Sunday, December 31, 2023

Arifin Dwi Slamet’s Quotes 2023

Catatan: Sepanjang 2023, saya telah menghimpun banyak kutipan sejak awal tahun hingga November 2023, baik yang merupakan inspirasi saya sendiri (pemahaman pribadi dari hasil bimbingan Latihan Kejiwaan) maupun segelintir dari penulis-penulis lainnya. Kutipan-kutipan itu saya catat di ponsel cerdas saya, Samsung Galaxy Grand Prime A11.

Nahasnya, pada 29 November 2023, ponsel tersebut rusak layar LCD-nya karena terkena air hujan ketika saya kehujanan dalam perjalanan pulang dari Wisma Barata Pamulang. Akibatnya, saya tidak dapat retrieve (mendapatkan kembali) semua data yang tersimpan di dalamnya, termasuk himpunan kutipan-kutipan sepanjang tahun 2023. Saya harus mengikhlaskannya, karena mungkin kutipan-kutipan itu tidak berguna bagi saya maupun orang lain.

Yang saya tampilkan di sini adalah kutipan-kutipan yang saya dapatkan dari inspirasi sendiri setelah saya menggunakan ponsel cerdas cadangan.


“Ketika kamu sudah tidak ada kepentingan diri, maka tidak akan ada sanjungan atau sandungan yang dapat mempengaruhimu.” (Arifin Dwi Slamet, 3 Desember 2023)

“You won’t hate somebody that much unless you love him/her that much.” (Arifin Dwi Slamet, 15 Desember 2023)

“Orang yang tidak bisa menjadi dirinya sendiri cenderung lebih mudah menyukai orang yang penuh kepalsuan dan mudah membenci orang yang berani tampil tanpa topeng.” (Arifin Dwi Slamet, 15 Desember 2023)

Dari Tuhan Serba Gratis

KEJADIANNYA tadi malam (Waktu Indonesia Barat) di Wisma Barata Pamulang. Sebelum penenangan diri, di dalam Pendopo yang diperuntukkan Latihan pria tiap hari Sabtu malam, saya berbincang dengan diri sendiri. Saya berkata bahwa saya meminta uang yang sangat banyak kepada Tuhan. Saya pun ditanya oleh diri saya, "Untuk apa uang yang banyak?"

Saya menjawab, "Supaya saya bisa membayar apa pun yang saya inginkan dan butuhkan."

Saya lalu melakukan Latihan bersama para anggota pria lainnya. Dalam Latihan, saya berkata "Allah Maha Kaya... Maha Kaya... Maha Kaya...", berulang kali. Saya kemudian mendengar suara diri, "Lha kan Tuhan memberi segala sesuatu gratis. Apakah kamu akan tetap memaksa untuk membayar?"

Sepanjang perjalanan pulang dengan bermotor, saya tidak bisa berhenti tertawa, mengingat pengalaman itu. Saya menertawakan diri sendiri.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 31 Desember 2023

Friday, December 29, 2023

2024

Duaribu duapuluh empat

adalah tahun yang nikmat

Bagi mereka yang mengikuti bimbinganNya tidaklah akan sesat

BimbinganNya jangan dibiarkan lewat

karena kuasa Tuhan selalu tepat

menjangkau orang-orang yang kehilangan semangat

 

Bangkitlah jiwa-jiwa yang merana

menyambut tahun baru dengan ceria

Rendahkan hati, diri dan jiwa di hadapanNya

Untuk mencapai hidup yang mulia... ©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 30 Desember 2023

Thursday, December 28, 2023

2023

Duaribu duapuluh tiga,

tahun ragam warna

Kadang terang, kadang gelap, tapi tak pernah tanpa cinta

Setahun kulalui dengan mengikuti

bimbinganNya yang maha abadi

Kadang terlupa, namun segera kumenyadari

 

Tahun 2023 akan mengekor pada masa yang berlalu

Tapi aku tetap bersamaMu

yang tidak dibatasi ruang dan waktu... ©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 29 Desember 2023

Thursday, December 21, 2023

Sensasi Panorama Pertempuran Waterloo

MENONTON film “Napoleon” di Metropole XXI, Jl. Pegangsaan Barat No. 21, Jakarta Pusat, bersama satu rekan alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI), Pandji Kiansantang (Kenny), Selasa, 19 Desember 2023, lalu membangkitkan kenangan saya ketika masih kecil (duduk di bangku sekolah dasar) diajak orang tua saya mengunjungi lokasi asli Pertempuran Waterloo di Brussel, Belgia. Saat itu, saya dan saudara-saudara kandung saya serta kedua orang tua saya tinggal di Belanda.

Lokasi Pertempuran Waterloo telah berubah menjadi museum udara terbuka, dengan beberapa bangunan memberi akses kepada publik untuk melihat displai artefak-artefak dari pertempuran bersejarah itu. Salah satu bangunan yang saya kunjungi adalah “Panorama de la Bataille de Waterloo”, sebuah rotunda—bangunan dengan bentuk melingkar yang beratapkan kubah. Bangunan neoklasik ini terletak tepat di sebelah utara Busut Singa (Lion’s Mound) di medan tempur Pertempuran Waterloo yang kini berada di wilayah kotamadya Braine-l’Alleud di provinsi Walloon Brabant, Belgia.



Busut Singa itu merupakan sebuah bukit kecil berbentuk kerucut yang berpucuk sebuah patung singa. Kabarnya, busut itu dibuat dari tanah yang diambil dari medan tempur Pertempuran Waterloo, sedangkan topografi asli dari medan tempur itu sendiri sekarang sudah tidak seasli yang dapat dilihat pada masa itu dan beberapa tahun sesudahnya. Adalah Raja William I dari Belanda yang memerintahkan pembangunannya pada tahun 1820, dan selesai pada tahun 1826. Busut Singa menandai titik di medan tempur Waterloo di mana putra sulung raja, Pangeran Oranye, diperkirakan terluka pada tanggal 18 Juni 1815, serta merupakan medan Pertempuran Quatre Bras yang terjadi dua hari sebelumnya.

Berada di dalam Panorama membuat bulu kuduk saya berdiri. Bangunan itu menyimpan lukisan panorama monumental yang menggambarkan Pertempuran Waterloo. Saya merasa diri saya berada di tengah pertempuran dahsyat yang melibatkan sekitar 193.000 tentara (73.000 di pihak Napoleon dan 120.000 di pihak Duke of Wellington) itu.

Betapa tidak, peragaan tiga dimensi itu menampilkan lukisan cat minyak sejumlah 14 panel kanvas yang menggambarkan beberapa episode berbeda dari Pertempuran Waterloo pada tahun 1815, yang berkonsentrasi pada serangan kavaleri Prancis. Elemen fisik di depan lukisan, termasuk potongan sosok, pagar, dan mayat para prajurit yang gugur yang terbuat dari plester dan papier mache, menyamarkan tepi bawah lukisan dan meningkatkan kualitas keterlibatan audiens di dalam pameran itu—sebagaimana yang saya alami.


Peragaan tiga dimensi itu diterangi dari atas oleh cincin lampu kaca di sekeliling tepi atap berbentuk kerucut dan pengunjung dapat melihat peragaan dari platform setinggi 5 meter di tengah rotunda. Hal itu menambah sensasi kepada setiap pengunjung Panorama. Tidak mengherankan jika saya masih mengingat detailnya hingga kini.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 22 Desember 2023

Miles Away

Inspired on the East Terrace of the Cilandak Latihan Hall, South Jakarta, after group Latihan—21 December 2023

 


We cannot be together, I know

But I can hear you breathing slow

I capture the look on your face

– when you are so amazed

by the love you dare not to say –

from miles away

 

Love does not require proximity,

yet it offers me serenity

Just by thinking of you

I let our souls connect through

I can feel you – your mind, your desire

In the calm of self, I admire

I keep this feeling at bay

in a place miles away...

 


Pondok Cabe, South Tangerang, 22 December 2023

Friday, December 15, 2023

Bercinta Tanpa Kata

Terinspirasi di Teras Timur Hall Subud Cilandak, Jakarta Selatan, pasca Latihan bersama—14 Desember 2023

 

Aku mencintaimu tanpa rindu

Tapi aku tak berhenti memikirkanmu

Rindu hanya membebaniku,

tetapi jiwamu dan aku telah berpadu –

meski mungkin kamu tak tahu

Satu napas, satu detak, dalam satu waktu

Sehingga aku tak cemas kamu berjarak dariku

Kuserahkan pada Tuhan pengaturannya

karena Ia adalah cinta

dan cinta tak perlu berkata-kata...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 15 Desember 2023

Wednesday, December 13, 2023

Panggilan

PERTANYAAN yang paling sering diajukan ke saya terkait dengan keaktifan saya di Subud, baik oleh saudara Subud maupun orang-orang non Subud, adalah: “Apa yang membuatmu masuk Subud?”

Selalu saya bingung menjawabnya. Saya tidak pernah punya keinginan atau niat sebelumnya untuk masuk Subud. Bahkan saya tidak tahu Subud sebelum satu mitra kerja saya di Surabaya dahulu memperkenalkan saya ke Subud. Saya tidak pernah tertarik pada spiritualitas—walaupun pengalaman-pengalaman saya dengan religiusitas atau praktik agama saya mengarah pada fenomena-fenomena yang kerap didapuk sebagai “spiritual”.

Mitra kerja yang saya ceritakan di atas pernah bertanya ke sahabat saya yang juga rekan saya di biro iklan Surabaya dimana kami bekerja, mengapa sahabat saya itu tidak pernah mengajak saya berdiskusi perihal spiritualitas, yang sebaliknya ia bagi ke mitra kerja saya. “Ah, Anto nggak tertarik spiritual, Mas,” jawab sahabat saya. Mitra kerja saya itu kelak, setelah saya menjalani masa kandidat tiga bulan di Subud Cabang Surabaya, saya ketahui merupakan seorang pembantu pelatih (helper) di cabang tersebut.

Selama saya ngandidat, hampir tiap hari pula saya bertemu si mitra kerja cum pembantu pelatih itu, karena saya bekerja sebaga freelance copywriter di biro iklan miliknya. Jadi, bisa dibilang saya ngandidat setiap hari selama tiga bulan. Mitra kerja saya ini menerangkan berbagai aspek dari Latihan Kejiwaan Subud melalui pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan, tantangan-tantangan yang saya hadapi dalam melakukan suatu pekerjaan. Isinya hanya praktik langsung, tidak ada teori tentang “bagaimana”-nya. Dia tidak secara spesifik menyebut “Latihan Kejiwaan” atau “Subud”, melainkan menyelipkan pesan agar saya dalam keadaan apa pun senantiasa sabar, tawakal dan ikhlas.

Masa tiga bulan saya sebagai kandidat anggota Subud diwarnai oleh kesaksian saya pada kehidupan mitra kerja saya yang jungkir-balik oleh kenyataan-kenyataan pedih dicerai istri, kehilangan hak asuh atas putri tunggalnya, perusahaannya di ambang kebangkrutan, ditekan dan diancam oleh debt collector karena dia tidak lagi punya uang untuk membayar hutang-hutangnya, ditendang keluar dari rumah kontrakan yang sudah ia tempati selama 12 tahun, kehilangan klien-kliennya sehingga dengan sendirinya juga kehilangan sumber nafkahnya.

Dipaksa oleh keadaan untuk menyaksikan itu semua, kesungguhan saya untuk masuk Subud tak jarang dipertanyakan oleh mitra kerja cum pembantu pelatih saya itu. Dan saya tidak tahu mengapa saya tetap teguh untuk meneruskan masa kandidat tiga bulan itu. Mungkin ini yang disebut “panggilan”. Seperti halnya kita jatuh cinta pada seseorang yang kita tidak pernah tahu alasannya. (Kalau kita tahu alasannya, maka itu bukan jatuh cinta namanya, melainkan infatuasi/jatuh hati atau sekadar mengagumi.) Saya bergeming pada setiap apa yang saya saksikan pada kehidupan mitra kerja saya pada saat itu. Kalau bukan panggilan, pastinya saya sudah membatalkan niat saya untuk masuk Subud.

Dengan semua kepedihan hidup yang dilalui mitra kerja saya, yang juga saya alami dalam rasa dan raga saya, saya tak mundur satu langkah pun dari Subud. Saya meneruskan masa ngandidat hingga dibuka, dan hingga kini masih terus rajin dan tekun berlatih kejiwaan. Itulah kalau sudah menjadi panggilan!©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 14 Desember 2023

Latihan Bertegangan Tinggi

(Aslinya ditulis dalam bahasa Inggris untuk saya posting di grup Facebook “For Subud Members Only” dan “Subud Around the World” pada dini hari 14 Desember 2023.)


SATU saudara Subud di Jakarta suatu ketika menceritakan ke saya pengalamannya melakukan Latihan di rumah Bapak di Pamulang, di bawah kamar Bapak. “Rasanya seperti saya sedang berdiri di bawah SUTET (Saluran Udara Bertegangan Ekstra Tinggi),” katanya.

Persis seperti itulah yang saya rasakan tadi malam—saya merasakan tubuh saya diselimuti tegangan tinggi. Begitu tingginya hingga bahkan satu saudari Subud di Semarang, Jawa Tengah, yang saya kontak melalui WhatsApp ketika saya tiba di rumah sejam kemudian, membalas, “Mas Arifin dari mana? Aku kok merasakan gempa bumi ketika pesan Mas masuk.”

Setelah saya jelaskan bahwa saya baru pulang dari Latihan di Pamulang, dia menjawab, “Panteess! Getarannya kuat sekali.”

Getarannya terasa begitu kuat sampai saya tidak merasa mengantuk meskipun sudah larut malam, malah semangat kerja saya bertambah. Saya membutuhkannya karena saya harus bekerja lembur untuk memeriksa Edisi 2 majalah Subud Connect setebal 51 halaman, yang sebelumnya saya kerjakan penerjemahan Bahasa Indonesianya.

Setelah saya emailkan PDF-nya (ke Ruth Taylor, Subud Inggris), yang sudah saya periksa dan komentari, pada pukul 00.10 waktu Jakarta, getaran itu masih hadir. Untuk melanggengkannya, saya berniat berpuasa pada hari Kamis, 14 Desember, ini. Tanggalnya tiba-tiba menyadarkan saya bahwa pada tanggal yang sama, setahun yang lalu, saya mulai rutin Latihan di Pamulang, jarang sekali di Cilandak.©2023

                                           

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 14 Desember 2023

Tuesday, December 12, 2023

Bahaya Kecintaan

HINGGA tahun 2020 saya memiliki kecintaan yang sangat besar terhadap kereta api. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kereta api, saya menyukainya hingga titik yang bahkan mencemaskan saya sendiri. Tingkah saya seperti pecandu narkoba setiap kali melihat lokomotif, rel, bangunan stasiun, jalur kereta api mati, bangunan bekas stasiun, mendengar bunyi klakson Semboyan 35 dan peluit Semboyan 40 (oleh Pengatur Perjalanan Kereta Api) dan 41 (oleh kondektur kereta api).

Saya menyadari bahwa kecintaan saya ini kian lama kian menyiksa diri saya, tapi saya sepertinya sulit menghentikannya. Yang menyebabkan saya akhirnya berhenti—tapi tidak total—adalah keadaan yang mendesak saya untuk mengambil keputusan itu. Postingan-postingan saya di akun Twitter saya tiba-tiba diserang oleh sejumlah railfans (pecinta kereta api) Indonesia yang merasa saya telah melakukan plagiasi, mencuri hak cipta atas beberapa foto kereta api yang kemudian saya posting ulang atas nama saya.

Tentu saja tuduhan itu tidak benar; tulisan-tulisan mengenai sejarah perkeretaapian yang saya posting itu benar-benar merupakan olahan saya pribadi atas data-data yang tersedia di internet dan literatur cetak yang saya miliki. Dan foto-foto kesejarahan yang menampilkan keadaan perkeretaapian Indonesia di masa lampau saya dapat dari koleksi Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV) di Leiden, Belanda. Bagaimanapun, saya merasa tidak ada gunanya membela diri. Saya merasa kejadian itu justru cara Tuhan menunjukkan bahwa saya harus menyudahi kecintaan yang mengarah nyandu itu. Kata Bapak Subuh, ketika kita sudah merasa tertekan, itulah saatnya kita berhenti.

Latihan Kejiwaan “menawarkan” kepada kita kebisaan-kebisaan baru, atau meningkatkan kualitas dari kebisaan-kebisaan kita yang lama. Nah, bimbingan Latihan terhambat apabila kita sudah menghijabi diri dengan kecintaan yang demikian kuat pada kebisaan-kebisaan tertentu. Ini seperti kita menolak rezeki karena kadung cinta pada apa yang sudah kita punya, walaupun kepunyaan kita itu tidak lagi menguntungkan kita atau tidak lagi berguna untuk kita di saat kehidupan kita telah berubah.

Seringkali kita tidak mau bersusah-payah melakukan sedikit upaya ekstra ketika mendapatkan sesuatu yang baru, dan sekarang saya tahu bahwa jika saya melakukannya, biasanya saya akan mendapat imbalan yang berlimpah, berupa pengetahuan baru yang memperkaya khasanah pribadi saya.

Kejadian tahun 2020 itu membuat saya sempat membenci kereta api, tetapi lama kelamaan, melalui proses “pembersihan” diri dari anasir-anasir yang membuat saya tertekan itu, saya akhirnya menjadi pribadi yang tetap menyukai kereta api tetapi dalam kadar yang wajar. Di samping itu, saya diberiNya kesukaan belajar hal-hal lama yang tampil baru, seperti sejarah dan strategi militer yang dahulu sekali pernah menjadi hobi saya.

Belajar dari kecintaan saya pada kereta api, kini saya menyikapi sesuatu secara biasa saja. Saya mempelajarinya, tetapi tidak dikekep terus-terusan di kepala saya, melainkan membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan baru. Cangkir ilmu kita tidak akan diisi pengetahuan baru bila kita tidak mengosongkannya dari pengetahuan yang sudah usang. Itulah yang namanya pembelajaran berkelanjutan, salah satu sifat hakiki dari Latihan Kejiwaan Subud.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 13 Desember 2023

Sunday, December 10, 2023

Perjalanan Kejiwaan

SAYA ingat beberapa anggota Subud di Barat yang suka merokok merek rokok kretek Indonesia Djarum Super (atau Jarum menurut Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan). Nama merek ini mengundang keisengan untuk menjadikannya singkatan dari “JArang di RUMah, SUka PERgi”.

Kepanjangan dari Djarum Super ini nyatanya mewakili semangat sejumlah anggota di Indonesia, termasuk saya yang gemar jalan-jalan ke cabang-cabang di seluruh negeri selama beberapa hari, bahkan beberapa minggu atau bulan.

Apa yang terjadi selama perjalanan-perjalanan ini?

Seperti yang sering saya alami, kami menginap di wisma-wisma Subud, mengadakan gathering nonformal selama berjam-jam (terkadang begadang semalaman), berbagi pengalaman saat Latihan, menyantap makanan yang terus-menerus disajikan oleh anggota setempat, yang ternyata sangat bersyukur dengan kunjungan saudara-saudaranya dari daerah lain.

Momen-momen seperti ini menghidupkan dan menggelorakan rasa perasaan kita, memperkuat hubungan jiwa-ke-jiwa kita, yang tentu saja memperkuat kerukunan.

Tak jarang peserta perjalanan kejiwaan ini awalnya merasa ragu saat diajak pergi jauh. Keraguan tersebut biasanya didasari oleh pemikiran bahwa mereka harus bekerja, tidak dapat mengambil cuti dari kantor, atau tidak akan diperbolehkan oleh keluarganya. Ada seorang pembantu pelatih pria di Cabang Jakarta Selatan yang selalu berseru dengan nada percaya diri “Berangkat!” setiap kali saya mengusulkan untuk mengunjungi cabang-cabang yang jauh di luar kota Jakarta. Dan jika dialah yang bertanya, dan saya perlu waktu untuk berpikir, dia akan berkata, “Jangan dipikirkan! Lakukan saja!”

Dan jika saya menuruti ajakannya, pada akhirnya saya akan menyaksikan bagaimana Yang Maha Kuasa mengatur agar segala sesuatunya berjalan lancar dan mudah!

Salah satu undangan dari pembantu pelatih tersebut, pada bulan September 2017, membuat istri saya sangat marah sehingga dia menolak memberi saya uang untuk membiayai perjalanan enam hari saya ke dua cabang di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Uang yang ada di dompet saya saat itu hanya Rp100.000. Namun saya pasrah saja pada kehendakNya dan tetap melakukan perjalanan itu.

Kemarahan istri saya disebabkan oleh kenyataan bahwa saya mempunyai tenggat waktu pekerjaan yang ketat. Karena istri saya juga anggota Subud, sebagai alasan saya hanya berkata, “Saya merasa ini adalah penerimaan yang harus saya jalani. Untuk sampai pada kebenaran, bukankah kita harus membuktikannya dengan melakukannya?” Istri saya tidak berkata apa-apa dan membiarkan saya pergi.

Keajaiban mulai terjadi ketika mobil yang kami tumpangi memasuki Purwokerto, sebuah kota kecil di kaki Gunung Slamet, gunung tertinggi di provinsi Jawa Tengah. Seorang pembantu pelatih dari Cabang Bogor mengirimi saya pesan WhatsApp menanyakan apakah ongkos saya cukup. Dia kemudian mentransfer Rp2.000.000 ke rekening bank saya. Saya berencana menggunakan uang itu untuk membayar penginapan di Yogyakarta keesokan harinya.

Namun ketika saya menelepon seorang pembantu pelatih dari Cabang Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk menanyakan alamat penginapan murah, dia justru menegur saya dengan keras, “Sampeyan bukan saudaraku jika sampeyan menolak permintaanku untuk sampeyan menginap di tempatku! Tidak perlu membayar!”

Selama tiga hari di Yogyakarta saya benar-benar terhibur. Makanan tidak pernah berhenti disajikan. Saya juga diajak oleh para pembantu pelatih dan anggota setempat untuk mengunjungi cabang-cabang di Temanggung (Jawa Tengah) dan di Kota Yogya, sambil menikmati indahnya pemandangan sepanjang perjalanan, dan selama di dalam mobil kami berbagi berbagai cerita tentang kehidupan kami dengan bimbingan dari Latihan.

Yang membuat saya terheran-heran, entah bagaimana, selama perjalanan saya bisa menyelesaikan pekerjaan saya (hanya dengan memanfaatkan smartphone saya) yang tenggat waktunya adalah sehari setelah saya pulang ke rumah, dan klien saya merasa puas dengan hasilnya.

Saya sulit percaya bahwa kehidupan Subud saya begitu menyenangkan, meskipun saya menghadapi berbagai masalah dan tantangan setiap hari. Fakta ini justru memperkuat daya tahan saya. Hal itulah yang membuat saya makin mencintai Subud dan tak henti-hentinya berterima kasih kepada Bapak yang telah mewariskan Latihan Kejiwaan kepada umat manusia.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 11 Desember 2023 









Friday, December 8, 2023

Depending on God’s Will

THIS morning, I commented on a post by a member of Subud India in the Facebook Group “Subud Around the World” with a story about my experience of finding Subud, starting with my meeting with Mas Adji (Istiadji Wirjohudojo), the step-grandson of Subud’s founder, Muhammad Subuh, as follows:

“I ended up in Subud without ever looking for it, let alone wanting to know and want to receive the Latihan. The owner of the advertising agency where I worked as a freelance copywriter one day took me to the Surabaya, East Java, Subud house, where I was introduced to Mas Adji who was coming to visit. I later found out that the owner of the advertising agency was a helper. He told Mas Adji that I wanted to know about Subud, but I thought to myself, ‘I don’t want to know. I’m not interested in spirituality.’

Anyway, I just listened to Mas Adji’s explanation (he even invited me to enter the Latihan hall and listen to him recite some verses of Susila Budhi Dharma). Three days later, I underwent the three-month waiting period, which I took eagerly because I felt this was what I needed, even though I had no idea what the Latihan was and how my life would be like once I was opened.

Talking about doing the Latihan in a place that could potentially be attended by non-Subud people, it is God’s will whether they will be opened or not. My wife and I often do Latihan in the living room of our house, where there are also relatives who are not in Subud. After all, they are not (yet) interested in Subud.

My point is people come to or not come to Subud not because of the efforts or influence of other people, although it can be through other people—depending on God’s will.”

This afternoon, I found a link to two photos of Mas Adji, also in the same Facebook Group.©2023

 

Pondok Cabe, South Tangerang, December 8, 2023

Wednesday, December 6, 2023

Latihan, the Teacher of Life

THE title above is my pun on the meaning of “historia vitae magistra” (history, the teacher of life).

I remember a helper in Central Java told me many years ago that he remembered in detail everything he had been through when he was eight months old! He never tries to remember, but rather memories of past situations and events will come to his mind spontaneously if present circumstances require it.

I have often experienced this kind of phenomenon since I was opened.

Last November, I posted a story in my grandfather’s extended family WhatsApp group about the time when my grandfather took me, who was six years old, to the rice fields where my grandfather worked every day. One of my cousins ​​said that I was hallucinating, because she thought it was impossible for me at my current age to remember what happened decades ago. She tested me by asking where the rice fields were. I explained the location and the roads to get there, and what we could see along the way to the rice fields. My cousin was shocked, because everything I told her was true!

I saw a series of images in my mind, a series of imaginations, that I had not thought about.

On December 2, 2023, in the WhatsApp group for alumni of the Department of History, Faculty of Humanities, University of Indonesia, to one of my fellow alumni who wished me a happy birthday, I told about our chat more than 35 years ago, complete with details about what we talked about, the path we had taken on the way from campus to the bus stop and who was walking in front of us.

Simultaneously, the entire WhatsApp group, all of whose members had studied history, reacted: “Arifin, your memory of the past is very sharp!”

I responded jokingly—because it would be difficult for me to tell them that the Latihan was the cause of my sharp memory, “Aren’t we as historians supposed to always remember the past?”©2023

 

Pondok Cabe, South Tangerang, December 7, 2023

Tuesday, December 5, 2023

Menapaktilasi Diri

BELAKANGAN sedang giat-giatnya Pemuda Subud Indonesia menyiapkan sebuah kegiatan dalam rangka menyambut atau bersamaan dengan Kongres Subud Dunia pada bulan Juli 2024, yang akan digelar di Kalimantan Tengah, tetapi kegiatan-kegiatan sampingannya juga mencakup beberapa tempat di Jawa.

Kegiatan yang tengah dipersiapkan oleh Pemuda Subud Indonesia itu adalah kegiatan yang, sebelum pandemi COVID-19, tergolong rutin digelar untuk merasakan perjalanan Bapak sejak lahir pada 22 Juni 1901 di Kedungjati, Kabupaten Grobogan (kala itu menjadi bagian dari Karesidenan Semarang), Jawa Tengah, kemudian menerima Latihan Kejiwaan pada tahun 1925 di areal yang kini menjadi lahan parkir RSUD Kariadi, Semarang, kemudian membawa keluarga beliau pindah ke Yogyakarta semasa zaman pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) hingga berdirinya organisasi Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (PPK Subud) pada 1 Februari 1947 di Yogyakarta. Kegiatan itu dikenal sebagai “Napak Tilas Bapak”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa napak tilas berarti “bekas jejak” atau “bekas jalan yang pernah dilalui”. Kegiatan napak tilas ini merupakan kegiatan berjalan kaki dengan menelusuri jalan yang pernah dilalui oleh seseorang, pasukan, dan sebagainya untuk mengenang perjalanan pada masa perang dan/atau sejarah masa lalu. Jadi, Napak Tilas Bapak adalah penelusuran jejak-jejak perjalanan (secara fisik maupun spiritual) yang pernah dilakukan Bapak, yang warisannya dapat dinikmati oleh generasi berikutnya.

Tujuan dari Napak Tilas Bapak adalah agar peserta menjiwai, walaupun mungkin tidak sempurna, proses yang telah dilalui Bapak. Tidak hanya itu, napak tilas juga dilakukan untuk mengingatkan generasi anggota Subud selanjutnya tentang sejarah Subud.

Meskipun saya dahulu mendapatkan gelar akademik saya dari Departemen Sejarah Universitas Indonesia, dan menaruh minat yang mendalam terhadap studi sejarah, saya belum pernah mengikuti kegiatan Napak Tilas Bapak. Karena saya mendapatkan pengalaman kejiwaan yang membuat saya dapat menapaktilasi perjalanan Bapak melalui Latihan saya. Bagi saya, Latihan adalah momen menapaktilasi diri, penelusuran “jalan pulang” saya. Bagi saya, yang terpenting adalah napak tilas secara hakikat, meresapi aspek-aspek Latihan sehingga dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai zaman di mana saya hidup.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 Desember 2023