkan Yang Kuasa di kursi terdakwa.

Banjir bandang di Pacet, Mojokerto, Jawa Timur, pada 11 Desember 2002, yang menewaskan 26 orang yang sedang berendam air panas di kawasan wisata tersebut disebabkan oleh penggundulan hutan. Penggundulan hutan dan kurangnya daerah resapan air umumnya menjadi penyebab tanah longsor, seperti yang terjadi di Mandalawangi, Garut, Jawa Barat, pada 28 Januari 2003, yang menewaskan 21 orang. Pada 2 November 2003, terjadi bencana banjir bandang yang sangat dahsyat di Bukit Lawang, Bahorok, Sumatra Utara, yang memakan korban tidak kurang dari 134 orang meninggal serta ratusan lainnya hilang. Penyebabnya: penebangan liar besar-besaran di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Diterjangnya Aceh oleh gelombang tsunami adalah akibat pengrusakan terhadap perlindungan alaminya.

Jebolnya tanggul Situ Gintung disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap kondisi tanggul yang telah ada sejak zaman kolonial. Masyarakat yang tinggal di kawasan di dekat tanggul, yang dahulunya merupakan persawahan itu, mestinya juga turut bertanggung jawab, jangan hanya menyalahkan pihak-pihak berwenang, karena itu menyangkut keselamatan mereka juga. Mungkin perjudian dan perbuatan maksiat ada sangkut-pautnya; mungkin masyarakat terlalu asyik berjudi dan berbuat asusila sampai lupa tanggulnya sudah mau jebol. Apa pun alasannya, intinya korban jiwa dan kerugian harta dalam setiap peristiwa alam adalah akibat ketidakpedulian manusia. Tuhan selalu memberikan pertolongan, dengan menyediakan bagi kita akal untuk berpikir dan sebagai pemandu kita dalam bertindak, serta berbagai kelengkapan yang sudah ada dari dahulu di lingkungan hidup kita. Lalu, apakah patut mendudukkan Yang Kuasa di kursi terdakwa setiap kali peristiwa alam menimbulkan korban jiwa?©

Wednesday, April 1, 2009

Tak Kenal, Sayang Deh…

“Tak kenal maka tak sayang.”
—Peribahasa


Waktu saya mulai latihan olah napas dan gerak BEP (bio energy power) lebih dari seminggu yang lalu (22 Maret 2009), saya langsung merasakan manfaatnya, baik bagi kesehatan fisik maupun mental saya. Yang menganjurkan agar saya berlatih BEP adalah saudara Subud saya yang telah enam bulan lebih dahulu berlatih BEP disertai diet yang disiplin, dan kini berat badannya turun hingga lebih dari 25 kilogram, serta untuk pria berusia 64 tahun seperti dirinya ia tergolong sangat sehat. Tanpa ragu, saya menyambut anjurannya, karena saya tergolong orang yang suka mencoba hal-hal baru. Kalau pun nantinya keliru atau tidak cocok, saya bisa segera memutuskan untuk menghentikannya. Nothing to lose-lah. Lagipula untuk urusan olahraga dan kesehatan, tidak ada metode yang terlalu buruk. Apalagi, bagi saya, BEP membuat saya – yang pada dasarnya malas berolahraga – berpikir: “Olahraga berat tak pernah seringan ini.”

Serupa hal-hal lainnya, tak peduli seberapa pun besar manfaatnya, saat saya tawarkan BEP kepada kerabat, teman dan relasi saya, muncul penolakan, baik tersurat maupun tersirat. Ada yang dengan gaya sok tau menyama-samakan dengan metode lain, seperti Yoga atau meditasi, padahal saya belum memberi gambaran tentang bentuk-bentuk olah napas dan olah geraknya. Pikiran mereka sudah dibentengi, sementara mereka belum tahu yang datang kawan atau lawan. Sayang deh, tetapi saya tak terlalu peduli; yang saya khawatirkan adalah kesehatan mereka. Biarpun tidak sakit, menerapkan gaya hidup sehat juga penting.


Banyak di antara kita, dan mungkin juga kita sendiri, yang sudah kepalang membentengi pikiran dari hal-hal baru, tanpa mau tahu bahwa kemungkinan hal baru itu justru manfaatnya sangat besar. Kawan saya yang pengangguran pernah saya tawari untuk melamar jadi account executive (AE) di tempat saya bekerja dahulu, sebuah biro iklan multinasional, dengan gaji tetap dan tunjangan. Dengan pikirannya terbentengi pengetahuan keliru bahwa AE biro iklan itu sama dengan AE perusahaan pemasaran atau tenaga penjualan yang tugasnya mencari pelanggan/nasabah dari-pintu-ke-pintu dan dibayar dengan komisi, ia menolak mentah-mentah. Padahal saya sudah memberi gambaran yang komprehensif tentang pekerjaan AE di biro iklan dan sudah mendesak kawan saya untuk mencobanya terlebih dahulu selama maksimal enam bulan. Ia tetap menolak! Alhasil, hingga kini ia masih menganggur.

Ketika saya pertama kali diperkenalkan ke Susila Budhi Dharma (Subud) lebih dari lima tahun yang lalu oleh mitra kerja saya di Surabaya, saya sedang melewati masa pergolakan batin akibat kekecewaan terhadap hidup dan terhadap Tuhan – yang berbuntut saya sempat tidak memercayai eksistensi Tuhan lagi, yang saya rasa saat itu tidak teratasi oleh amalan agama semata. Bagaimanapun, saya sempat terkendala oleh pikiran saya sendiri yang masih terbentengi oleh anggapan bahwa yang tidak diajarkan oleh agama adalah tidak baik. (Sesungguhnya, yang kini kebanyakan kita anggap merupakan ajaran sah dari agama yang kita anut justru tidak ada atau bahkan bertentangan dengan ajaran azalinya.) Sekarang, setelah masuk Subud, saya menyesal, mengapa tidak dari dahulu saya masuk Subud. Sebab, berkat saya tidak membiarkan kekurangtahuan saya menghalangi saya masuk Subud, kini wawasan saya tentang agama saya maupun kehidupan saya amat kaya. Karena kenal (Latihan Kejiwaan Subud) saya jadi tahu manfaatnya, dan kini jadi sayang.

Kurangnya pengetahuan serta ketidakmauan kita untuk membuka pikiran kita terhadap pengetahuan mengenai hal-hal baru merupakan salah satu alasan utama mengapa potensi-potensi kita sulit terealisasi. Belum apa-apa, kita sudah membentengi diri, sehingga peluang yang mungkin mengetuk gerbang pun balik badan dan pergi. Kita sering kali takut untuk mengambil risiko, sementara hidup kita sendiri sarat dengan risiko. Jangan anggap, bahwa duduk santai, menikmati secangkir teh di teras rumah sendiri, adalah tindakan bebas risiko. Bila Tuhan menghendaki, Anda bisa terkena serangan jantung dan langsung mati di tempat. Atau, tiba-tiba saja sebuah truk yang sedang melintas di jalan raya depan rumah Anda menyeruduk ke teras rumah Anda saat Anda asyik menyeruput teh. Tidak ada yang bebas risiko. Seberapa pun besarnya upaya kita menghindari risiko, ia dapat sewaktu-waktu menghampiri kita. Hadapi saja risiko (asal bukan sengaja mencari-carinya) bila ia mendatangi Anda; kemungkinan besar Anda akan memperoleh sesuatu yang berharga. Para wirausahawan membangun kesuksesan mereka di atas setumpuk kegagalan. Mereka tahu usahanya penuh risiko, tetapi bukannya kabur darinya, mereka malah menghadapinya. Bagaimana kita bisa benar jika kita takut berbuat salah? Sama halnya, bagaimana kita bisa sukses, bila kita tak kenal yang namanya gagal? Kalau tak kenal, ah sayang deh…©