Wednesday, September 19, 2012

Senioritas


“Satu-satunya cara untuk memperlihatkan komitmen pekerjaan Anda adalah melalui jam-jam yang panjang. Kenyataan bahwa senioritas tidak lagi menjamin berarti orang harus tampak memiliki komitmen bahkan jika mereka tidak memilikinya.”
—Phyllis Moen


LEWAT Facebook, saya bersua kembali dengan senior saya ketika saya menjadi trainee writer di sebuah biro iklan multinasional yang berbasis di Jakarta. Saat itu, kenyataan bahwa ia sudah berkarir sebagai copywriter (penulis naskah iklan) selama tujuh tahun ketika saya justru baru merintisnya sempat membuat saya bergidik.

Saya sedang menapaki tahun ketujuh belas karir saya di bidang penulisan naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat ketika saya berjumpa kembali dengan senior saya itu pada 14 September 2011 lalu. Dari obrolan kami, saya beroleh kepahaman bahwa senioritas itu hanyalah sesuatu yang semu serta kabur maknanya.

Menjadi tidak jelas oleh apakah ukuran senioritas itu ditentukan; apakah lamanya seseorang menekuni bidang tertentu atau keluasan keahlian dan kedalaman pengetahuan dari bidang yang ditekuninya? Sebab, ketika saya berbicara dengan senior saya itu terasa benar ia tertinggal jauh dalam hal pengetahuan dari bidang yang sama-sama kami tekuni, mengingat bahwa di dunia komunikasi merek pengetahuan terus mengalami perkembangan-perkembangan baru, yang jika Anda tidak mengikutinya dipastikan Anda bakal tertinggal jauh.

Di kartu namanya, senior saya itu menyandang predikat ‘creative director’ (pengarah kreatif), sama dengan yang tercantum pada kartu nama saya, yang berarti ia (maupun saya) memimpin tim kreatif dari sebuah biro iklan atau perusahaan komunikasi merek. Di tingkat hubungan kerja ini, senioritas menjadi samar; yang semakin dikaburkan oleh kesetaraan dalam pengetahuan kami. Yang membuat saya merasa berada di atas angin adalah pernyataan senior saya: ia sedang belajar travel writing (penulisan wisata), suatu keahlian yang justru telah saya tekuni secara profesional sejak 2008. Satu-satunya respek saya yang tersisa terhadapnya bersih dari pretensi hubungan senior-yunior, yaitu perasaan hormat terhadap sesama manusia!

Bagi kebanyakan orang, senioritas dari relasi-relasi mereka, dalam bidang-bidang keahlian yang mereka tekuni, membuat mereka segan, rendah diri, serta menaruh hormat yang tak semestinya. Pengetahuan dan bagaimana bidang-bidang pekerjaan dilakukan senantiasa mengalami perubahan, sehingga senioritas tidak relevan lagi dalam hubungan kerja.

Jika kita mengharapkan respek dari rekan kerja atau dari lingkungan kita, maka bukan senioritas yang menjadi patokannya, melainkan respek itu sendiri; seberapa respectful kita terhadap diri kita sendiri sehingga kita patut mendapat respek dari orang lain. Jelasnya, Anda tidak akan direspeki dan dicintai orang jika Anda tidak respek dan cinta terhadap diri Anda sendiri.

Senioritas tidak mempunyai dasar yang kuat dalam hubungan apa pun, bahkan cenderung melemahkan hubungan tersebut jika salah satu pihak begitu mempermasalahkannya dengan tekanan-tekanan seputar usia, durasi dan banyaknya pengalaman, luasnya pengetahuan atau ketrampilan. Hubungan antar manusia—yang dilandasi kerja, cinta, persahabatan, atau persaudaraan spiritual—tidak seharusnya diwarnai senioritas. Hubungan yang langgeng berkembang lewat saling memahami, saling menghormati dan saling mencintai, tidak mengindahkan siapa yang lebih berpengalaman—dan karena itu lebih senior—dalam hal-hal tertentu.

Hubungan bersifat alami, yang berkembang atau menjadi kaya lantaran situasi dan kondisi pada saat hubungan itu berlangsung. Hubungan asmara, misalnya—saya tidak yakin bahwa orang-orang yang telah berpengalaman lama dalam menjalin hubungan percintaan atau seksual lebih piawai daripada mereka yang belum pernah melaluinya, karena perkembangan dan pengayaan hubungan itu semata tergantung dari seberapa serius Anda ingin mengembangkannya.

Di jalan spiritual, senioritas sebenarnya tidak berlaku, tetapi menjadi ada lantaran diimbasi pengaruh dari luar pagar spiritualitas, seperti tampak pada sejumlah perkumpulan spiritual. Ini konyol, karena pengalaman yang diterima masing-masing pejalan spiritual berbeda satu sama lain, dan sangat tergantung pada sikap penerimaan pejalan terhadap pengalamannya. Seseorang dinilai kematangan spiritualnya dari stasiun hati (maqam)-nya, yaitu sikap psikologisnya terhadap pengalaman yang dilaluinya—hikmah apa yang ia peroleh darinya, bukan dari jenis atau kehebatan pengalamannya.

Salah seorang saudara SUBUD saya bercerita, dengan nada penekanan seolah ia lebih senior dari saya dalam pengalaman kejiwaannya, bahwa ia bertemu dengan Yesus dalam suatu momen Latihan Kejiwaannya. Dengan enteng saya berkomentar, “Pak, saya pernah bertemu dengan almarhum Bapak Muhammad Subuh dalam Latihan saya. Beliau mengatakan kepada saya, ‘Nak, jangan percaya pengalaman saudara SUBUD-mu sebelum Nak mengalami sendiri’!”

Komentar saya yang spontan itu membuatnya terpana, tidak mampu berkata-kata lagi. Bagaimanapun, saya tetap respek terhadap saudara SUBUD saya ini, karena ia layak mendapatkannya, semata karena ia manusia seperti saya juga.

Jangan biarkan keberadaan senioritas dalam hubungan-hubungan Anda. Bukan saja hal itu menafikan hakikat kemanusiaan kita, tetapi juga menghambat pertumbuhan kreatif dari hubungan-hubungan tersebut. Hormati dan cintai relasi-relasi Anda semata karena ia manusia seperti Anda juga.(AD)



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 18 September 2011

No comments: