Monday, September 25, 2023

Cinta Tanpa

Getar cinta itu hanya sebentar melalui diriku

Sejenak berdiam, berbungkus awan kelabu

Aku tak tahu, mengapa kumerindu

 

Jiwaku tersambung dengan yang di sana

yang menanti resah, tak tahu mengapa

Ku ukir kata, terjemahkan rasa

Malah bingung menyisa

 

Kutinggalkan jejak di pasir masa

yang akhirnya terhapus ombak samudra

Membawa rasa ini pergi, untuk selamanya...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 24 September 2023

Monday, September 18, 2023

My WhatsApp Message to Two South Jakarta Helpers Today

I think I’m in crisis. During the two days of Muswil (Musyawarah Wilayah; the Regional Meeting of Subud DKI Jakarta, 16 to 17 September 2023), I spent more time in my room sleeping and continuing to receive the vibrations of the Latihan. I have been sick since Monday last week, which is the result of the accumulated burden of thoughts, feelings and energy over the last two months through mounting work and my relationship with a Subud sister that went like hell— from straight to a tangled thread!

Through the events of the past two months, I have been “invited” to get to know myself a lot, through “two-way” conversations with my jiwa. I often feel incredible amazement, mixed with fear, when I witness how God shows miracles through me. I felt His presence inside and outside me, covering my whole life, and at the same time it was shown to me that I had no abilities whatsoever—everything are only driven by God’s power!

Various solutions to the problems I have faced in the past two months have come from His guidance, and always seem crazy, very genius, very out-of-the-box, which I could not have done if I only relied on my mind.

I witnessed how God moved me and the people involved in this two-month dynamic like a chess player moving pieces on a chess board. God always places my piece one or more steps ahead.

Every time I do Latihan in Pamulang, there is an intense connection with Bapak’s jiwa. I received a lot there, yet sometimes I wasn’t strong enough physically or mentally, which made me sick for a day or two.©2023

 

Pondok Cabe, South Tangerang, 19 September 2023

Ketersambungan Otak dan Jiwa

KETIKA pada 3 September 2023 lalu digelar rekonsiliasi antara saya dan satu saudari Subud dari Cabang Jakarta Selatan, yang merasa terganggu dengan perkataan dan perbuatan saya terhadap dirinya, di gazebo di halaman rumah seorang anggota Subud di kompleks Witana Harja, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, saya menyodorkan kepadanya satu keheranan saya.

Saudari Subud ini tergolong baru, belum genap dua tahun sejak dibuka pada tahun 2021. Sebelum kami berkonflik, sempat terungkap bahwa ia ternyata alumnus dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), yang juga merupakan almamater saya (ketika namanya masih Fakultas Sastra UI atau FSUI), hanya beda angkatan; angkatan saya 25 tahun mendahului angkatannya. Kesamaan almamater membuat saya memiliki anggapan bahwa kualitas kepribadian intelektual kami pun sama, atau paling tidak setara dalam cara pandang kami terhadap suatu masalah.

Setelah menjelaskan duduk perkara sebenarnya dan saya meminta maaf dengan tulus, walaupun saya tidak tahu salah saya apa (dia hanya mempermasalahkan aksi saya pasca nomor WhatsApp saya dia remove, yang dia anggap keterlaluan, dan dia merasa terganggu dengan pesan-pesan WhatsApp saya yang saya sampaikan ke dia via seorang saudara Subud), saya ungkapkan satu hal yang tiba-tiba melintas di pikiran saya: “Kamu kan alumnus UI seperti saya. Kenapa sikap dan tindakan kamu dalam menyelesaikan masalah ini tidak mencerminkan seorang lulusan UI?”

Pada titik itu, dia terdiam, tidak mampu menjawab.

Dalam kesempatan gathering kejiwaan siang hari di kamar No. 1309 dari hotel di Taman Bukit Palem Resort, Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang saya tempati bersama tiga peserta Musyawarah Wilayah III PPK Subud DKI Jakarta lainnya, 16 September 2023, saya ungkapkan keheranan saya itu dengan satu pertanyaan: Apakah intelektualitas otak tidak menjamin kita, anggota Subud, memiliki kecerdasan jiwa yang mumpuni?

Kami berlima di kamar yang diperuntukkan buat empat peserta Muswil III itu; satu saudara berasal dari kamar sebelah, tetapi dia nyaman berdiskusi bersama kami berempat di 1309, karena kami berlima biasa nongkrong bareng di Teras Timur Hall Latihan Cilandak. Satu saudara sejiwa itu kebetulan yunior saya di UI, berasal dari program studi (prodi) Sejarah FIB UI, prodi yang sama dengan saya, tetapi angkatannya 17 tahun di bawah angkatan saya. Dialah yang memberi saya jawaban atas keheranan berbuah pertanyaan itu.

Menurut Yuda (bukan nama sebenarnya), otaknya (dia merujuk pada saudari Subud itu) boleh pintar, tapi belum ada ketersambungan dengan jiwanya. Intelektualitasnya belum ada rasa, belum berkontak dengan bimbingan kekuasaan Tuhan. “Dia masih menggunakan logika dalam memandang masalah, sementara masalah yang menimpa dia merupakan ekspresi dari Latihannya. Makanya, menurut saya, itulah sebabnya Mas Arifin bisa tenang dan rileks saja, sedangkan dia kacau. Yaa, Mas Arifin sudah 20 tahun Latihan, dia baru dua tahun, njomplanglah,” ujar Yuda, yang Desember 2023 nanti genap sepuluh tahun di Subud.

Saya membatinkan “Eureka!” saat mendengar pendapat Yuda tersebut, lantas saya melakukan perenungan yang retrospektif, ke masa ketika saya baru dibuka. Saat itu, saya pun mirip saudari Subud tersebut: Mudah naik darah, mudah baper atau tersinggung, dan mudah sekali menghakimi orang lain sebagai buruk, hanya karena saya tidak berkenan dengan perkataan atau perbuatan seseorang. Dan saya niteni di kemudian hari, memang pada saat itu otak saya belum menyambung dengan jiwa saya, belum sinkron.

Dengan kesadaran ini, saya memang sebaiknya tidak meremehkan saudari Subud tersebut, karena ia sedang berproses menuju ketersambungan itu, cepat atau lambat. Sedari awal konflik kami mengemuka, memang tak berkurang sedikit pun rasa sayang saya padanya, meski pada saat yang sama tak berkurang rasa tidak sukanya pada saya.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 September 2023

Thursday, September 7, 2023

Berakhirnya Prinsip

SATU hal yang saya tandai dari keberadaan saya di Subud selama 20 tahun terakhir ini adalah lunturnya berbagai prinsip yang pernah dengan teguh saya pegang. Bagi saya, Subud adalah perjalanan transformatif, sebuah proses berkelanjutan yang mengubah diri saya secara jiwa dan raga dari keadaan yang sebelumnya menjadi baru dan lebih baik. Dengan demikian, tak mungkin prinsip-prinsip yang sudah usang, yang tidak sesuai lagi dengan pola hidup saya, saya pertahankan.

Menurut apa yang saya alami, Latihan Kejiwaan menafikan prinsip. Seperti sifat Latihan itu sendiri, yang berubah-ubah setiap waktu, tak mungkin bagi kita untuk mempertahankan prinsip, seteguh apa pun kita (pernah) memegangnya. Menurut Wikipedia, prinsip adalah suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum maupun individual yang dijadikan oleh seseorang atau kelompok sebagai sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak.

Dahulu, saya amat takut pada keterlambatan. Mewarisi prinsip ibu saya bahwa terlambat datang ke suatu acara merupakan suatu kesalahan besar atau dosa, karena merugikan orang lain, saya menjadi amat takut bila saya berisiko atau benar-benar terlambat datang ke suatu acara atau kegiatan berjadwal. Tepat waktu menurut jam yang telah ditetapkan bersama memang baik dan merupakan sikap yang disiplin. Tetapi bila hal itu membuat kita mudah stres dan tidak produktif, alangkah bijaksananya untuk mulai bersikap luwes. Bukan berarti kita menafikan kedisiplinan, melainkan belajar untuk tidak kaku yang malah merugikan kita sendiri secara psikologis. Dan seringnya saya merasa tertekan bukan karena saya melanggar prinsip saya untuk selalu tepat waktu, melainkan karena saya menentang dengan keras dan kaku orang-orang yang tidak tepat waktu.

Prinsip seseorang dalam hidup pasti berbeda-beda dari orang lain. Hal tersebut kerap menimpulkan perbedaan pendapat dan riak-riak kecil. Maka dari itu, perlu solusi dan cara jitu agar menyelaraskan prinsip yang berbeda tersebut. Jika konsep orang lain tak sesuai dengan prinsip kita, perlu dihormati dan menjaga sikap saling menghargai. Itulah perlunya kita luwes dalam berprinsip.

Mengapa kita harus luwes dalam menyikapi prinsip-prinsip yang kita anut? Karena, kita hidup di dunia yang heterogen, di mana setiap individu menganut prinsip-prinsip hidup yang sudah pasti berbeda dengan yang kita miliki. Bila kita tidak mau bersikap luwes, sudah pasti keseimbangan dalam kehidupan sosial kita akan terganggu. Kecuali Anda tipe orang yang egois, yang merasa bisa hidup tanpa memerlukan kehadiran orang lain.

Prinsip hidup adalah nilai-nilai yang menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai ini dapat membantu seseorang untuk mengambil keputusan yang tepat, menyelesaikan masalah, dan mencapai tujuan hidupnya. Pengalaman hidup saya setelah menerima Latihan Kejiwaan menunjukkan bahwa prinsip hidup akan berubah seiring perubahan pola pikir dan pengalaman hidup. Hal ini akhirnya menyadarkan saya untuk bersikap luwes bahkan terhadap diri sendiri.

Kehidupan mengajarkan saya bahwa prinsip hidup itu sederhana: Lepaskan jika memang harus dilepaskan. Pertahankan jika memang layak untuk diperjuangkan. Dan Subud menandai berakhirnya keteguhan saya pada prinsip-prinsip saya, kecuali satu: Selalu berserah diri pada perubahan apa pun yang Tuhan kehendaki.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 8 September 2023

Tuesday, September 5, 2023

Tell Her

I wanted to tell you all of my secrets, but you ended up becoming one of them...

 

O God, tell her I am sorry

Tell her, I truly love her

Tell her, I didn’t mean to hurt her

This feeling torments me

I say her name night and day in the shadow of my soul,

and no other eye sees it

I just want to tell her myself, if You allow me

 

I truly love her and I am sorry

How can I make things right for her?

I can’t get rid of this feeling,

because You willed it

No matter how hard I try to fight this feeling,

its existence is stronger than me

So God, act for me in telling her

Tell her I am sorry, I cannot stop loving her...©2023

 

Pondok Cabe, South Tangerang, 6 September 2023

Monday, September 4, 2023

Tempat Jin Buang Anak Itu Genap Berusia 36 Tahun

 


TIGAPULUH enam tahun lalu, kaki saya menginjak tanah merah di lokasi yang waktu itu lebih tepat disebut tempat jin buang anak. Sebagai mahasiswa baru Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia atau FSUI (tahun 2002 berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI atau FIB UI), hasil penerimaan melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) tahun 1987.

Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok waktu itu masih cukup gersang, dengan pepohonan karet tua yang tersebar tidak merata, dikelilingi padang rumput ilalang. “Jalan Tikus”, jalan setapak yang menghubungkan jalan raya di depan Stasiun UI dengan jalan raya di depan kompleks bangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI yang bersisian dengan jalan menuju FSUI, rutin saya lalui. Jalan Tikus diapit ilalang yang lebih tinggi dari badan saya. Saat Kampus UI Depok baru diresmikan, pada 5 September 1987, jalan itu masih dilengkapi lampu-lampu taman yang memberi kenyamanan ketika kami melaluinya malam hari. Tetapi keberadaan lampu-lampu itu tidak bertahan lama; tangan-tangan iseng telah mencabut nyawanya.

Sebagai mahasiswa baru FSUI Angkatan 1987, saya dan rekan-rekan seangkatan lainnya mengikuti Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) yang dalam rangka itu kami diwajibkan membawa bibit tanaman untuk penghijauan kawasan FSUI yang masih tandus kala itu. Saya membawa bibit pohon jambu biji. Entah sekarang sudah setinggi apa pohonnya.

Bangunan-bangunan sarana perkuliahan di lingkungan FSUI saat itu masih ber-AC alam, dengan ventilasi lebar, yang cukup memberi kesejukan seperti halnya AC mesin. Mungkin karena daerah Depok saat itu masih bernuansa pedesaan yang belum ramai penduduknya dan belum ada bangunan tinggi seperti saat ini. Predikat bangunan tertinggi di Depok saat itu masih dipegang oleh gedung Rektorat UI, yang oleh mahasiswa FSUI dijuluki “Columbia” lantaran bentuknya menyerupai pesawat ulang alik NASA dengan nama itu.

Karena kampus baru dan berlokasi di kawasan bekas hutan karet (secara historis, merupakan perkebunan karet yang terbentang dari Mampang di Depok, hingga batas selatan kawasan Menteng di Jakarta Pusat, yang menyediakan bahan baku untuk pabrik sepatu Bata di Kalibata, Jakarta Selatan), tak pelak lagi legenda urban (urban legend) pun merebak santer di antara para mahasiswa. Entah siapa yang menyebarkan ceritanya pertama kali, tapi saudari Subud saya yang alumnus Arkeologi FIB UI Angkatan 2012 menanyakan saya beberapa bulan lalu, “Apakah zaman Mas Arifin di UI sudah ada si Setan Merah?”

Saya mendapat detail di balik legenda hantu perempuan bergaun merah itu dari Babeh, bapak tua Betawi yang membuka warung nasi mungil di ujung Gang Stasiun UI (sekarang Jalan Sawo), di luar pagar besi bercat kuning setelah rel KRL Jakarta-Bogor, yang merupakan tanda batas Kampus UI Depok. Gang Stasiun UI bermuara di timur ke Jl. Raya Margonda. Warung nasi Babeh bertetangga dengan tempat saya kos selama 1992-1993.

Alkisah, demikian Babeh bertutur, perempuan itu adalah warga Kukusan, Depok, yang ketika pulang dari pasar malam di tempat yang sekarang berada di dalam Kampus UI Depok, mengalami pemerkosaan dan kemudian dibunuh. Ketika mengalami kejadian tragis itu, si perempuan mengenakan gaun merah. Arwahnya pun bergentayangan, sebagai Hantu Bergaun Merah di lingkungan Anak-anak Jin Berjaket Kuning.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 September 2023