Monday, December 30, 2013

Anto Dwiastoro's Quotes 2013


“Bertobat tidak harus diucapkan, mengingat Tuhan tidak harus dilisankan. Beriman tidak harus dinyatakan, sebab ketika diri ini berserah dengan sabar, ikhlas dan tawakal segala ucapan pun luruh dan semua niat di hati jadilah.” (Anto Dwiastoro, 3 Januari 2013)

“Kau bisa mengubur mayat, tapi tidak bisa mengubur masa lalu.” (Detektif Mac Taylor (Gary Sinise), CSI: NY)

“Kemajuan spiritual seseorang memang sulit atau bahkan tidak bisa diukur. Tetapi kalau mau tahu apakah spiritualitasmu sudah tumbuh dan berkembang atau belum, periksa saja dirimu, apakah masih bergantung pada orang lain, termasuk guru duniamu, atau sudah bisa berjalan sendiri mengikuti tuntunan dari Guru Sejati!” (Anto Dwiastoro, 20 Januari 2013)

“Spiritualitas itu ibarat matahari, yang menyinari diri kita, memberi kehangatan dan energi hidup. Tetapi di atas semua itu tidak ada yang bisa mengklaim sebagai miliknya hanya dengan memberinya nama, mengorganisasikannya dan menerapkan aturan-aturan yang membuat orang-orang yang ‘paling dekat dengan matahari’ merasa dialah yang paling berhak dan paling tahu tentangnya. Matahari tidak bisa dipagari, apalagi mengklaim kepemilikan atasnya.” (Anto Dwiastoro, 20 Januari 2013)

“Keterikatan pada paradigma lama, menjauhkan diri dari hal-hal baru, dan berpegang pada ritus-ritus mapan dari budayanya akan memasung tumbuh-kembang intelektual, material dan spiritual seseorang.” (Anto Dwiastoro, 20 Januari 2013)

“Dua hal yang menandai kalau kita telah dikuasai daya kebendaan: (1) Kita melekat padanya hingga kita melupakan hakikat kemanusiaan kita, dan (2) Kita berusaha keras menjauhinya hingga kita melupakan hakikat benda itu bagi hidup kita. Yang terbaik adalah mengendalikan benda-benda yang kita miliki agar mereka tidak menguasai kita.” (Anto Dwiastoro, 30 Januari 2013)

“Ya Tuhan, bimbinglah kami dalam bekerja, tuntunlah kami dalam berusaha untuk kesejahteraan kami dan orang-orang yang bekerja untuk kami dengan jujur dan profesional. Semoga bisnis kami, LI9HT Brand Communications, membawa kami kepada cahaya petunjukMu sehingga langkah kami menjadi ringan, sebagaimana yang menjadi arti dari namanya. Amin, ya Tuhan.” (Doa Anto Dwiastoro, 31 Januari 2013)

“Adalah mudah untuk menandai dirimu kreatif atau tidak. Ketika kamu merasa sangat bosan dengan sesuatu atau seseorang dan tidak tahu bagaimana memperbaruinya sehingga menambah kebosananmu, saat itulah kamu boleh menyimpulkan bahwa kamu tidak kreatif.” (Anto Dwiastoro, 1 Februari 2013)

“Tidak ada yang namanya kebenaran mutlak. Yang ada hanya kecocokan pribadi mutlak.” (Anto Dwiastoro, 2 Februari 2013)

“Tanda bahwa seseorang itu tidak mencintai dirinya sendiri adalah miskin secara material, intelektual dan spiritual.” (Anto Dwiastoro, 4 Februari 2013)

“Kematangan spiritual seseorang terletak pada kemampuannya menjumbuhkan, bukannya mengotak-kotakkan, dunia dan akhirat, non-kejiwaan dan kejiwaan, material/intelektual dan spiritual.” (Anto Dwiastoro, 5 Februari 2013)

“Engkau ingin mengerti Beethoven, hanya Beethovenlah yang mengerti dirinya. Engkau ingin mengerti karya-karya Dostoyevsky, tanyalah langsung pada Dostoyevsky sendiri. Engkau ingin mengerti ciptaan Tuhan, tanyakan pada Tuhan. Jangan tanyakan pada manusia tentang ciptaan Tuhan, karena dia takkan mengerti sebagaimana Tuhan mengerti ciptaanNya." (Pdt. DR Stephen Tong, Seminar Keluarga 2010: “Rahasia Kemenangan Cinta dan Sex Menuju Pernikahan” di stasiun televisi Reformed 21, 7 Februari 2013, pukul 08.00-09.30)

“Ironi terbesar dalam hidup manusia adalah matanya. Mata bisa melihat segala hal, tetapi tidak bisa melihat si pemilik mata. Jadi, tidak mungkin mengenal diri sendiri. Socrates yang mengatakan, ‘Kenalilah dirimu’, tetapi dia tidak tahu bagaimana caranya. Tanyalah pada Tuhan yang menciptakan diri ini.” (Pdt. DR Stephen Tong, Seminar Keluarga 2010: "Rahasia Kemenangan Cinta dan Sex Menuju Pernikahan" di stasiun televisi Reformed 21, 7 Februari 2013, pukul 08.00-09.30)

“Tidak pernah ada persatuan manusia yang abadi lantaran nama, simbol atau atribut wujud maupun nonwujud. Keabadian baru tercapai apabila landasannya adalah Cinta tanpa kepentingan atau pamrih.” (Anto Dwiastoro, 8 Februari 2013)

“Kebanyakan kita suka mengidentifikasi diri dengan asal-usul, suku, ras, agama/aliran kepercayaan, ideologi, kelompok, simbol-simbol--tidak menginsafi bahwa tanpa itu semua, kita sudah sangat lengkap dibekali oleh Sang Pencipta untuk menjalani hidup di dunia dengan tuntunan jiwa yang dicahayai olehNya." (Anto Dwiastoro, 19 Februari 2013)

“Untuk memperbaiki penampilan, jangan berkaca di depan cermin di dinding atau meja rias. Di cermin seperti itu, segalanya merupakan kebalikannya. Berkacalah pada cermin hatimu, di mana kamu menjadi diri sendiri. Niscaya kecantikan sejatimu akan memancar.” (Anto Dwiastoro, 19 Februari 2013)

“Tidak ada Jalan yang mutlak Benar, karena keBenaran itu berJalan-jalan, tidak menetap di satu tempat.” (Anto Dwiastoro, 22 Februari 2013)

“Yang ajaib dari hidup ini adalah bahwa ketika kita mendedikasikan diri pada sesuatu, maka akan terbuka semua jalan menuju sesuatu itu.” (Anto Dwiastoro, 28 Februari 2013)

“Brands succeed best when they make a powerful emotional connection with people who buy them.” (John Simmons, Invisible Grail, p. 31)

“Segala sesuatu dalam hidup ini punya sisi baik maupun sisi buruk, walaupun sesuatu itu di luarnya tampak baik. Apa yang kita dapatkan dari sesuatu itu tergantung pandangan kita berat ke sisi yang mana—bila baik kita mendapat baik, bila buruk kita mendapat buruk. Sesederhana itu.” (Anto Dwiastoro, 4 Maret 2013)

“Manusia yang paling merugi di dunia adalah dia yang sepanjang hidupnya tidak pernah mengalami perubahan, baik secara material, intelektual maupun spiritual.” (Anto Dwiastoro, 6 Maret 2013)

“Dalam keberagamaan, berserah dirinya setelah berusaha. Dalam kejiwaan, berserah dirinya bersamaan dengan berusaha, sehingga semua perkataan dan perbuatan, pikiran dan perasaan kita senantiasa berada dalam jalur tuntunan Tuhan.” (Anto Dwiastoro, 7 Maret 2013)

“Tidak ada keputusan yang salah. Yang ada langkah yang salah, karena tidak berani mengambil keputusan lantaran takut salah.” (Anto Dwiastoro, 7 Maret 2013)

“Spiritualitas/kejiwaan, sekalinya memperdebatkan pemahaman pribadi dari masing-masing pelakunya, akan berubah seketika menjadi agama yang terorganisasi.” (Anto Dwiastoro, 12 Maret 2013)

“Spiritualitas yang sejati itu membuat kita tumbuh dan berkembang, bukan jalan di tempat apalagi mundur ke belakang dan terbuai nikmat dengan segala sesuatu yang sudah berlalu. Spiritualitas yang sejati itu membuat kita mantap di Saat Ini.” (Anto Dwiastoro, 13 Maret 2013)

“Spiritualitas yang hakiki itu memandirikan dan memberdayakan kita, lepas dari kemelekatan pada hal-hal di luar diri kita, termasuk guru/pendiri/penggagas jalan spiritual, ajaran/pelajaran maupun teks-teks yang seolah dianggap sakral. Spiritualitas yang hakiki itu terpaku pada bimbingan Yang Maha Esa, sedangkan yang lain-lain hanya ilusi.” (Anto Dwiastoro, 13 Maret 2013)

“Setiap orang sukses dengan caranya sendiri-sendiri, tidak bisa dikendalikan oleh cara orang lain, karena ‘sukses’ memiliki makna yang berbeda bagi setiap orang, lantaran masing-masing orang punya tujuan-tujuan yang berbeda satu dengan yang lain.” (Anto Dwiastoro, 16 Maret 2013)

“Tidak usah menganggap negatif orang yang berkata atau beranggapan negatif tentang kamu, karena ia sesungguhnya sedang mengungkapkan sisi negatif dirinya.” (Anto Dwiastoro, 18 Maret 2013)

“Sikap penyerahan diri adalah ibarat cermin yang memantulkan semua negativitas atau keburukan, yang dilemparkan orang lain kepada Anda, kembali kepada si pelempar.” (Anto Dwiastoro, 18 Maret 2013)

“Pengalaman membuktikan bahwa api akan membesar jika dilawan dengan api, tetapi sebaliknya akan padam jika disiram air. Lawan kekerasan dengan kelembutan, betapapun kekerasan itu menyakiti kita.” (Anto Dwiastoro, 18 Maret 2013)

“Penyakit paling berbahaya ternyata bukan kanker, melainkan sikap tidak bisa menerima kenyataan.”(Anto Dwiastoro, 23 Maret 2013)

“KehendakNya takkan mewujud ketika kita hanya duduk berpangku tangan atau menengadahkan tangan. KehendakNya baru akan mengemuka ketika kita ringan tangan.” (Anto Dwiastoro, 26 Maret 2013)

“Namanya juga ‘berserah diri’; serahkan semua-muanya kepadaNya, termasuk ketidaktenangan diri kita, niscaya kita akan dibimbingNya memasuki ruang keikhlasan, kesabaran dan ketawakalan. Tidak perlu menunggu diri tenang dulu untuk berserah diri, karena itu berarti kita tidak percaya pada kekuasaanNya.” (Anto Dwiastoro, 27 Maret 2013)

“Diperlukan kekurangan dan kesadaran akan kekurangan untuk mendorong orang agar mau belajar terus-menerus mengisi kekurangan dirinya, sehingga tumbuh dan berkembang.” (Anto Dwiastoro, 3 April 2013)

Branding is not a battle of who has the better product but who can create the perception that it has the better product. Perception is reality.” (Jacky Tai & Wilson Chew, Transforming Your Business Into A Brand: The 10 Rules of Branding. Singapore: Marshall Cavendish Business, 2007, p. 44)

“If your brand fails to make a deep, positive and lasting first impression, you will only increase its chances of failure.” (Jacky Tai & Wilson Chew, Transforming Your Business Into A Brand: The 10 Rules of Branding. Singapore: Marshall Cavendish Business, 2007, p. 48)

Sukses atau gagal, dua-duanya merupakan ujian kesabaran.” (Anto Dwiastoro, 10 April 2013)

“Upayakan untuk menjadi yang terbaik bagi dirimu sendiri, alih-alih berupaya memenuhi terlalu banyak harapan dari terlalu banyak orang terhadap dirimu.” (Anto Dwiastoro, 11 April 2013)

“Agama-agama dewasa ini, sekalipun sudah berusia ribuan tahun, tidak ada yang azali (asli nan murni), dan kita dewasa ini membuang-buang waktu, tenaga dan pikiran untuk meributkan perbedaan-perbedaan dalam ketidakazalian di antara agama-agama itu.” (Anto Dwiastoro, 15 April 2013)

“Dukun-dukun modern di Indonesia mem-branding diri mereka sebagai ‘penasihat/konsultan spiritual’, yang akhirnya membuat kata ‘spiritual’ memiliki konotasi negatif, begitu pula dengan kata ‘mistikisme’ (paham bahwa kekuasaan Tuhan itu pada hakikatnya meliputi hidup manusia). Spiritualitas, yang berarti ‘kerohanian’, akhirnya dipandang tidak lebih dari ‘pedukunan’ di benak orang yang berpikiran sempit, sehingga agama-agama di zaman sekarang pun emoh menyisipkan spiritualitas dalam ajarannya. Tidak mengherankan, bila praktik keberagamaan dewasa ini sangat kering, karena hanya menyentuh ritual, sedangkan Tuhan adalah Spirit Maha Kuasa yang hanya bisa disentuh lewat jalan spi-ritual!" (Anto Dwiastoro, 22 April 2013)

“Sungguh nikmat kesadaran bahwa semua ibadah yang kita lakukan adalah untuk keuntungan dan kemanfaatan kita sendiri, dan bukannya untuk menyogok Tuhan.” (Anto Dwiastoro, 29 April 2013)

“Adalah baik jika merekmu dikenal dan mendapat perhatian dari konsumen, dan untuk itu merekmu harus mengenal dan memperhatikan konsumen.” (Anto Dwiastoro, 30 April 2013)

“Why bother to choose something you don’t recognize, if you can choose something you do—Kenapa harus repot-repot memilih sesuatu yang tidak kamu kenal, jika kamu bisa memilih sesuatu yang kamu kenal?” (Anto Dwiastoro, 30 April 2013)

“Hidup adalah perjalanan, bukan tujuan. Karena itu, sukses adalah milik mereka yang tidak berhenti berproses. The process means a lot more than the success.” (Anto Dwiastoro, 9 Mei 2013)

“Mimpi itu harus dibarengi keberanian untuk bangun dari tidur, agar dapat menjadi kenyataan.” (Anto Dwiastoro, 11 Mei 2013)

“Kesuksesan maupun kegagalan tidak bertahan lama. Yang bertahan adalah pemahaman diri tentang hikmah yang dipetik dari kedua kejadian tersebut.” (Anto Dwiastoro, 12 Mei 2013)

“Kurang percaya diri—salah satu faktor penyebab banyaknya ide kreatif mati sebelum sempat dilahirkan ke dunia.” (Anto Dwiastoro, 22 Mei 2013)

“Orang lain tidak selalu seperti yang kita pikirkan mengenainya.” (Anto Dwiastoro, 28 Mei 2013)

“Seperti halnya seks dan ganti baju, aktivitas keberagamaan sepatutnya dilakukan di balik pintu kamar atau ruang pribadi, bukannya malah diumbar ke publik. Keimanan itu dipelihara dalam hati, bukan lewat mulut, atribut atau isyarat fisik!” (Anto Dwiastoro, 28 Mei 2013)

“Dengan berserah diri, tidak menghitung-hitung apa saja yang sudah kita terima dan beri, segala sesuatu akan lewat begitu cepat, hingga tak terasa kita sudah berhasil mencapai apa yang kita cita-citakan.” (Anto Dwiastoro, 30 Mei 2013)

“Sebuah rumah memiliki atap sehingga penghuninya mendapat keteduhan, tiang-tiang untuk menyangga atap tersebut, pintu untuk keluar-masuk, dan jendela untuk melihat apa yang terjadi di luar rumah. Pendek kata, setiap bagian dari rumah memiliki fungsi. Hidup pun seperti rumah; segala sesuatu di dalamnya ada untuk suatu alasan, apakah kesuksesan atau kegagalan, sehat atau sakit, baik atau buruk, dan begitu banyak unsur-unsur berlawanan lainnya, yang bila diteropong dengan kearifan akan meneduhkan diri kita, dan menyangga keikhlasan kita.” (Anto Dwiastoro, 1 Juni 2013)

“Segalanya tampak indah ketika masih di angan. Tetapi begitu sudah berada di tangan, keindahan itu menyusut seiring waktu.” (Anto Dwiastoro, 3 Juni 2013)

“Semakin total berserah diri, semakin terlihat gambaran menyeluruh dari proses-proses hidup ini, dan semakin simpel pula hidup ini—bahkan membuat kita bertanya-tanya, apa yang sebenarnya kita perjuangkan dalam dan bagi hidup ini, karena semua-muanya jadi semu?!” (Anto Dwiastoro, 3 Juni 2013)

“Ya Tuhan, bimbinglah aku dalam pikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan yang menurutMu benar, dan bukan yang menurutku baik atau buruk.” (Anto Dwiastoro, 8 Juni 2013)

“Hidup itu dijalani dengan ikhlas dan dirayakan, bukan dikeluhkan apalagi disesali.” (Anto Dwiastoro, 10 Juni 2013)

“Kita akan sulit menerima kekurangan dan mudah mengagung-agungkan kelebihan orang lain sebelum mampu menerima kekurangan dan memanifestasikan keistimewaan diri sendiri.” (Anto Dwiastoro, 10 Juni 2013)

“Agama itu sejatinya terbentuk dari serangkaian upaya kita untuk mengenal dan berdamai dengan diri sendiri, sehingga dengan begitu kita bisa mengenal dan berdamai dengan orang lain. Pertentangan, permusuhan atau pengkafiran yang dilancarkan suatu umat agama tertentu terhadap umat agama lain merupakan bukti betapa banyak orang yang belum mengenal dan berdamai dengan dirinya sendiri.” (Anto Dwiastoro, 10 Juni 2013)

“Cinta bukan cinta saat mengubah perubahan yang ditemukan.” (Dari film Did You Hear About the Morgans?)

“Bila kamu bertekad untuk berbakti kepada Tuhan, berserah diri kepadaNya, maka orang-orang yang kamu pikir sebagai buruk adalah ibarat taksi atau bus—mereka akan berlalu jika kamu tidak naik!” (Anto Dwiastoro, 1 Juli 2013)

“Hidup adalah sebuah teka-teki silang; kadang mendatar, kadang menurun. Tapi begitu diselesaikan, rasanya puas telah menjawab semua teka-teki hidup ini.” (Anto Dwiastoro, 11 Juli 2013)

“Tuhan tidak memberimu masalah. Dia memberimu cara hebat untuk menjalani hidup, sehingga setiap pagi kamu akan bersyukur kepadaNya, yang tidak bisa dilakukan semua orang.” (Malaikat Monica kepada Amy, gadis remaja berusia 15 tahun yang hidupnya berubah setelah ia divonis menderita diabetes yang membuatnya harus bergantung pada suntikan insulin tiap hari, dalam film seri Touched by an Angel di BeTV, 11 Juli 2013)

“Pekerjaan selalu ada. Yang jarang adalah menemukan orang yang dapat membahagiakan kita.” (Agen Spencer Reid kepada Agen Alex Blake, Criminal Minds, Fox 13 Juli 2013, pk 11.55 WIB)

“Sungguh, kesalahan terbesar dari budaya (kekuatan akal pikir) kita adalah mem-profiling Tuhan sedemikian rupa, sehingga akhirnya kita sering bingung sendiri dengan sifat-sifatNya yang tidak jarang ‘tidak konsisten’.” (Anto Dwiastoro, 2 Agustus 2013)

“Selalu mengalami kelebihan karena selalu mensyukuri kekurangan.” (Anto Dwiastoro, 4 Agustus 2013)

“Lebaran itu adalah untuk makan, minum dan berzikir kepada Allah. Ini yang sering kita lupakan.” (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Spesial Lebaran, MetroTV, 8 Agustus 2013)

“Hidup itu memberikan pilihan. Tetapi, jika engkau bingung untuk memilih di antara dua pilihan, pilihlah kedua-duanya.” (Anto Dwiastoro, 12 Agustus 2013)

“Ketika kamu bertemu orang yang memiliki ego yang tinggi, hadapilah ia dengan hati yang rendah.” (Anto Dwiastoro, 5 September 2013)

“Memperkuat, memfokuskan, dan menenangkan pikiran adalah langkah pertama yang penting untuk menyelesaikan tujuan apa pun.” (Nancy Spears, Buddha @ Office: Membawa Pencerahan di Tempat Kerja Anda dan Meningkatkan Laba Perusahaan (Jakarta: BIP, 2009), hlm. xxx)

“Mencintai pekerjaan Anda dan mengetahui bahwa itu penting bagi Anda, adalah hal yang menyenangkan.” (Katherine Graham, pendiri suratkabar Washington Post)

“Yang mengingatNya selalu akan merasa ramai walau sendirian, kaya walau hampa tangan, dan berani walau tanpa kawan.” (M. Quraish Shihab, Dia di Mana-Mana: ‘Tangan’ Tuhan di Balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2013), hlm. 142)

“Selama kita melanjutkan untuk mendorong dan terpaku pada hasil, kita sesungguhnya membangun momentum menuju kemelekatan.” (Nancy Spears, Buddha @ Office (Jakarta: BIP, 2009), hlm. 79)

“Kita adalah kumpulan dari aneka pertanyaan yang belum terjawab.” (A. Carrel (1873-1944), peraih hadiah Nobel dalam bidang kedokteran 1912, dalam bukunya Man the Unknown)

“Rahasia besar kehidupan adalah bahwa tidak ada rahasia besar. Apa pun tujuan Anda, Anda bisa mencapainya jika Anda mau berusaha.” (Oprah Winfrey)

“Aku adalah misteri bahkan bagi diriku sendiri.” (Tokoh “Merle” dalam The Walking Dead Season 3)

“Saya tidak pernah bekerja pada akhir pekan, karena saya mencintai keluarga saya. Saya bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga saya, tapi ternyata yang paling dibutuhkan keluarga saya adalah kehadiran diri saya di dekat mereka.” (William Bernbach, copywriter terkemuka dunia dan pendiri biro iklan internasional Doyle, Dane, Bernbach {DDB})

“Alam tidak mengenal baik atau buruk, hanya seimbang atau tidak seimbang.” (Profesor Hollis Walker, Jr., pakar agama-agama Afrika yang menjadi pembunuh berantai dalam episode “Corazon” (episode ke-12) film seri Criminal Minds Season 6, tadi pagi di Fox)

“Melalui pemahaman tentang Maqashid Asy-Syariah (tujuan agama) kita dapat mengetahui hukum dan persoalan-persoalan ‘baru’ lainnya. Tujuan tuntunan agama adalah memelihara lima hal pokok yaitu Ajaran Agama, Jiwa, Akal, Harta dan Keturunan. Setiap aktivitas yang menunjang salah satunya, maka pada prinsipnya dibenarkan dan ditoleransi oleh Islam, dan sebaliknya pun demikian. Pembenaran itu bisa mengambil hukum wajib, atau sunnah (anjuran), atau mubah.” (M. Quraish Shihab, Dia di Mana-Mana: ‘Tangan’ Tuhan di Balik Setiap Fenomena.” (Jakarta: Lentera Hati, 2009) hlm. 354)

“Kunci dari menulis adalah menulis.” (William Forrester (Sean Connery) dalam film Finding Forrester)

“Seburuk-buruknya diri sendiri, masih lebih buruk hidup sebagai orang lain.” (Anto Dwiastoro, 20 Oktober 2013)

“Kegagalan yang disertai pemahaman akan maknanya adalah lebih baik daripada kesuksesan tanpa pemahaman akan maknanya.” (Anto Dwiastoro, 20 Oktober 2013)

“Jika Anda mendapatkan kehidupan yang membosankan dan menyedihkan lantaran Anda mendengarkan kata-kata ibu, ayah, guru, pendeta Anda, atau orang di televisi tentang bagaimana Anda harus menjalani hidup Anda, maka Anda pantas mendapatkannya.” (Frank Zappa)

“Kalau jalan ke Tuhan masih dibimbing oleh manusia, tentu saja tidak akan sampai ke Tuhan, hanya sampai kemampuan manusia itu.” (Ibu Rahayu, Rungan Sari, 11 Juni 2004)

“Art is a lie that makes us realize the truth.” (Pablo Picasso)

“Semua orang bisa berhasil sampai mereka gagal.” (Daryl, The Walking Dead Eps. 4 Season 4)

“Menghidupkan Hidup di dalam hidup. Kalau itu hidup, sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk mengatakan kita ini masih manusia biasa yang lemah dan banyak salah.” (Anto Dwiastoro, 10 November 2013)

“Aku tidak akan mematahkan punggung demi uang jutaan dolar yang takkan kubawa mati.” (Toby Keith, lirik lagu My List)

“A sad soul can kill quicker than a germ.” (John Steinbeck)

“Tuhan itu Tanda Tanya—maka beruntunglah mereka yang terus mempertanyakanNya, karena hal itu mendorong pada pencarian yang konsisten. Celakalah mereka yang menerimaNya sebagai Titik, karena hal-hal hebat mengenai diriNya terpendam dalam kepuasan diri yang bersifat sementara.” (Anto Dwiastoro, 22 November 2013)

“Cinta itu memberi makna dan nilai pada segala sesuatu yang kita lakukan. Bekerja tanpa cinta membuat kita stres; menghamba pada Tuhan tanpa cinta membuat kita tersesat; bercinta tanpa cinta merusak tubuh, hati, diri dan jiwa.” (Anto Dwiastoro, 23 November 2013)

“Di hutan, terhampar di hadapanku dua cabang jalan. Aku mengambil jalan yang jarang dilalui orang. Dan itulah yang membuat segala perbedaan.” (Robert Frost)

“Orang-orang yang mengajarkan apa yang mereka pelajari, sejauh ini, adalah orang-orang yang hebat.” (Stephen R. Covey, The 8th Habit: Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 50)

“Mempelajari hidup tetapi tidak melakoninya sama saja tidak mengetahui tentang hidup.” (Anto Dwiastoro, 30 November 2013)

Jangan membenci, karena nanti saudara akan menjadi seperti yang saudara benci. Kalau saudara benci setan, ya saudara pun akan jadi setan.” (Muhammad Subuh)

“Hidupku sudah ditentukan. Tak akan satu menit lebih panjang atau lebih pendek daripada yang telah ditentukan.” (Anwar Sadat)

“Hanya orang-orang yang disiplin yang benar-benar bebas. Orang-orang yang tidak disiplin adalah budak dari suasana hatinya, budak kesenangan dan nafsu-nafsunya.” (Stephen R. Covey, The 8th Habit: Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 110)

“Tidak ada makanan yang sehat; yang ada pikiran yang sehat ketika memakan suatu makanan.” (Anto Dwiastoro—inspirasi dari makan siang di Jl. Camar III Blok BK No. 34, Bintaro Sektor 3, 7 Desember 2013)

“Ketika kehidupan, kerja, permainan dan cinta berputar di sekitar hal yang sama, Anda mendapatkan gairah!” (Stephen R. Covey, The 8th Habit: Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 113)


Monday, November 25, 2013

Ruang Tunggu

Di sini, kutunggu tanganmu menggapai jemariku yang memendam rindu
Berkata dalam padu padan kalimat yang menyuarakan selembut beledu
betapa aku mencintaimu tak beragu

Di sini, kutunggu matamu yang menatap mataku menuju satu
dan kulihat bening indah isyarat hatimu

Di sini, kutunggu mulutmu yang desah sekatanya memacu jantungku,
memicu derap cita untuk setia mengasihimu selamanya

Di sini, kutunggu hadirmu selalu, di dalam hangat rengkuh batinku yang menyelia rasaku tetap terpaku hanya kepadamu

Kunikmati gelora ini, yang selalu meliputi diri walau kamu tak selalu hadir di sini
Sabar kutunggu kamu di sini, di diriku yang tak pernah berhenti
mencintaimu dalam harap abadi

Di sini, di ruang tunggu batinku ini, sungai doaku tak pernah berhenti mengalir ke arahmu, wahai Kekasih Jiwaku...



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 26 November 2013

Saturday, October 19, 2013

Kelindan Rasa

Kehadiranmu ada di setiap rasaku
Rasa yang niskala, berkelindan dengan rasamu yang tankasatmata
Adakah yang dapat memaknai cinta
selain rasa yang berjalin tak berupa?

“Terus,” kukata, membisik jiwamu—terus aku mencintaimu, selama raga masih meraja
Terus aku mencintaimu, sampai jiwaku meresap dalam semesta
Namun rasa kita abadi berkelindan, walau tanpa rupa
Merindu dalam sunyi, bagai pertapa dalam semadi abadi

Wahai, Rasaku, kau yang menggetar diriku, dalam jalinan tanrupa semesta
menyambungkan kamu dan aku sebagai kekasih jiwa
teriring keheningan doa dan kebeningan kasih yang menggelora
di kedalaman sanubari kita,
yang laksana samudra makna tak memiliki batas sejauh mata memandangnya

Aku mencintaimu sepanjang usia, wahai Kekasih Jiwa
seperti kalimat Yang Maha Kuasa alirkan pada nafas ciptaanNya
Oh, aku mencintaimu selamanya
seiring kelindan rasa yang menjalin dalam niskala...


Pondok Jaya VII, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 20 Oktober 2013

Tuesday, October 1, 2013

Obat Yang (Tidak) Menyembuhkan Semua Penyakit

Meniru adalah keliru.”
—Moehammad Soeboeh Soemohadiwidjojo 




SUATU ketika, seorang kawan datang mengunjungi saya di kantor tempat saya bekerja sebagai pengarah kreatif, sebuah perusahaan komunikasi pemasaran dan korporat terpadu di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Sambil mengobrol di ruang kerja saya, ia membolak-balik buku saku mengenai strategi ancangan (positioning) karya seorang pakar pemasaran terkemuka Indonesia. Ia memuji buku itu sebagai sebuah acuan pemasaran yang hebat. Tetapi saya berkomentar, Pak, itu buku sejarah, bukan buku strategi pemasaran. Strateginya sudah usang. Nggak ada strategi, sehebat apa pun, yang bisa diterapkan pada dua merek yang berbeda dalam kategori produk yang sama, sama halnya tidak ada obat yang bisa menyembuhkan semua penyakit. Saya sebut itu buku sejarah karena masa pakai strateginya sudah lewat dan hanya jitu ketika dipakai untuk satu merek tertentu yang dibahas dalam buku itu.

Kawan saya yang usianya lebih senior daripada saya, penyandang gelar magister dalam bidang manajemen bisnis dari sebuah universitas negeri terkemuka di Amerika Serikat, itu mengangguk-angguk membenarkan pendapat saya. “Betul, nggak ada satu obat yang bisa menyembuhkan semua penyakit! tandasnya mengafirmasi komentar saya.

Dalam 20 tahun karir saya di bidang pengembangan merek (branding), tidak ada satu pun klien saya yang saya tangani pengembangan mereknya dengan cara atau strategi yang sama dengan klien yang lain walaupun produk yang mereka miliki sama. Saya pernah tiga kali menangani produk rokok dari tiga klien yang berbeda, dua kali produk kendaraan roda empat, dua kali produk semen, empat kali perusahaan minyak dan gas, dan belasan kali produk makanan. Tidak ada satu pun yang saya kembangkan mereknya dengan memakai strategi yang sama. Penyamaan strategi malah akan menghancurkan semuanya, karena masing-masing memiliki sifat, lingkungan, dan nilai yang berbeda.

Ketika saya mulai menapakkan kaki di jalan spiritual, kepada saya disampaikan bahwa di jalan spiritual tertentu itu tidak ada orang yang sama dalam hal penerimaan (receiving), pengalaman maupun pemahamannya terhadap sesuatu. Semakin jauh saya melangkah semakin saya memahami, bahwa bukan hanya khusus di jalan spiritual itu saja, melainkan di semua aspek kehidupan kita tidak ada yang sama dan tidak pula bisa diberlakukan penanganan atau pengobatan dengan cara yang sama. Penyeragaman malah menyalahi kodrat. Satu hal yang sama pada diri manusia adalah bahwa semuanya berbeda!

Yang berhasil pada satu orang belum tentu akan memberi hasil yang sama pada orang lain. Beberapa selebriti baru-baru ini mengumumkan ke publik mengenai keberhasilan dietnya, yang kontan saja ditiru para penggemarnya yang memang sedang ingin menurunkan berat badannya. Cara para selebriti itu melangsingkan tubuh mereka pun ditiru habis-habisan oleh para penggemar. Mereka lupa bahwa setiap karakteristik tubuh dan metabolismenya berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain.

Intinya, tidak ada yang mutlak bisa dijadikan patokan. Rekan kerja saya dahulu di Surabaya, seorang wanita paruh baya yang berbadan kurus seperti batang korek api, kerap meledek saya yang berbadan besar dan gemuk. Ia bilang agar saya berhati-hati karena kegemukan berisiko kolesterol tinggi. Saya cuma tertawa menanggapinya. Saya tahu risiko dari kegemukan dan karena itu saya berusaha menjaga agar berat badan saya tidak melampaui batas normal. Ini adalah keuntungan dari berbadan gemuk—kita jadi lebih waspada terhadap apa yang kita makan dan besaran porsinya, berbeda dengan orang yang berbadan kurus yang cenderung mengabaikan. Buktinya, tidak lama setelah ia meledek saya, ia datang ke kantor dengan wajah murung. Ia baru dari laboratorium untuk memeriksakan darahnya atas rujukan dari dokternya. Kolesterolnya tinggi, sehingga ia harus mengatur pola makannya. Pengalaman itulah menandaskan kepada saya, tidak ada yang pasti di dunia ini, sehingga tidak ada yang bisa dijadikan patokan.

Jalaluddin Rumi, seorang sufi mashur asal Turki, pernah berkata bahwa jalan ke Tuhan adalah sebanyak jumlah manusia di muka bumi ini. Penyeragaman cara dalam menghamba kepada Tuhan, karena itu, bukannya mendekatkan umat kepada Sang Pencipta, tetapi malah menjauhkannya dariNya. Kebenaran bisa berubah menjadi kesesatan ketika dipaksakan pada semua orang. Aras pemahaman setiap orang kan berbeda-beda; ada yang bisa menerima bila Tuhan itu Maha Menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki, ada yang tidak bisa.

Pemaksaan dalam bentuk apa pun kepada mereka ini malah akan berdampak pada eksodus dari keyakinan atau agama yang mereka anut. Mengenai hal ini, saya tertarik pada ucapan seorang bhikku agama Buddha di Indonesiaseseorang yang sebelumnya bukan Buddhisyang mengatakan bahwa tidak ada agama yang benar; yang ada adalah agama yang cocok. Saya memilih agama Buddha bukan karena agama Buddha itu agama yang paling benar, melainkan karena itu agama yang paling cocok buat saya, ujar sang bhikku, yang menginspirasi dua selebriti negeri ini untuk memeluk agama Buddha.

Yang terbaik adalah menjadi diri sendiri—pilihlah yang cocok untuk Anda, jangan mengambil yang cocok untuk kawan atau bahkan saudara kembar Anda. Karena tidak ada obat yang dapat menyembuhkan semua penyakit.©


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 1 Oktober 2013 

Sunday, September 29, 2013

Kepadamu

Kepadamu, aku seperti berbicara dengan benakku 
yang tak pernah berhenti memikirkanmu

Kepadamu, aku seperti berbicara dengan tanganku 
yang tak bosan menggores pena, mengukir kalimat “I love you

Kepadamu, aku seperti berbicara dengan mataku 
yang tak pernah berhenti melihatmu dalam mimpi

Kepadamu, aku seperti berbicara dengan lengan-lenganku 
yang terentang lebar, mengukur jarak antara kamu dan aku

Kepadamu, aku seperti berbicara dengan tekadku 
yang memastikan kalau kamu tak sejauh yang kubayangkan, 
bahkan kedua lenganku tak memisahkan kita

Kepadamu, aku seperti berbicara dengan hatiku 
yang terus merindukan kehadiran ragamu

Kepadamu, aku seperti berbicara dengan jiwaku 
yang senantiasa menjawab kerinduanku akan raga 
dengan kenyataan kalau kita sejiwa

Kepadamu, Kekasih Jiwaku, aku seperti berbicara dengan diriku 
yang tak lain adalah kamu...


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 30 September 2013

Monday, August 26, 2013

Senyata Mimpiku

Saat aku menyentuhmu dalam mimpi,
seketika kamu jadi nyata,
senyata kasih yang aku punya
untuk kita bagi berdua
Kubangun mimpiku dari kerangka baja
sekuat tekadku untuk mencintaimu selamanya...

Oh, Kekasih Jiwa, bersamamu kuingin mengabdi
pada Cinta yang memberi tiada henti
rasa hangat di kala dingin
dan sejuk di kala panas menyiksa
Oh, Kekasih Jiwa, kamu adalah mimpi dalam hidup nyataku
dan kenyataan dalam mimpiku
Aku tak ingin mimpi ini berhenti menyala,
karena saat aku menyentuhmu dalam mimpi,
seketika kamu jadi nyata...


Pondok Jaya, Jakarta Selatan, 27 Agustus 2013

Monday, August 12, 2013

Jalan Tengah


“Hidup itu memberikan pilihan. Tetapi, jika engkau bingung untuk memilih di antara dua pilihan, pilihlah kedua-duanya.”
—Anonim



PUTRA dari salah seorang kenalan saya, sebut saja Ali, suatu ketika menelepon saya. Ia menuturkan bahwa untuk tugas presentasi yang harus dilakukannya sebagai salah satu syarat dari program pertukaran pelajar, yang mengirimnya ke Amerika Serikat, ia hendak membahas perihal pertumbuhan ekonomi. Ayahnya malah menyarankan dia agar membahas masalah lingkungan hidup, karena untuk itu ia bisa meminta bantuan saya lantaran saya memiliki banyak referensi, terutama setelah dua tahun terakhir saya terlibat dalam penulisan buku tentang program pemeringkatan perusahaan (PROPER) dalam sistem manajemen lingkungan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

Si Ali pun menghubungi saya, dan meminta pendapat saya, apakah ia harus membahas subyek pertumbuhan ekonomi atau lingkungan hidup. Saya malah memberi dia usul: “Bagaimana kalau kamu membahas keduanya, dengan premis bahwa pelestarian lingkungan hidup akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan?”

Sudah lazim kita dengar atau baca tentang kearifan bahwa hidup itu memberikan pilihan; apa pun yang Anda pilih akan ada konsekuensi yang mesti Anda pertanggungjawabkan. Tetapi, bagaimana kalau Anda memilih kedua-duanya di antara dua pilihan? Yang jelas, akan menghasilkan keseimbangan yang baik dengan landasan berpijak yang kokoh. Itulah “jalan tengah” yang dianjurkan para guru bijak di masa lalu. Jika kita menempuh jalan tengah itu berarti kita menyelaraskan dua hal yang bertentangan menjadi satu kesatuan yang kuat, sebagaimana keselarasan Yin dan Yang, pria dan wanita, sakit dan sehat, gagal dan sukses, gelap dan terang, dan lain-lain sifat-sifat berlawanan yang dipersatukan melalui Jalan Tengah.

Kerjasama tim (teamwork), idealnya, bukanlah tentang mempersatukan orang-orang yang sama, melainkan menggabungkan orang-orang yang berbeda watak dan keahlian untuk satu tujuan. Bagaimanapun, tidak ada manusia yang sama. Masing-masing manusia diciptakan berbeda satu sama lain, memiliki pandangan dan jalan hidup yang berbeda, serta berkebutuhan yang berbeda pula. Adalah menyalahi kodrat jika semua manusia diseragamkan menurut tolok ukur yang dianut satu orang atau satu kelompok. Kebenaran bagi satu orang belum tentu kebenaran bagi yang lainnya. Ketika hal ini dilanggar, di situlah terjadi ketidakseimbangan yang membuyarkan seluruh tatanan semesta!

Kekuatan kita justru terletak pada kemampuan kita untuk menerima perbedaan dan menempatkan diri kita di Jalan Tengah yang dapat menggabungkan beberapa hal yang berbeda secara selaras. Hal ini tidak sulit dan bukan sesuatu yang tidak mungkin, kecuali Anda selalu menganggap perbedaan sebagai sesuatu yang merusak tatanan. Penyelarasan, atau Jalan Tengah, menghasilkan kekuatan yang membangun, dan bukan merusak. Apabila amarah Anda lontarkan dengan muatan emosi atau ego, maka amarah itu akan merusak. Tetapi bila amarah diluapkan dengan muatan kasih-sayang, maka amarah itu akan menghasilkan perbaikan dan perdamaian yang berkelanjutan.

Inti dari Jalan Tengah ini adalah keseimbangan. Apa pun, apakah itu negatif atau positif, jika tidak seimbang bukan kebaikan yang dibawanya, melainkan kerusakan. Anak yang disayang terus-menerus sehingga mengarah pada pemanjaan, akan membuat si anak tumbuh menjadi manusia yang lemah. Sebaliknya, jika ia dikasari terus-menerus ia akan menjadi pribadi yang kejam. Laksana air, yang dalam jumlah yang cukup akan dapat mengenyahkan rasa haus dan kepanasan, tetapi dalam jumlah yang berlebihan akan bisa menenggelamkan dan membunuh kita!

Saya teringat pada kisah yang diceritakan kawan saya, seorang guru sekolah menengah atas yang mempunyai masalah dengan muridnya yang prestasi belajarnya tidak memuaskan lantaran si murid hanya suka bermain papan luncur atau skateboard. Orang tua si murid sudah melarang anak mereka bermain skateboard, bahkan membuang papan luncur yang mereka anggap sebagai biang anak mereka tidak mau belajar. Bukannya prestasi belajarnya meningkat, si anak malah semakin tidak mau belajar.

Akhirnya, kawan saya itu menempuh Jalan Tengah: Ia membangun sarana bermain papan luncur yang keren di halaman sekolah dan ia memberi keleluasaan pada muridnya itu untuk bermain skateboard sepuasnya, dengan satu syarat—dia harus merebut kesempatan itu lewat setiap nilai bagus dalam pelajaran sekolahnya. Si murid sepakat dengan perjanjian tersebut. Alhasil, nilai pelajarannya melonjak tinggi, setinggi ia melesat ke udara dengan papan luncurnya. Dan semua orang terpuaskan. Nah, adakah pilihan yang lebih baik daripada memilih Jalan Tengah?©



Pondok Jaya, Jakarta Selatan, 12 Agustus 2013

Tuesday, March 26, 2013

Apa Boleh Buat, Nasi Sudah Jadi Bubur Ayam Yang Lezat



“Hidup hanyalah kenangan, kecuali satu saat ini yang berlalu dari hadapanmu begitu cepatnya sampai kamu sulit menangkapnya.”
—Tennessee Williams



BARUSAN ini, saya membawa sepeda motor saya, yang baru saya miliki kurang dari dua bulan, ke bengkel untuk servis 500 kilometer pertama. Saya mendapat garansi ganti oli dan servis gratis dari produsen sepeda motor tersebut untuk 500 km pertama. Ketika diperiksa kilometernya, tampilan digital pada stang sepeda motor saya menunjukkan 530 km, yang artinya sudah lewat 30 km dari batas maksimal untuk mendapatkan garansi ganti oli dan servis gratis. Kata pemilik bengkelnya, seharusnya saya menservis sepeda motor saya ketika jumlah kilometernya belum genap 500.


Pada saat itu, saya menyesal setengah mati lantaran tidak teliti membaca buku petunjuk garansi servis—yang memang mencantumkan keterangan itu. Dan pada saat yang sama, perasaan menyesal itu sungguh membebani. Pikiran saya berkecamuk dengan kata “coba”: Ah, coba gue datang seminggu sebelumnya. Coba gue baca dengan teliti buku petunjuknya. Coba...

Percuma, nasi sudah jadi bubur. Penyesalan tiada guna. Mau diapain juga, waktu yang sudah lewat tidak bisa dikembalikan. Jadi, daripada sepeda motor saya rusak lantaran tidak diservis, lantaran batasan kilometernya sudah terlampaui, saya biarkan saja kesempatan itu berlalu. Artinya, saya tetap menservis sepeda motor saya, walaupun saya harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli satu liter oli, tetapi itu lebih baik daripada saya harus membayar lebih mahal atas kerusakan parah pada sepeda motor saya lantaran tidak diservis.

Waktu tidak berjalan mundur. Ia senantiasa melangkah maju. Kita tidak mungkin memundurkan waktu, kecuali dalam pikiran kita, yaitu ketika mengenang masa lalu kita. Karena tidak dapat memundurkan waktu, dan memperbaiki keadaan pada suatu waktu, adalah jauh lebih baik bila kita memperbaiki keadaan di saat ini. Saat ini—bukan saat yang telah lewat atau yang akan datang. Saat ini! Biar nasi sudah jadi bubur, bagaimanapun bubur juga merupakan makanan yang layak dikonsumsi. Bubur bahkan lebih baik bagi kesehatan pencernaan.

Perasaan menyesal menimbulkan beban yang menyiksa diri. Beban itu dapat berujung dengan bangkitnya amarah yang luar biasa. Kita akan marah pada diri sendiri, yang kita anggap terlalu bodoh karena tidak berbuat begini atau begitu di masa lalu supaya di masa kini kita tidak mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Kita akan menyalahkan orang-orang terdekat kita karena kita anggap mereka tidak mencegah atau mengingatkan kita pada suatu waktu di masa yang telah lampau. Kita akan marah pada Tuhan lantaran Dia membiarkan semua kekeliruan atau keburukan terjadi.

Pepatah “nasi sudah jadi bubur” menyesatkan, karena dengan berpegang pada pepatah itu, kita cenderung menyesali segala sesuatu. Karena itu—dan juga karena saya gemar makan bubur ayam, saya tidak pernah meyakini kebenaran pepatah itu. Bubur, bagaimanapun, adalah makanan yang lezat jika kita menikmatinya. Apa pun kekeliruan atau kesalahan yang saya hadapi saat ini, saya berusaha untuk menikmatinya sebagai kekinian saya, dan tidak menyesali masa lalu yang bagi sebagian besar orang dianggap sebagai penyebab dari apa saja yang kita hadapi di masa kini.

Penyesalan tidak akan ada habisnya. Coba saja dengan menarik mundur waktu terus ke belakang—semakin jauh ke belakang, semakin besar rasa penyesalan itu. Percaya deh, Anda bahkan akan menyesalkan orang tua Anda sendiri yang telah melahirkan Anda ke dunia. Saudara sejiwa saya pernah berseloroh, “Kalau saya mati kelak dan Tuhan memasukkan saya ke neraka, saya akan protes: Siapa yang menyuruh Engkau menciptakan aku? Kalau Engkau Maha Tahu kan seharusnya Engkau sudah tahu terlebih dahulu kalau aku akan mengacau dalam kehidupanku. Seharusnya Engkau tidak menciptakan aku dan kelak menyalahkan aku karena mengacau!”

Dari selorohnya, saya mendapat kesimpulan: Kehidupan jangan disesali, apa pun yang kita hadapi atau alami. Kita tidak akan pernah tahu hal hebat apa yang akan kita peroleh kelak, walaupun sempat mengacau pada suatu ketika. Sekarang, mulailah dengan tidak menyesali saat-saat kita suka menyesal dahulu. Nikmati lezatnya bubur ayam komplit yang tersaji di hadapan Anda.©


Bengkel AHASS Jl. Raya Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 5 Januari 2013, pukul 9.39 WIB.