Friday, January 19, 2018

Kembali ke Jalan yang Benar

KEMARIN siang, 18 Januari 2018, selesai sesi bedah buku Bakti Bagi Bumi: Kampung-Kampung Pelindung dan Pengelola Lingkungan yang saya tulis, di SMP Bantarjati Yasmen (Sekolah Adiwiyata Nasional) yang terletak di Desa Bantarjati, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, para narasumber mendapat cinderamata stoples kaleng-kaca buatan pengrajin kaleng di Desa Pasirmukti, Kecamatan Citeureup, yang dibina CSR Indocement. Istri saya sudah lama menginginkan stoples berbentuk kaleng krupuk mini tersebut.

Penduduk Desa Pasirmukti sudah turun temurun memproduksi aneka produk dari kaleng, antara lain oven dan cetakan kue yang diperdagangkan di Cawang Kompor (Jl. Dewi Sartika, Jakarta). Kekaryaan penduduk Desa Pasirmukti tersebut membuat desa itu dijuluki "Kampung Kaleng".

Kalau nampan dan sandal kayu Jepang dalam foto ini merupakan hasil daur ulang kayu palet dari pengrajin Desa Bantarjati, dengan memanfaatkan palet bekas yang didapat dari pabrik Indocement Citeureup. Pengrajinnya adalah seorang mantan preman pengangguran yang suka memalak truk-truk semen yang lewat jalan desanya, dan uangnya dia pakai buat membeli minuman keras. Hari-harinya, sebelum bertemu dengan perusahaan yang mau memodali usahanya, dilaluinya dengan mabuk-mabukan kalau malam dan memalak truk-truk semen di saat siang hari.

Setelah dibina CSR Indocement barulah dia insaf, malah mengajak preman-preman lainnya untuk mengikuti jejaknya—berwirausaha. Ini membuktikan, nasihat atau ajaran saja tidak cukup untuk membawa seseorang kembali ke jalan yang benar, tapi berilah ia kegiatan yang produktif, yang mampu menyejahterakannya lewat usahanya sendiri. ©2018



Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 19 Januari 2018

Terus Maju Berkat Ejekan

“OOH, kalau ginian sih sudah ada,” ucap seorang bapak, yang saya ketahui dari panitia Bedah Buku Bakti Bagi Bumi kemarin (18 Januari 2018) di SMP Bantarjati Yasmen, Klapanunggal, Kabupaten Bogor, adalah pejabat dari dinas yang mengurusi UKM dan koperasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mengomentari karya seorang pelaku wirausaha binaan CSRIndocement berupa pompa air bertenaga matahari untuk hidroponik.

Kalau saya tidak dicegah oleh Latihan Kejiwaan yang “menghidupi” saya, sudah saya tonjok tuh orang. Apa pun alasannya, jangan meremehkan karya orang meski hasil meniru. Kalau tidak bisa bicara yang baik, sebaiknya tutup mulut atau doakan semoga si pekarya dapat berkarya lebih baik.

Si pejabat itu terus-terusan berkomentar negatif, sampai seseorang nyeletuk: “Memang bukan inovasi baru, Pak, tapi baru pertama kali digunakan untuk hidroponik.”

Si bapak tadi pun terdiam.

Diejek tetangga, dicemooh keluarga, atau dicurigai aparat desa, sudah menjadi makanan sehari-hari para pejuang lingkungan dan pahlawan lokal pemberdaya masyarakat. Padahal karya cipta mereka ketika berkembang dapat menyejahterakan penduduk desanya. Tapi itulah jalan yang harus mereka lalui. Yang bertahan dan dengan tegar “move on” adalah mereka yang berjiwa wirausaha.

Untuk menulis buku Bakti Bagi Bumi: Kampung-Kampung Pelindung dan Pengelola Lingkungan, saya blusukan ke sembilan kampung di Citeureup—Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kota Cilegon—Provinsi Banten, Cilengkrang—Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dan Kabupaten Cirebon—Jawa Barat. Saya mewawancarai para pahlawan lokal (local heroes); pejuang lingkungan dan pemberdaya masyarakat di kampung-kampung (yang tadinya) miskin dan ada pula yang terpencil. Kisah yang mereka ceritakan ke saya membuat saya mengalami transformasi batin yang hebat, yang sayangnya melalui kata-kata tidak dapat saya tuangkan sepenuhnya ke dalam buku. Kisah mereka harus dirasakan untuk dapat dipahami. Dibaca dengan rasa, bukan dengan akal pikir dan kata-kata yang cenderung mendegradasi kebenaran.

Bagi mereka, para pahlawan lokal seperti pria yang menciptakan pompa air bertenaga matahari untuk menunjang sistem hidroponik dalam salah satu dari foto-foto ini (berbaju batik), kepedulian kita sudah merupakan penghargaan tertinggi. Tidak ada yang peduli seberapa banyak yang kita tahu, sampai mereka tahu seberapa banyak kita peduli.©2018



Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 19 Januari 2018

Monday, January 8, 2018

Kantuk yang Berpindah

TIGA hari belakangan ini saya selalu mengantuk berat ketika mengemudikan motor. Tanggal 6 Januari 2018, jam 11.30, ketika saya ke TPU Jeruk Purut juga begitu, tapi setelah sampai Jeruk Purut dan nongkrong depan makam kedua orang tua saya saya malah merasa segar lagi; kantuknya hilang.

Saat perjalanan pulang, lagi-lagi saya mengantuk berat di atas motor. Ketika lewat Jl. Kemang Timur, Jakarta Selatan, mendekati Kantor Operasi Gojek, di depan saya ada dua motor nyaris beriringan; yang kanan Gojek, yang kiri sepasang laki-perempuan tua. Saya mengekor di belakang mereka dengan jarak pendek dan kecepatan rendah.

Saking mengantuknya, dan karena lagi mengemudikan motor, saya pun membatin: "Tuhan, tolong doong angkat kantukku ini. Aku kan lagi bawa motor dan nggak mau celaka gara-gara ngantuk."

Entah karena permohonan saya atau bagaimana, tiba-tiba kedua motor di depan saya menurun kecepatannya hingga pelan dan saya lihat kepala si Gojeker di sebelah kanan tiba-tiba terkulai dan badannya miring ke kiri. Kedua motor pun bersenggolan dan akhirnya jatuh ke aspal bareng pengemudi dan penumpangnya. Badan si Gojeker menimpa motor sepasang laki-perempuan tua itu yang juga terjerembab ke aspal tertimpa motor mereka.

Saya mengerem mendadak dan terpana, tidak bisa menggerakkan badan saya. Serasa beku. Tapi karena kecelakaan itu di depan Kantor Operasi Gojek, banyak Gojeker dan sekuriti yang menolong dan mengatur lalu lintas. Saya dengar laki-laki tua yang tertimpa motor dan Gojeker di sebelahnya teriak ke si Gojeker: "Apaan sih, Bang? Ngawur!"

Si Gojeker menjawab: "Maaf, Pak. Saya juga nggak ngerti. Tiba-tiba saya kok ngantuukk beraaatt!"

Saya pun berlalu dari TKP dalam keadaan segar-bugar, hilang kantuknya. Tuhan mengangkatnya dan "memindahkannya" ke Gojeker di depan saya. Entah kebetulan atau tidak
tapi saya tidak percaya kebetulan.©2018


Kalibata Selatan, Jakarta Selatan, 6 Januari 2018