Wednesday, November 25, 2009

Dan Sebaliknya,...

"Sukses adalah kemampuan untuk melewati kegagalan yang satu ke yang lainnya tanpa kehilangan antusiasme."
--Sir Winston Churchill (1874-1965)
Seorang kawan, yang saya tanya bagaimana kabar bisnisnya, menjawab, "Berjalan mundur, Mas." Lalu, saya tanya lagi, langkah apa yang ditempuhnya untuk mengatasi hal itu. "Aku balikkan badanku saja, toh jadi maju juga," jawabnya tanpa merinci maksudnya. Tetapi jawabannya yang terkesan seloroh itu membangkitkan pada diri saya permenungan yang mendalam.
Kemunduran atau kegagalan dalam ikhtiar tidak seharusnya menyurutkan langkah kita untuk tetap tegar menyambut tantangan, menerjang rintangan. Kemunduran atau kegagalan, menurut saya, hanyalah keadaan pikiran (state of mind), yang sesungguhnya dapat diatasi dengan bersikap dan bertindak (seakan) sebaliknya.
Tidak selamanya kemunduran atau kegagalan merupakan pertanda kebodohan atau kesembronoan kita. Kalau pun bodoh atau sembrono, demikian pengalaman saya menuturkan, kita akan mendapat arahan yang jelas apabila kita bersedia merendahkan hati di hadapan Yang Kuasa. Seabrek hikmah pembelajaran menyemburat dari eksistensi kegagalan. Tanpa kemunduran atau kegagalan, kita takkan dapat mengukur sampai di mana aras (level) kita dalam perjalanan usaha yang sedang kita jejaki.
Kenyataan ini seyogianya membuat kita bersyukur atas kemunduran atau kegagalan yang menghampiri kita. Bertahun-tahun lalu, saya pernah mengalami momen di mana naskah-naskah artikel yang saya kirim ke sebuah suratkabar papan atas bertiras nasional ditolak oleh redaksinya hingga dua belas kali. Kegagalan demi kegagalan itu membentuk serpihan-serpihanpuzzle hikmah yang saya coba susun hingga mewujud suatu gambaran yang jelas mengenai tuntunan Tuhan atas diri saya, ketika saya hendak mengirimkan naskah yang sama untuk kali ketiga belas. Yang ketiga belas itulah yang akhirnya dimuat. (Saya tak dapat membayangkan, bagaimana jadinya seandainya saya putus asa dan menyerah saat pengiriman yang kedua belas ditolak redaksi suratkabar tersebut.)
Pengalaman dengan artikel itu mendorong saya untuk selalu melihat kemunduran atau kegagalan dari sisi yang berbeda, yaitu yang sebaliknya, yang akhirnya membuat saya memahami bahwa kemunduran atau kegagalan hanyalah satu fase dalam proses tumbuh-kembang kita, dalam upaya apa pun yang sedang kita tempuh. Hanya satu fase. Yang tanpa itu kita takkan mendapat gagasan yang utuh tentang bagaimana Tuhan membimbing dan menuntun kita dalam menemukan makna sejati dari keberadaan kita di dunia ini.
Kegagalan itu hanyalah kawan seperjalanan dari sosok yang selama ini selalu saja kita puja-puji, yaitu kesuksesan. Keduanya, sejatinya, mewujud tiang-tiang penopang hidup kita; keduanya serupa satu pinang dibelah dua. Dua sisi dari mata uang yang sama.
Oleh karena itu, tak layak kita kelewat gembira dengan yang satu (kesuksesan), dan terlalu berlara, hingga kita terperosok ke lubang keputusasaan, atas kehadiran yang lainnya (kegagalan). Jika kemunduran mewarnai hidup Anda, janganlah terseret olehnya. Lakukan yang sebaliknya -- balik badan, seperti kawan saya tadi. Sambutlah hidup dengan selalu tersenyum kepada dunia.©

Sunday, November 1, 2009

Menuliskan Jalan ke Surga

"Verba volant, scripta manent -- kata-kata yang diucapkan akan hilang, kata-kata yang ditulis tetap abadi."
--Ungkapan Latin


Semasa bekerja di Surabaya, tak jarang saya menjumpai orang-orang yang berasal dari pulau di sebelah timur-laut Kota Pahlawan, yang kini terhubung oleh jembatan yang dinamai Suramadu. Saya sulit mencerna jalan pikiran mereka terkait kehidupan beragama. Mereka doyan pergi berhaji ke Mekah dan kentara sekali tingkah-laku sebagai umat beragama Islam.

Suatu kali, saya bertanya pada pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah mertua saya, yang berasal dari pulau penghasil garam itu. Dia fasih membaca Al Qur'an, tetapi tidak pernah menjadi soal baginya bahwa dia tidak mengerti artinya -- sehingga apa yang dibacanya dapat diamalkan dalam kehidupannya sehari-hari. Bagi dia, membaca Al Qur'an saja sudah cukup untuk membentang jalan ke surga.

Di lain kesempatan, saya menjumpai seseorang di warung cangkrukan (nongkrong), juga dari pulau yang sama, yang dari busananya menandaskan kehajiannya. Dia bilang, apabila kita rajin menunaikan rukun Islam, berbuat yang tidak baik pun tetap saja jalan ke surga bakal terbuka. Saya jadi bingung -- apa iya kunci surga hanya ibadah ritual?

Baru-baru ini, saya memperoleh jawaban bahwa jalan ke surga itu banyak jumlahnya -- sebanyak jumlah manusia yang ada di permukaan bumi ini, tetapi inti dari semua itu adalah kebermanfaatan bagi orang lain. Percaya atau tidak, kegiatan menulis merupakan salah satunya. Paling tidak, itu yang dinyatakan dalam buku karya Abu Al-Ghifari berjudul Kiat Menjadi Penulis Sukses: Menggapai Surga dengan Tulisan -- Panduan untuk Generasi Muda Islam, Cet. III (Bandung: Mujahid Press, 2003).

Tampaknya penulis buku tersebut berangkat dari sabda Nabi Muhammad SAW. Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda, "Tiga orang yang selalu diberi pertolongan oleh Allah Swt., adalah seorang mujahid yang memperjuangkan agama Allah Swt., seorang penulis yang memberi penawar, seorang yang menikah demi menjaga kehormatan dirinya" (HR Thabrani).

Yang dimaksud dengan 'penulis yang memberi penawar' adalah penulis yang dapat memberikan inspirasi atau solusi bagi kepentingan umum. Menurut penulis buku tersebut, menulis adalah ibadah yang pahalanya akan didapatkan di sisi Allah Swt. kelak, yang jauh lebih besar daripada yang didapatkan di dunia. Pahala yang besar itu adalah jariyah dari tulisan kita. Apabila kita menulis, dan tulisan itu abadi, dibaca oleh lintas generasi, maka sekalipun kita telah tiada, selama tulisan itu dibaca orang, dan orang mendapatkan penawar yang mujarab bagi problema hidupnya, maka pahalanya akan tetap mengalir.

Secara keseluruhan, buku Abu Ghifari ini tidak menawarkan sesuatu yang baru; ia menawarkan kiat-kiat dan teknik menulis yang banyak terdapat di buku-buku sejenis. Yang membuka mata hanyalah Bab 1-nya, yaitu di mana ia memaparkan bukti-bukti Qur'ani bahwa menulis itu merupakan ibadah, utamanya menulis bagi kemaslahatan orang banyak. Namun, bagaimanapun, kegiatan apa saja yang menimbulkan kebermanfaatan bagi orang banyak merupakan ibadah, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberi manfaat bagi manusia lainnya" (HR Bukhari).©

Pikiran Menyakiti, Pikiran Mengobati

Tahun 2006, saya harus diopname di rumah sakit selama delapan hari akibat infeksi lambung yang akut. Rasa sakit yang menyerang perut saya luar biasa hebat, seakan ribuan jarum sedang menusukinya dengan kejam. Sebelum masuk RS, saya sudah menderita sakit itu selama dua minggu. Setiap malam, di kamar saya mengerang-erang kesakitan. Berbagai tindakan, dari medis (obat) sampai agamis (membaca Surat Yasin), saya tempuh. Namun, tak satu pun membawa hasil. Saya berguling-guling di lantai, menggelepar, menggeliat-geliat laksana ayam disembelih.

Suatu pagi, pada hari keempat di RS, saya kembali menggeliat kesakitan di lantai kamar, sampai kemudian dipapah perawat kembali ke ranjang. Sementara perawat berkonsultasi dengan dokter mengenai tindakan apa yang mesti diambil untuk mengatasi sakit saya, istri saya yang menemani hari-hari saya di RS membujuk agar saya menenangkan diri. “Kamu udah Subud. Pakai latihan (kejiwaan)nya,” bisik istri saya.

Saya lalu memejamkan mata, menentramkan diri. Saya tarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya panjang sambil melafalkan ‘Allah’ dengan lirih. Setelah beberapa kali, sakit di perut saya perlahan sirna seiring saya memasuki alam mimpi. Samar-samar, saya mendengar suara perawat yang telah kembali ke kamar saya membawa sebotol sedang infus antibiotika yang diperintahkan dokter, “Wah, Pak Anto ini. Tadi jerit-jerit, sekarang udah tidur.”

Di lain kesempatan, masih di RS, sejumlah saudara Subud yang datang menjenguk mendampingi saya berlatih kejiwaan Subud, yang pada pokoknya dimulai dengan menenangkan akal pikiran dan hawa nafsu. Dalam waktu seketika, erangan saya berubah menjadi tawa terpingkal-pingkal, sedangkan sakitnya luruh sejalan dengan redamnya pikiran sakit saya.

Sejak saat itu, saya selalu mengamalkan laku tersebut di atas. Sejak saat itu pula, saya diberi kepahaman bahwa kondisi sehat atau sakit kita utamanya dipicu oleh pikiran. Pikiran dapat menyakiti, apabila ia sedang kemrungsung (Jw., ‘kacau’). Tetapi pikiran jua yang mengobati, jika kita dapat meredakan kekacauan di wilayahnya.

Ketika dokter spesialis penyakit dalam yang menangani saya akhirnya tidak menemukan penyebab penyakit yang saya derita – setelah saya menempuh pelbagai pemeriksaan dengan alat-alat canggih, melainkan akibat yang ditimbulkannya, yaitu luka-luka seperti sariawan di kerongkongan saya lantaran keseringan muntah, saya jadi memahami bahwa Gusti Allah sedang memberi saya pelajaran berbobot emas: Pikiran menyakiti, pikiran pula yang mengobati!

Belakangan, tak berkurang jumlah profesional kesehatan dalam maupun luar negeri yang mengaitkan penyakit dengan pikiran. Obat yang kesaktiannya sundul langit sekali pun takkan mampu mengatasi penyakit yang kita derita apabila pikiran kita masih merayakan kekacauan. Coba simak apa kata para dokter berikut ini:

Michael F. Rozen, M.D. dan Mehmet C. Oz, M.D., You, The Owner’s Manual – Panduan Menjadi Dokter bagi Diri Sendiri untuk Hidup Lebih Sehat dan Awet Muda dengan Memahami Tubuh Anda (Yogyakarta: Penerbit B-First/PT Bentang Pustaka, 2007, hlm. 88): “Dengan bermeditasi, ada imbalan berlipat ganda. Meditasi membantu memelihara sel-sel otak Anda dan menjaga fungsi-fungsi yang berhubungan dengan daya ingat , dan komponen pengurang-stres dalam meditasi membantu kondisi-kondisi seperti gangguan depresi dan kecemasan. Untuk bermeditasi, yang Anda butuhkan hanyalah sebuah ruangan yang tenang. Dengan mata setengah tertutup, berfokuslah pada pernapasan Anda dan ulangi kata atau frasa yang sama berkali-kali – misalnya ‘um’ atau ‘satu’. Proses pengulangan kata yang sama itulah yang membantu menjernihkan dan mengendurkan pikiran Anda, dan yang memberi pengaruh positif bagi kesehatan Anda, kecuali jika Anda menggunakan kalimat, ‘Aku pengin keripik kentang.'”

Dr. Tan Shot Yen, Saya Pilih Sehat dan Sembuh – Transformasi Paradigma Mengobati Menjadi Menyembuhkan (Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, tth, hlm. 84-85): “Keluhan simtomatis atau psikosomatis (gangguan pada tubuh yang disebabkan oleh gangguan emosi/pemikiran tertentu) di tangan dokter malah diselesaikan dengan obat, bukan mengembalikan gangguan emosi pada ‘jalur sehat’nya, sehingga keluhan tubuh menjadi sirna dengan sendirinya – sebagai umpan balik positif.”

Di halaman lampiran bukunya tersebut (hlm. 103), Dokter Tan juga mengungkapkan, antara lain, bahwa kanker dapat disebabkan oleh keadaan batin yang terluka sangat dalam, kemarahan lama, rasa terkubur dalam atau rasa duka seakan-akan memakan cangkangnya. Ia menganjurkan pasien untuk dengan cinta memaafkan dan mengikhlaskan semua masa lalu. “Saya memilih hidup dengan kegembiraan, saya cinta dan menerima diri apa adanya,” katanya.

Dr. Ade Hashman, Rasulullah Saw. Tidak Pernah Sakit – Meneladani Pola Hidup Sehat Nabi Muhammad Saw. (Jakarta: Penerbit Hikmah/PT Mizan Publika, 2008, hlm. 55: “Bagaimana seseorang menjalani hidup sangat memengaruhi sejumlah risiko menderita penyakit-penyakit dan juga memengaruhi penyembuhan bila menderita sakit. Banyak orang merasa terancam status kesehatannya saat memasuki paruh umur setengah baya. Tapi, sesungguhnya kekhawatiran tersebut dapat dihindari bila manusia memperlakukan tubuh dan pikiran dengan cara-cara yang sehat dan bijaksana yang melindungi sistem penyembuhan.”

Hiromi Shinya, M.D., The Miracle of Enzyme: Self-Healing Program – Meningkatkan Daya Tahan Tubuh, Memicu Regenerasi Sel (Bandung: Penerbit Qanita/PT Mizan Pustaka, 2009, hlm. 246: “Ada beberapa contoh mengenai orang-orang yang secara menakjubkan dapat sembuh dari sakit parahnya setelah menetapkan pikiran mereka pada suatu tujuan. Ada berbagai contoh dari seluruh dunia saat orang-orang yang menderita kanker mengalami rasa syukur karena satu dan lain hal, dan begitu mulai mengalami perasaan itu, mereka pun mulai membaik.” Dalam tujuh kunci emasnya untuk hidup sehat, Dr. Shinya menganjurkan kita untuk rajin bermeditasi dan berpikir positif.

Saya kira, pendapat-pendapat para dokter tersebut di atas mempertegas kenyataan bahwa pada zaman para leluhur kita penyakit-penyakit yang beredar tidak sedahsyat sekarang. Di salah satu kampung pantai di Kabupaten Jayapura, Papua, yang saya kunjungi pada bulan Mei dan Juni 2009 lalu, yang kehidupannya tenang dan permai, penyakit terparah yang diderita penduduknya hanya batuk, akibat cuaca panas dan debu! Dan obatnya hanya daun pepaya yang ditumbuk dan disantap bersama makanan pokok mereka, yaitu bubur sagu papeda.

Pikiran adalah pembantu yang baik, tetapi majikan yang buruk. Oleh karena itu, dalam situasi-situasi yang buruk sebaiknya jangan biarkan pikiran yang memimpin Anda. Lepaskan semua, dan biarkan Tuhan yang bekerja (let go, let God) dalam membimbing dan menuntun jiwa kita yang berbalut penyerahan diri kepadaNya dengan sabar, ikhlas dan tawakal.©

Dari 3T ke 1T

“Yang sulit bagi manusia adalah mudah bagi Tuhan.”
—Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo (1901-1987)


Pagi itu, saya bilang ke istri saya bahwa saya tidak mau lagi menerima pekerjaan penulisan laporan tahunan (annual report). Istri saya memang membantu memasarkan jasa penulisan naskah iklan (copywriting), naskah audio-visual (audio-visual scriptwriting), naskah kehumasan (public relations writing) dan penulisan artikel wisata (travel writing) yang saya tekuni, baik secara pribadi maupun lewat perusahaan.

Istri saya justru menganjurkan sebaliknya. Menurutnya, selama saya masih merintis karir sebagai pekerja lepas (freelance) – yang pendapatannya tidak rutin – sebaiknya saya menerima semua jenis pekerjaan penulisan yang ditawarkan, tanpa pilih-pilih. Kalau saya kemudian berubah pikiran, dan memutuskan untuk menerima dan mensyukuri jenis pekerjaan apa pun yang dilimpahkan ke saya, bagaimanapun, bukan berdasarkan apa yang dikatakan istri saya tadi, melainkan suatu kepahaman yang menggema di dalam diri saya. Kepahaman bahwa apabila saya belum apa-apa sudah memblokir diri dengan 3T, itu artinya saya telah mendahului kehendak Tuhan. Terngiang-ngiang di benak saya pesan saudara Subud saya beberapa hari sebelumnya, agar saya membaca dan menyelami makna hakiki dari Surat al-Alaq, utamanya ayat 1 sampai 5. Saya merasa malu sekali, seakan saya ditegur oleh Tuhan: “(Allah) mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS 96: 5).

Pengalaman saya selama ini mempertegas bahwa hambatan yang kita hadapi dalam berusaha sebagian besar berasal dari diri kita sendiri. Saya kerap menjumpai orang-orang yang memblokir diri mereka dengan 3T – tidak bisa, tidak mungkin, dan tidak punya pengalaman. Pengalaman saya (yang begitu banyak terkait dengan hal ini) membuktikan bahwa apabila kita singkirkan 3T dan menempatkan 1T dalam garis lurus sejajar dengan hati dan pikiran kita, maka apa pun yang merintangi jalan usaha kita akan luruh dan lenyap tak berbekas. 1T itu mengacu pada Tuhan Yang Maha Satu. Dia yang akan mengajarkan dan menuntun kita dalam segala sesuatu yang sering kita anggap diri kita tidak bisa, tidak mungkin atau tidak punya pengalaman untuk melakukan atau mengerjakannya, sehingga kita cenderung tidak mau melakukannya.

Belakangan ini, saya acap mendapat tawaran pekerjaan-pekerjaan yang jenisnya belum pernah saya lakukan sebelumnya. Saya selalu mengiyakan, karena dalam rangka melayani klien saya selalu berusaha untuk tidak mengecewakannya. Kadang, memang saya diliputi keraguan: “Mampukah saya melakukannya?” Biasanya, sesudah itu muncul suara batin yang mengajak saya merenungkan perjalanan ke belakang, yang sarat dengan pengalaman pribadi dengan pertolongan ‘gaib’ dari arah yang tak disangka-sangka. Selama ini, saya hanya berdoa, yang melantun di tengah hening diri yang tentram – setelah menerima pekerjaan. “Ya Tuhan, jika ini memang Engkau maksudkan untukku, berilah aku petunjuk dan tuntunanMu.” Sesudah itu, selama pelaksanaan pekerjaan, diri saya dimampukan untuk menerobos segala blokade, menggeser diri saya dari 3T ke 1T.©

Kata Siapa?

Semasa saya kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI, kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya atau FIB-UI), saya pernah mengambil matakuliah yang diajarkan oleh DR Onghokham (1933-2007), salah seorang pakar terkemuka sejarah Indonesia abad ke-19. Suatu kali, beliau membuat saya – bila tidak dapat dikatakan semua mahasiswa yang mengikuti kuliah beliau – menginsafi kenyataan bahwa siapa yang mengatakan lebih penting daripada apa yang dikatakannya. Beliau menyampaikan, “Kalau seorang Onghokham bilang di Gedung VI ada setannya, koran Kompas pun akan memberitakannya. Tapi kalau mahasiswa yang bilang di Gedung VI ada setannya nggak seorang pun bakal percaya.”

Beliau sedang mengacu pada pemberitaan di sebuah koran murahan, bahwa sejumlah mahasiswa program diploma FSUI mengaku melihat kuntilanak di tengah proses belajar-mengajar di Gedung VI, salah satu bangunan fakultas yang dipakai untuk kegiatan perkuliahan. Pernyataan mahasiswa tempatnya hanya di koran picisan, mungkin begitu maksud pernyataan sejarawan eksentrik dan hedonis itu. Tetapi beliau menekankan bahwa kecenderungan itu juga terjadi dalam penulisan sejarah. Pernyataan pelaku sejarah yang mungkin kurang dikenal bisa dikalahkan oleh statement akademis seorang ahli sejarah yang terkenal.

Kenyataan ini ada dan masih terus berlangsung di tengah-tengah kita. Masyarakat lebih percaya pada siapa yang mengatakan tinimbang apa yang dikatakan. Bukan berarti hal itu selalu dapat dibenarkan, sebab kecenderungan itu seringnya disalahgunakan dan malah menyesatkan (misleading) serta mencelakakan orang lain. Parahnya, hal ini seolah telah membudaya, utamanya dalam kehidupan umat beragama. Dalam komunitas muslim, misalnya, umat memang dianjurkan untuk menyandarkan tuntunan perilaku dan sikapnya pada ulama atau imam. Dan umat cenderung taat pada tuntunan tersebut, berdasarkan asas sami’na wa athona (kami dengar dan kami taati)

Persoalannya, dewasa ini banyak ulama yang sesungguhnya tidak berhak menyandang predikat itu. KH Mustofa Bisri pernah mengungkapkan kepada Jawa Pos, bahwa ada beberapa jenis ulama, antara lain ‘ulama bikinan’, di mana yang bersangkutan cukup mengenakan sorban dan jubah dan hafal beberapa ayat dari Al Qur’an serta beberapa hadis untuk melengkapi aksi berkoar-koarnya di tengah umat yang kebanyakan kepalang melihat siapa yang mengatakannya ketimbang apa yang dikatakannya. Apalagi yang mereka lihat yang mengatakannya adalah seseorang yang bersorban, berjubah dan bergelar haji, yang konon dianggap aksesori yang Islami. (Jadi, Anda tidak akan dianggap muslim, meski hati dan pikiran Anda selalu tertuju pada Allah, sedangkan aksesori yang Anda kenakan tidak menegaskan hal itu.)

Suatu saat, si ulama bikinan berulah dengan mengatakan hal-hal fitnah atau menuding pihak lain sebagai sesat, saya yakin umat akan percaya seratus persen. Karena hal itu sudah seringkali terjadi di negeri ini. Lantaran kelewat percaya pada siapa yang mengatakan, tanpa mau menimbang-nimbang apa yang dikatakannya, korban jiwa mesti berjatuhan sebagai akibatnya.

Baru-baru ini, salah seorang saudara Subud saya mempermasalahkan sosok Sai Baba yang pernyataannya saya kutip untuk pembukaan note saya yang bertajuk “Karunia Lupa”. Berdasarkan pemberitaan sebuah media, ia mencap Sai Baba guru spiritual palsu, yang keahliannya hanya sulap biasa, tidak lebih dari trik David Blaine. Ya, saya pernah baca itu, tetapi saya kira kata mutiaranya bukan trik serta sangat menginspirasi saya untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Saya sulit membayangkan bagaimana jadinya bila semua orang bertingkah laku berdasarkan siapa yang mengatakannya dan bukan substansi perkataannya. Bisa-bisa, yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Kebaikan kerap tertangguhkan implementasinya, semata karena orang yang menyuarakan atau mencontohkannya diragukan kredibilitasnya. Kebanyakan kita sepertinya lebih baik mati kelaparan daripada mesti menyantap makanan yang dimasak koki yang tidak terkenal. Orang lebih memilih jadi bodoh daripada menyerap pengetahuan dan kebijaksanaan (wisdom) yang mungkin disalurkan Tuhan lewat orang yang bertampang bodoh serta tidak populer di komunitasnya.

Miliki pertimbangan yang bijaksana; kalau ragu, tenangkan diri dan ikuti kata hati yang menyeruak di tengah keheningan. Dengarkan suara batin Anda. Masak Anda tidak percaya pada diri sendiri, sih?! Tetapi ya, jangan percaya begitu saja pada apa yang barusan saya katakan. Karena saya toh bukan siapa-siapa.©

Karunia Lupa

“Ada dua hal yang harus kita lupakan dalam hidup ini,
yaitu melupakan kebaikan kita pada orang lain dan
melupakan kesalahan orang lain pada diri kita.”
—Sai Baba



Seorang kawan tiba-tiba mengingatkan saya, “Seingat gue, si Polan yang lu kasih X yang lu titip lewat si Fulan, belum bilang terima kasih ke lu ya?”

“Wah, gue nggak inget tuh. Yang mana ya?” kata saya. Saya benar-benar lupa, mungkin dikarenakan saya terlalu sibuk dengan berbagai hal belakangan ini.

“Si Polan nggak telepon, SMS, kirim pesan di Facebook atau mungkin pesan lewat si Fulan?”

Saya menggeleng. Saya tidak merasa memberi apa pun pada si Polan, sehingga saya tidak pula merasa perlu diterimakasihi. Tetapi tiba-tiba saya teringat, karena kawan tadi terus mendesak saya agar mengingat-ingatnya. Mungkin bagi dia, ucapan terima kasih bagi kebaikan yang kita sampaikan kepada orang lain adalah hak kita. Tiba-tiba saya teringat, bahwa baru-baru ini saya memang menitipkan X lewat si Fulan untuk disampaikan kepada si Polan. Tetapi ingatan itu malah membuat saya tersiksa.

Kenyataan bahwa kita tidak dihargai atas perbuatan baik kita sungguh menyakitkan. Karena itu, segera saja saya pejamkan mata dan menenangkan pikiran, dengan harapan ingatan itu segera pergi. Saya hardik kawan saya itu, agar tidak berusaha terus mengingatkan saya. Adalah jauh lebih baik jika saya lupa. Sebaliknya, saya berdoa agar saya senantiasa ingat akan kebaikan orang pada saya.

Adalah ego kita yang selalu menuntut penghargaan atau apresiasi orang lain atas diri kita apabila kita telah berbuat baik padanya. Ada berbagai faktor yang menyebabkan banyak orang mengharapkan imbalan atas jasa-jasanya pada orang lain. Tidak dipungkiri, ajaran agama berperan dalam hal ini, antara lain bahwa Tuhan akan mengganjar hambaNya dengan surga jika ia berbuat baik, dan sebaliknya yang berkelakuan buruk akan dibayar dengan tempat di neraka. Pada awal seseorang belajar agama, pendekatan ini memang ampuh, tetapi jika berlarut-larut perbuatan baiknya bakal tidak tulus; ia akan senantiasa mengharapkan imbalan atas perbuatan baiknya.

Sodori dia pertanyaan yang disenandungkan Chrisye, “Apakah kita semua benar-benar tulus menyembah padaNya? Atau mungkin kita hanya takut pada neraka, dan inginkan surga. Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepadaNya?” Dia pasti akan kebingungan menjawabnya. Pantas saja, banyak orang yang mengaku susah menerapkan sikap berserah diri kepada kehendak Tuhan dengan perasaan sabar, ikhlas dan tawakal, dengan pasal banyak orang merasa telah berbuat baik dan sepatutnya bukan hanya sesama manusia tetapi juga Tuhan yang mesti mengingat dan menghargai mereka. Bukan main!

Saya telah melatih diri (yang rasanya kadang, meminjam ekspresi saudara Subud saya, seperti menelan buah kedondong bulat-bulat dan tersangkut di kerongkongan) untuk tidak menuntut penghargaan agar tidak kesakitan ketika saya justru diabaikan. Ketika melupakan perbuatan baik saya terhadap orang lain, saya telah merasakan kesejatian dalam menghargai orang lain maupun hidup saya sendiri. Dilupakan orang hanya menyakitkan ketika kita tidak mau berusaha melupakannya! Tidak memenuhi gagasan tentang penghargaan dan apresiasi seperti yang kita harapkan dari orang lain hanya menyakitkan jika memang itu yang kita kejar.

Ingatan akan kebaikan yang kita berikan pada orang lain jika terus dipompa akan mendorong ego kita untuk menuntut penghargaan atau apresiasi, yang bila tidak terpenuhi akan terasa menyakitkan hati. Karena itu, sungguh lupa itu merupakan karunia.©

Manut pada Mood

Baru-baru ini, ketika sudah berada di Surabaya dalam rangka mudik Lebaran (13 September-2 Oktober 2009), saya dibebani pekerjaan menulis naskah buat muatan kalender sebuah perusahaan energi berbasis batubara. Sifatnya masih pitching; ditenderkan perusahaan tersebut kepada tujuh belas biro iklan, butik kreatif dan firma desain. Saya kira, jumlah peserta tender kelewat banyak, apalagi masing-masing diwajibkan mengajukan dua desain kalender 12-bulanan yang lengkap, bukan sekadar beberapa halaman sebagai sampel.

Kenyataan itu melorotkan mood (suasana hati) saya, karena menurut pikiran saya perusahaan komunikasi kreatif yang saya representasi tidak bakal memenangi tender, atau tak satu pun peserta dimenangkan, lantaran tujuan tender tersebut mungkin saja hanya akal bulus perusahaan itu untuk mencuri ide-ide para peserta tender. Pemikiran itu berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah lewat.

Namun, dalam prosesnya (saya sempat berdebat dengan istri saya yang juga bertindak sebagai mitra saya), saya memperoleh ‘pemberitahuan dari dalam’, suatu bimbingan kepahaman, bahwa apabila mood jelek saya dipicu oleh pikiran negatif akibat pengalaman saya di masa lalu, maka sama saja saya tidak sabar serta tidak ikhlas dalam berikhtiar – yang menandakan bahwa saya berseberangan dengan inti ajaran agama saya, yang memberi tekanan pada kesabaran. Sama saja saya takut pada hasilnya kelak, sedangkan esensi dari berserah diri adalah berusaha semaksimal mungkin, dengan menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Juga sama saja sayamanut (Jw. ‘patuh’, ‘cenderung mengikuti’) pada mood, bukannya pada bimbingan dan tuntunan Tuhan atas diri saya.

Mesti saya akui, belakangan ini saya kerap dihadapkan pada kenyataan bahwa tak ada satu pun yang bisa diprakirakan dalam hidup ini; tak ada aturan yang bersifat baku. Semua bisa berubah, menjadi anomalistik (bersifat aneh, tidak biasa, atau unik) jika Tuhan menghendaki. Tanding pitching yang dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, bisa saja berakhir tragis. Sebaliknya, yang dipersiapkan dengan setengah hati malah sukses. Situasi ini kadang menimbulkan kekecewaan dan keputusasaan pada diri saya. Obatnya hanya keyakinan bahwa Tuhan tahu yang apa yang terbaik untuk saya. Dan dihidangkanNyalah ke hadapan saya, bukti-bukti bahwa jika saya manut pada tuntunannya dengan perasaan menyerah yang sabar, ikhlas dan tawakal, saya pun takkan merasa berusaha keras – semua seakan berjalan lancar tanpa ada upaya sama sekali dari pihak saya. Jelas tidak ada gunanya manut pada mood

Rezeki Nonjok

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, dia akan diberi
jalan keluar dan dibukakan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka."
--QS at-Thalaq: 2-3


"Untuk dapetin rezeki nggak perlu jatuh-bangun. Cukup mendatar-menurun," tulis saya atas nama headline dari naskah iklan kolom untuk mengajak para pembaca sebuah suratkabar memenangkan hadiah dengan mengisi teka-teki silang dalam suratkabar tersebut, beberapa tahun silam. Agaknya, sudah dianggap lazim jika rezeki mesti diraih melalui usaha yang keras. Dan rezeki selalu saja dimaknai sebagai hadiah istimewa dalam ujud materi yang menyenangkan hati serta menjadi kabar gembira bagi siapa pun. Rezeki nomplok mengisi asa setiap kita, tetapi rasanya amat jarang yang merindukan rezeki nonjok, yang bikin hati sesak, kepala pusing tidak karuan, dan ujung-ujungnya menuduh Tuhan tidak adil.

Amat susah -- kalau tidak bisa dikatakan tidak bisa -- kita menerima musibah, seberapa pun ukurannya, sebagai rezeki. Bahkan kebuntungan dalam kamus hidup kita tidak disinonimkan dengan rezeki. Dalam hal kegagalan, adalah lumrah bila dikatakan, "Yah, belum rezeki aja. Rezeki takkan ke mana kok!"

Perhatikan ekspresi terakhir: Rezeki takkan ke mana. Kok berseberangan dengan pernyataan sebelumnya, yang hanya dipisahkan oleh titik: Belum rezekinya saja. Uniknya, kontradiksi ini telah memasyarakat! Sejatinya, rezeki tak pernah ke mana-mana. Ia terus berada di tempatnya, melekat pada kehidupan kita, ke mana pun kita melangkah, dalam apa pun yang sedang kita kerjakan, apakah kita sedang beruntung atau lagi buntung. Baik nomplok atau nonjok, hakikatnya adalah rezeki juga. Yang menghapus garis pemisahnya adalah hikmah. Selama kita mau berpikir dan merenungkan segala hal, selama itu pula hikmah bertebaran di mana-mana. Beragam peristiwa kehidupan yang kita lewati boleh jadi dianggap remeh oleh sebagian orang, tetapi bagi mereka yang menjalani hidup secara sadar, kehidupan yang terhidangkan ke hadapan mereka merupakan samudra hikmah yang terlalu berharga untuk diabaikan. Bagi mereka, hikmah-hikmah itulah yang lebih tepat didaulat sebagai rezeki.

Tuhan telah menabur hikmah di mana-mana, dalam setiap kejadian yang menimpa kita, kemarin, sekarang dan nanti. Tinggal kita mencari dan menemukannya. Upaya mencarinya memang laksana merogoh-rogoh kotak undian apabila dikerjakan dengan hati dan pikiran yang terfokus pada keberuntungan atau rezeki nomplok semata. Lain halnya, bila dilakukan dengan hati yang senantiasa ikhlas dan takwa dalam menerima kenyataan, yang dimurahiNya kepahaman bahwa nikmat rezeki selalu tersaji, baik nomplok maupun nonjok.©