Tuesday, January 30, 2024

Siksaan Mental Menuju Ketenteraman

ADA satu kata slang Bahasa Indonesia yang tren sekitar sepuluh tahun belakangan. Dipopulerkan oleh kaum Milenial Indonesia, “baper” adalah akronim dari “terbawa perasaan”. Bila Anda diledek lantas Anda langsung terbakar amarah, itu artinya Anda “baper”. Begitu pula bila lawan jenis memberi perhatian dan Anda merasa dia tertarik pada Anda, itu juga dibilang “baper”.

Kata “baper” populer di kalangan anggota Subud Indonesia dewasa ini sebagai tolok ukur bahwa Latihan seseorang sudah atau belum “sesuai tujuannya”. Terutama di grup-grup WhatsApp, dimana para anggota sering kelewat batas dalam merisak (bullying) anggota lainnya, seseorang akan diserang sedemikian rupa untuk menguji batas daya tahannya sampai menyerah karena “baper”.

Barusan ini, sayalah yang dirisak seorang anggota muda yang baru tujuh tahun di Subud. Dia mengungkit semua kesalahan saya di masa lalu dan perilaku saya yang dipandang buruk, dia beberkan di sebuah grup WhatsApp, yang berarti bahwa saya dipermalukan di depan umum. Ego saya menyuruh saya untuk menghapus pesan-pesan bernada kasar itu, tetapi jiwa saya mencegah. “Tidak usah kamu hapus, tapi bacalah dan rasakan bagaimana kata-kata tertulis mempengaruhi rasa dirimu,” kata suara jiwa saya.

Memang sungguh menyakitkan, tetapi rupanya hal itu mengasah kepekaan rasa diri saya, sehingga saya lalui “siksaan mental” itu dengan sabar, tawakal dan ikhlas, sampai saya dapat merasakan bagaimana daya rendah itu luruh dari eksistensi saya. Rasanya persis seperti air kotor yang merembes keluar dari sebuah wadah.

Setelah itu, suara jiwa saya berkata, “Sekarang, kamu iyakan saja semua hal buruk yang dia tuliskan tentang dirimu. Ucapkan terima kasih. Tidak usah membalasnya dengan hal serupa. Dia hanya butuh sansak untuk menyalurkan amarahnya, dan Tuhan kamu kalau kamu kuat. Jangan khawatir, setelah ini kamu akan makin kuat sekaligus makin tenteram.”

Saya lakukan persis apa yang diperintahkan oleh jiwa saya. Perasaan saya memang menjadi lebih tenteram dan nyaman. Puji Tuhan.©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 30 Januari 2024

Thursday, January 25, 2024

Itu Saja


TIGA minggu lalu, saya mengobrol dengan satu pembantu pelatih dan satu anggota Subud Cabang Jakarta Selatan di teras timur Hall Latihan Cilandak, tentang bimbingan Tuhan yang kadang tidak jelas arah atau maksudnya.

Seperti contohnya saya, tidak ada rencana apapun kok tiba-tiba terdorong untuk mengendarai sepeda motor saya ke Wisma Subud Bogor, 33 km dari tempat tinggal saya. Sampai di sana, ketemu saudara-saudara Subud, ngopi-ngopi, merokok, Latihan bersama, lalu pulang. Itu saja.

Si pembantu pelatih bilang, “Tapi kamu merasa bahagia, kan?”

“Iya, Pak, saya merasa bahagia. Saya bernyanyi sepanjang perjalanan, 33 kilo kali dua, meski kadang kehujanan, kadang kepanasan dan macet di pasar Parung,” kata saya.

“Ya, karena Tuhan hanya ingin kamu bahagia. Itu saja. Nggak penting yang lain-lainnya,” pungkas si pembantu pelatih, yang seorang warga negara Amerika dan sudah tinggal di Indonesia sejak akhir 1960an.

Masuk akal, pikir saya. Makanya, ketika usai menjemput Nuansa ke sekolahnya pagi ini saya merasa ingin sekali makan pecel, saya tidak berpikir panjang lagi. Tuhan ingin saya bahagia dengan makan pecel, itu saja.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 26 Januari 2024

Monday, January 22, 2024

Cara Tuhan Untuk Mengajari

BARU-baru ini, seorang sahabat, rekan alumni Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia Angkatan 1987, yang kerap dilanda depresi, memposting yang berikut ini di linimasa Facebooknya:

Saya terinspirasi oleh postingannya, dan segera teringat pada suatu pengalaman pribadi saya.

Ada satu saudara Subud Cabang Jakarta Selatan yang mengalami gejala bipolar dan skizofrenia pasca ibunya wafat. Dia menyadari penyakitnya tersebut, tetapi alih-alih mengatasinya melalui penanganan psikologis dan medis—yang belum ada di Subud, dia tetap bersikeras untuk melakukan Latihan bersama seminggu dua kali di Hall Cilandak. Akibatnya, secara tidak sadar dia telah me-mixing Latihan dengan halusinasinya, yang menyebabkan ia tak malu mengekspresikan pengalaman delusionalnya ke publik.

Sejak mengenal saya tahun 2023 lalu (karena keisengan saya mengerjai dia di Facebook), dia malah maunya dekat dengan saya. Awalnya merasa risih, lama kelamaan saya memaknainya sebagai: “Oh, Tuhan sedang mengajari saya untuk bersabar.”

Dan ketika saya bersabar menghadapi saudara ini, perlahan-lahan dia pun mampu mengendalikan dirinya. Saya lantas teringat pada para pembantu pelatih di cabang asal saya, Surabaya, dimana mereka selalu berdiam diri dalam sabar dan ikhlas ketika melayani anggota yang sedang kacau sekalipun. Kebisuan para PP itu—dan bukannya berisik memberi nasihat atau perintah—selalu berhasil meredam kekacauan pikiran para anggota yang resah dengan segala masalah yang menimpa mereka.

Pengalaman ini lantas memberi saya kepahaman tentang hakikat dari ucapan “Al Fatihah untuk almarhum” seperti yang tren di kolom komentar di media sosial jika ada teman/kerabat kita yang sedang berduka atas kepergian anggota keluarganya. Jadi, Al Fatihah itu sejatinya ditujukan kepada yang berduka, bukan kepada yang meninggal. Ayat-ayat di dalam surat pertama Al Qur’an itu sebenarnya, jika dibaca, memberitahu kita bahwa di balik semua peristiwa ada Dia Yang Maha Mengatur, dan Tuhanlah sebaik-baik pemberi pertolongan.        

Moral of the story: Kita seyogyanya memeriksa diri sendiri jika menghadapi atau menyaksikan suatu peristiwa atau perilaku orang lain, alih-alih menyudutkan atau menyalahkan peristiwa atau orang tersebut. Bisa jadi, itu cara Tuhan untuk mengajari kita sintas dalam hidup ini.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 23 Januari 2024

Sunday, January 21, 2024

Mendapatkan Apa yang Dipikirkan

MINGGU pagi hingga siang, 21 Januari 2024, saya bersama enam rekan alumni Jurusan Sejarah Fakultas Sastra (kini bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia melakukan reuni kecil dengan mengunjungi dosen kami, yang kini berusia 85 tahun dan menderita dementia. Beliau tinggal di Perumnas Depok Utara, Beji, Depok, Jawa Barat.

Saat kami secara bergiliran bersalaman dengan sang dosen, kami harus menyebutkan nama berulang kali, karena beliau sudah lupa. Giliran saya menyalami beliau, barulah beliau berkata, “Ya, saya ingat kamu! Kamu tidak berubah ya, masih sama seperti dulu ya ketika saya masih mengajar.”


Saya berkata dalam hati, “Ini pasti karena Subud.”

Saat mengobrol dengan si dosen dan keenam rekan alumni lainnya, saya tiba-tiba teringat pada satu yunior kami, Hartadi Hamim namanya. Saya cukup akrab dengan Hartadi ketika kami masih kuliah dulu, dan saya tidak pernah bertemu dia lagi pasca reuni tahun 2009.

Setelah meninggalkan rumah si dosen, kami pergi makan siang di sebuah restoran. Saat menunggu kelima rekan saya (mereka naik mobil, sedangkan saya dan satu orang, Jaja namanya, naik sepeda motor) di pinggir jalan menuju restoran tersebut, seseorang menghampiri saya sambil mengulurkan tangan kanannya untuk menyalami saya. Dia berkata, “Masih ingat saya?”

Saya terkejut. Dia adalah Hartadi, yang sebelumnya, di rumah dosen saya, mengisi ingatan saya. Pengalaman ini saya ceritakan kepada rekan-rekan saya ketika kami menyantap makan siang di restoran.

Kiri ke kanan: Jaja, saya, dan Hartadi wefie di pinggir Jl. Nusantara, Beji, Depok.

Saat berada di restoran tersebut, sol sandal di kaki kiri saya lepas. Tanpa sandal tersebut, tidak mungkin saya bisa mengendarai sepeda motor saya yang berkopling kaki. Saya meminta lem kepada pemilik restoran tetapi dia tidak memilikinya. Dengan sebelah kaki tidak bersandal, saya berjalan keluar restoran dan ajaibnya, saya menemukan kios perbaikan alas kaki tepat di sebelah restoran. Saya pun ke situ dan dalam kurang dari 15 menit sandal saya sudah diperbaiki solnya. Rekan-rekan saya, yang menyaksikan itu, berkomentar, “Kok bisa pas ya? Lu dua kali berturut-turut mendapatkan apa yang lu pikirkan.”

Dengan bercanda, saya menjawab, “Itu karena gue Subud. Apa pun yang gue pikirkan, selain uang, selalu menjadi kenyataan. Karena itu, gue nggak pernah lagi memikirkan keburukan atau hal-hal yang negatif. Gue takut semua itu menjadi kenyataan.”©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 21 Januari 2024

Wednesday, January 17, 2024

From Back to Front

 


ARRIVING early at Wisma Bharata Pamulang this evening, I walked along the overhang on the south side of the Pendopo (pavilion) which is used for group Latihans every Wednesdays and Saturdays. I walked to what I previously thought was the back. There is a Subud symbol on the roof of the “back” verandah, while there is none on the “front” which is connected to the corridor leading to Bapak’s house.

So it’s true, the “back” (so I thought all this time) is actually the “front” of the Pendopo. Some of the members I informed, especially those who did not understand Javanese culture, were also surprised by this fact. It turns out, just like me, they thought they were entering and leaving the Pendopo through the “front door”, though it was actually the back door.

In Javanese tradition, a Pendopo is always located in front of a house, for it functions as a place to receive guests. Most government office buildings in Central Java, Yogyakarta and East Java today maintain this tradition; there is always a pavilion in the front yard to receive guests or to hold small-scale events.

Seen via Google Maps, Bapak’s house and the Pendopo face west, which according to several senior helpers and members Bapak did on purpose with the intention of facing in the direction of the Kaaba (qibla).©2024

 

Pondok Cabe, South Tangerang, January 17, 2024


Monday, January 15, 2024

30 Tahun yang Lalu

DIINGATKAN oleh Facebook, tanggal 16 Januari 30 tahun yang lalu, saya pertama kali bertemu muka langsung dengan pemilik nama Erna Ratnaningsih atau Nana Robert, di kediaman orang tuanya di kompleks TNI AL, Jl. Ikan Mungsing VI, Surabaya, Jawa Timur.

Pada 15 Januari 1994, bertepatan dengan Hari Dharma Samudra, saya dan yunior saya di Jurusan SejarahFakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI), Didik Pradjoko (sekarang bergelar doktor dan menjadi dosen di almamaternya), meluncur naik KA Gaya Baru Malam Utara dari Stasiun Pasarsenen dengan tujuan Stasiun Surabaya Pasarturi. Hari itu, pertama kalinya saya ke Surabaya, bahkan ke Jawa Timur. Karena tidak punya famili dan bingung mau menginap di mana, saya sempat menanyakan satu per satu teman saya di Jurusan Sejarah FSUI, siapa kiranya yang asal Surabaya. Tersebutlah Didik, Sejarah angkatan 1988, yang arek Pacarkeling.

Maka, begitu sampai di Surabaya pada 16 Januari pagi, saya menginap di rumah sepupunya Didik di Jojoran. Saking sudah ngebetnya ingin bertemu dengan gadis pujaan, saya mendesak Didik untuk ke rumahnya pada sore harinya.

Pertama-tama, kami ke rumah orang tuanya Yola (Josephien Jolanda) di Jl. Bhaskara Sari, Mulyorejo, Surabaya. Yola adalah sahabat pena saya, melalui dialah saya berkenalan dengan Nana yang kemudian menjadi sahabat pena juga. Mereka sekampus, kuliah di Jurusan Humas, Universitas Dr. Soetomo (Unitomo), Surabaya. Hingga saya menginjakkan kaki di Kota Pahlawan, saya dan Nana hanya berteman biasa, tapi di benak saya, saya sudah menyusun rencana untuk mengungkapkan isi hati.

Saya dan Didik mendapat info dari kakaknya Yola bahwa ia sedang bermain boling di Wijaya Shopping Centre (kini sudah tiada). Bertemu Yola di Wijaya, kami berempat (saya, Didik, Yola dan saudara kembarnya) lantas pergi ke kawasan yang terkenal dengan lokasi kampus Akademi Angkatan Laut (AAL) dan Komando Pendidikan TNI Angkatan Laut atau Kodikal (sekarang bernama Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan danLatihan TNI Angkatan Laut/Kodiklatal), Bumimoro, di Krembangan, Surabaya Utara, di mana rumah orang tuanya Nana berada.

Jantung saya berdebar tak karuan saat menanti Nana muncul di ruang tamu. Ia pun akhirnya muncul. Rambutnya masih lurus dan panjang hingga pinggang. Saya canggung menghadapi gadis cantik itu. Tapi akhirnya kami bisa mengobrol dengan leluasa.

Singkat cerita, kami resmi pacaran mulai 29 Januari 1994. Nana menjawab “ya” via telepon, karena setelah saya menyatakan isi hati pada 22 Januari dia minta waktu, sedangkan 23 Januari siang saya sudah meluncur balik ke Jakarta, menumpang KA Gaya Baru Malam Selatan.

Selama tiga tahun dan delapan bulan berpacaran secara long distance relationship (LDR) dengan Nana, KA Jayabaya Selatan menjadi kendaraan saya ngapel doi. Ketemuan 16 kali dalam tiga tahun dan delapan bulan. Ketika menikah, di dia ada 144 pucuk surat dari saya, sedangkan saya menerima 142 pucuk surat dari dia.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 16 Januari 2024

Saturday, January 13, 2024

Feodalisme dan Mental Inlander: Hambatan Komunikasi Masyarakat Indonesia

SAYA baru-baru ini mendapat permintaan bantuan dari Arsip WSA (WSA Archives) untuk mewawancarai para anggota senior Subud Indonesia dan menuliskan pengalaman mereka terkait Kongres Dunia 1971 di Cilandak. Proyek itu sudah berjalan sejak hampir enam bulan lalu, dan manajer proyeknya, Raquel Alcobia, dibantu Arsiparis WSA, Daniela Moneta, berupaya menghimpun kisah-kisah para anggota dari seluruh dunia. Mereka mengatakan bahwa para anggota asing itu sangat kolaboratif, sedangkan dari Indonesia tidak ada respons sama sekali.

Email dan WhatsApp sudah dikirim ke banyak anggota Indonesia, termasuk keluarga Bapak, untuk meminta kesediaan mereka diwawancarai (ketika Raquel sedang berada di Indonesia) dan dituliskan pengalaman mereka oleh tim Sejarah Subud. Namun, hingga tenggat waktu pertengahan Desember 2023 (karena mengejar registrasi Kongres Dunia Kalimantan 2024, pada 15 Januari 2024, dimana buku kompilasi kisah-kisah itu akan dibagikan sebagai cinderamata), tidak ada satu pun email dan pesan WhatsApp kepada anggota Indonesia yang dibalas.

Raquel dan Daniela pun bertanya ke saya: Apakah karena budaya atau pendidikan atau apa, yang menghalangi orang Indonesia berkomunikasi secara terbuka?

Saya tidak tahu jawaban pastinya, dan Raquel serta Daniela memahami ketidaktahuan saya, karena menurut mereka saya dibesarkan dalam dua budaya. Mereka memilih untuk meminta bantuan saya karena saya melewati masa kecil di Eropa, yang artinya saya menjiwai dua budaya, Timur dan Barat, sehingga tidak mengherankan bila saya bisa berkomunikasi secara terbuka, dengan pikiran yang terbuka, dan tulus, sebagaimana yang mereka amati pada postingan-postingan saya di grup Facebook “Subud Around the World” dan “For Subud Members Only”.

Untuk kelancaran pelaksanaan proyek Sejarah Subud di Indonesia, saya menggandeng para anggota Pemuda (Youth) Subud Komisariat Wilayah (Komwil) III DKI Jakarta dan IV Jawa Barat. Untuk itu, dibuatkan grup WhatsApp (WAG) dan saya minta tiap anggota WAG untuk berbagi update apa pun terkait pekerjaan ini, ada masalah apa dan bagaimana solusinya. Sama saja dengan yang tua-tua, yang muda-muda pun public shy, tidak pernah membagi update apa pun di WAG, dan bila ada masalah atau tidak mengerti, masing-masing menghubungi saya melalui jalur pribadi alias japri, dan bukannya di WAG.

Saya pun membagi penasaran saya kepada dua saudara Subud yang secara akademik bergelut dengan ilmu komunikasi. Saya meminta pendapat keduanya, menurut pengamatan masing-masing, mengapa ada hambatan-hambatan komunikasi seperti di atas? Paling tidak, saya bisa menjelaskan ke Raquel dan Daniela, apa halangan berkomunikasi (dan berkoordinasi) masyarakat Indonesia, sehingga lain kali mereka tahu apa yang harus dilakukan jika “berurusan” dengan orang Indonesia.

Saudara Subud #1, seorang anggota Cabang Jakarta Selatan yang kini bermukim di Amerika Serikat, mengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Florida dan baru diangkat menjadi pembantu pelatih untuk Grup Subud Gainesville pada November 2023 lalu, melalui WhatsApp pada 10 Januari 2024 menjawab pertanyaan saya, sebagai berikut:

“Hi, Mas [Arifin], terima kasih atas pertanyaannya yang mendetail. Dari disertasi saya, inilah salah satu temuan kunci dari masyarakat Indonesia: Ada kesan yang dalam bahasa Belanda disebut mental “Inlander” (pribumi atau warga asli), [yang] tidak menerima negara dan bangsanya sendiri. Ini terkait dengan rasa rendah diri akibat penjajahan selama berabad-abad. Ini merupakan trauma antargenerasi. Jadi, solusi yang diusulkan para responden adalah bahwa Indonesia harus memutuskan untuk menjadi lebih percaya diri, dan untuk berkomunikasi dengan lebih baik, dan lebih berani.

Keberanian berbicara dan berkomunikasi sangat dibutuhkan di Indonesia. Apalagi di kalangan yang berpengalaman sekalipun, ada satu lapisan budaya, yaitu pakewuh, atau sungkan. Nah, kebayang kan, yang percaya diri dan terdidik aja suka masih sungkan (karena takut dianggap sombong), tapi bayangkan yang rendah diri terus sungkan pula. Habis deh, mingkem semua!

Jadi, masyarakat Indonesia perlu lebih banyak lagi yang seperti Anda sebenarnya, lebih berani berkomunikasi dan tidak takut salah. Orang Indonesia suka kecil nyali karena takut salah, takut gagal, takut dibilang ini dan itu, padahal hajar saja, langsung tabrak lari. Toh Pak Subuh juga begitu. Bapak tidak perlu izin siapa pun. Bapak blak-blakan saja. Pak Subuh juga mau pengikutnya untuk punya sikap yang sama sebenarnya. Dan kita bisa. Kita hanya perlu berani, dan sedikit gila.”

Speak your mind even if your voice shakes.”

~Maggie Kuhn

Saudara Subud #2, seorang perempuan anggota Cabang Jakarta Selatan juga, yang berprofesi dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi di sebuah universitas swasta di Jakarta, yang pada Februari 2024 mendatang akan dikukuhkan sebagai guru besar, melalui WhatsApp pada 10 Januari 2024 menjawab pertanyaan saya, sebagai berikut:

“Menurut saya, ada beberapa hal yang memengaruhi ‘keengganan’ orang-orang Subud Indonesia (yang tua dan muda) dalam berkomunikasi. Antara lain, budaya di internal Subud yang cenderung masih ‘feodal’ dan menganggap penting senioritas.

Hal ini yang membuat para sesepuh ‘merasa’  mereka lebih tinggi dan penting sehingga kalau mau minta pendapat mereka, kita harus unggah-ungguh lebih dulu.

Sementara mereka yang muda, merasa kurang nyaman dan khawatir kalau pendapat mereka tidak sesuai dengan orang lain yang mungkin lebih senior dan khawatir disalahkan jika apa yang mereka sampaikan berbeda dengan yang lain. Hal ini juga tidak terlepas dari tidak biasanya berbeda pendapat di kalangan Subud.

Semua cenderung harus ‘seragam’, sehingga jika berbeda menjadi ‘aneh’. Sementara, hampir semua orang tidak mau dibilang ‘aneh’.

Hal ini yang membuat terjadinya communication apprehension (CA; ketakutan komunikasi) di kalangan anak-anak muda Subud. Untuk itu, mereka merasa lebih baik menghindar atau cuek sekalian.

Ini Mas, pendapat saya yaa.”

Dengan dua pendapat pakar ini, saya jadi memutuskan untuk bersabar menjalani peran menjembatani kesenjangan budaya yang menyebabkan komunikasi dan koordinasi sulit berkembang di Subud.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 13 Januari 2024

Tujuan Hidup

RASA memiliki tujuan berada di puncak piramida aktualisasi diri yang diciptakan oleh Abraham Maslow lebih dari 50 tahun yang lalu. Melalui penelitiannya, Dr. Maslow menemukan bahwa mereka yang merasa memiliki tujuan hidup memiliki kualitas tertinggi yang ditawarkan umat manusia.


Selama bertahun-tahun saya di Subud, topik inilah yang paling banyak ditanyakan orang dibandingkan topik lainnya. Orang berulang kali menanyakan pertanyaan seperti: Bagaimana cara menemukan tujuan saya? Apakah hal seperti itu benar-benar ada? Mengapa saya tidak tahu tujuan hidup saya? Bersikap terencana adalah hal yang dicapai oleh orang-orang yang paling mengaktualisasikan diri dalam perjalanan hidup mereka. Namun banyak orang yang tidak mempunyai tujuan hidup, dan bahkan mungkin ragu bahwa mereka mempunyai tujuan hidup.

Menanggapi pertanyaan “Apa yang harus saya lakukan dengan hidup saya?”, saya menyarankan bahwa hanya ada satu hal yang dapat saya lakukan dengan hal itu, karena saya datang ke hidup ini tanpa apa-apa dan saya akan pergi tanpa apa-apa: Anda dapat memberikannya.

Saya akan merasa sangat terberkati ketika saya menyerahkan hidup saya dengan mencintai sesama. Ketika saya mencintai sesama, planet ini, dan Tuhan, saya memiliki tujuan. Apa pun yang saya pilih, jika saya termotivasi untuk melayani orang lain dan pada saat yang sama tidak terikat pada hasilnya, saya akan merasakan bahwa saya telah mencapai tujuan hidup saya, terlepas dari berapa banyak kelimpahan yang mengalir kembali kepada saya.

Tindakan mencintai sesama adalah salah satu hal paling menggembirakan yang pernah saya alami. Saya merasakan kegembiraan menggugah semangat dan jiwa saya ketika saya berencana melakukan sesuatu untuk membuat orang lain merasa dicintai dan diperhatikan.

Namun ada hal penting di sini yang menurut saya sering diabaikan orang: Kita tidak dapat memberikan sesuatu yang tidak kita miliki dalam diri kita. Bagaimana kita bisa mencintai orang lain jika kita sendiri tidak mencintai diri kita sendiri?

Saya perlu menerima diri saya sendiri, menerima kepribadian saya dan bahkan ketidaksempurnaan saya, mengetahui bahwa meskipun saya tidak berada di tempat yang saya inginkan, saya membuat kemajuan. Tuhan ingin saya mencintai diri saya sendiri dan menikmati bagaimana Dia menciptakan saya!©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 13 Januari 2024

Friday, January 12, 2024

Gadis Kecil

Kulihat sosok gadis kecil pada dirimu

Ya, itulah sejatimu yang mungkin kamu tak tahu

Yang tampak hanya ketika melihatmu dengan nafsu

Ketika kupandang dengan rasa jiwa,

di mataku kamu berubah dewasa

Bukan salahmu, tapi aku

Aku yang seharusnya dewasa dalam mencinta...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 13 Januari 2024

Monday, January 8, 2024

Kejiwaan Tertinggi adalah Tertawa dan Bercanda

HARI Minggu subuh, 7 Januari 2024, saya terbangun dari tidur yang nyenyak. Karena baru bangun tidur, pikiran saya belum bekerja, tetapi saat itulah masuk di kepala saya suatu gagasan yang “terdengar” sangat jernih, “Kejiwaan tertinggi hanya tertawa dan bercanda!”

Saya duduk termangu-mangu di atas kasur, dan mencoba mencerna penerimaan dadakan itu, tetapi pikiran saya sedang malas berpikir. Sebaliknya, saya diajak mengembara ke berbagai pengalaman hidup yang lalu. Saya diingatkan pada cerita seorang pembantu pelatih sangat senior di Cilandak yang mengenang Bapak sebagai pribadi yang humoris, suka bercanda, yang membuat para pendengar beliau berkurang bahkan hilang ketegangan mereka, menjadi rileks dan akhirnya tenteram pikiran mereka. Sebuah ice-breaker yang sangat baik, yang karena itu selalu saya terapkan ketika melayani klien-klien saya.

Masih terus duduk di kasur, saya teringat pada pengalaman tahun 2006, ketika saya menjadi executive creative director di sebuah firma kehumasan. Ada dua anggota Subud yang bekerja di firma tersebut saat itu, yaitu saya dan general manager dari divisi integrated marketing communications. Seorang art director muda berkata ke saya pada saat istirahat makan siang, “Kalau gue mendengar tuturannya si A (si general manager) tentang Tuhan, kesan gue Tuhan itu serius. Tapi kalau mendengar lo, Mas, kesan gue Tuhan itu humoris.”

Saya tidak tahu, atau belum tahu, mengapa orang-orang memandang saya sebagai “pribadi yang tidak serius, suka bercanda dan jahil”. Saat saya tampil sebagai narasumber di sebuah acara televisi bertema sejarah, pada Oktober 2023 lalu, dengan predikat “pengamat militer”, sejumlah saudara dari Subud Indonesia kelak berkomentar via WhatsApp ke saya: “Saya nggak nyangka Mas Arifin bisa serius!”

Dalam melakoni pekerjaan saya sebagai konsultan branding dan copywriter tentu saya selalu berperilaku serius (tapi selalu diawali dengan menjadi standup comic sebagai ice-breaker). Namun, entah bagaimana dan mengapa, di lingkungan Subud saya selalu terdorong untuk bercanda dan jahil—suatu perilaku yang sering membuat anggota-anggota lain tiba-tiba merasa mendapat inspirasi atau tercerahkan oleh apa yang saya ucapkan, yang saya maksudkan sebagai candaan.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 8 Januari 2024

Friday, January 5, 2024

Latihan Membangun Hubungan

ADA satu saudara muda Subud Cabang Jakarta Selatan yang bercerita ke saya tentang bagaimana ia berupaya untuk mendapatkan pacar, tetapi dia tidak mampu mengatasi kegugupannya saat sedang berada di dekat wanita.

Saya mengalami sesuatu terkait kasus dia, tadi malam di Wisma Subud Cilandak. Saya mengalaminya mungkin karena memendam penasaran terhadap dirinya yang masih saja gugup menghadapi lawan jenis, betapapun dia aktif melakukan Latihan. Sejauh ini, tiap kali saya mempertanyakan sesuatu atau seseorang saya akan mendapatkan jawaban dalam bentuk pengertian langsung atau melalui suatu kejadian.

Tadi malam, usai Latihan, saya sedianya akan rapat dengan pengurus Pemuda (Youth) Subud Komisariat Wilayah III DKI Jakarta dan IV Jawa Barat di sekretariat SES Indonesia yang terletak di sebelah selatan Hall Latihan. Saya langsung ke sekretariat SES Indonesia. Di dalam bangunan sekretariat (yang merupakan bekas rumah Pak Prio Hartono), saya hanya menjumpai satu wanita muda yang merupakan anggota baru. Dia sedang bermain gitar ketika saya masuk. Saya bertanya kepadanya, di mana para anggota Youth lainnya. Dia bilang bahwa mereka masih di Hall Latihan.

Karena merasa sungkan dan malu, saya memilih untuk menunggu di teras bangunan sekretariat SES Indonesia, dan tidak ingin berada di ruangan dimana wanita muda itu berada. Tetapi jiwa saya kemudian menekan saya agar masuk dan berkomunikasi dengannya.

Saya pada dasarnya introvert sejak kecil; saya cenderung pendiam dan pemalu serta tidak suka berada di antara orang-orang dimana saya harus aktif berkomunikasi (suatu fakta yang aneh, karena selama 29 tahun terakhir saya melakoni profesi di industri komunikasi dan branding). Sejak dibuka dan aktif Latihan, kepribadian saya memang berubah, namun tidak 100 persen, dan seringnya karena didorong oleh Latihan saya.

Karena jiwa saya terus memaksa, akhirnya saya masuk ke ruangan dimana perempuan bergitar itu berada, dan duduk di hadapannya di meja rapat. Saat itu juga, saya merasakan Latihan saya bekerja. Tidak ada kegugupan, tidak ada rasa malu, atau rasa-rasa lainnya yang biasanya mencegah saya untuk berkomunikasi dengan orang lain, terutama dengan lawan jenis.

Dalam sekejap terjadilah komunikasi dua arah yang akrab, bahkan si wanita muda juga merasa leluasa untuk bercerita mengenai dirinya, cita-citanya, dan juga tidak menahan dirinya untuk bertanya banyak hal ke saya, seolah kami sudah lama saling mengenal.

Ketika anggota-anggota Youth lainnya bermunculan di sekretariat SES Indonesia, dia menyingkir ke ruangan lain, tapi dengan sopan dia minta permisi, dan menyatakan terima kasih atas obrolan kami yang mengasyikkan.

Berkat Latihan, hubungan yang sehat terbangun dan diperkuat.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 Januari 2024

Tuesday, January 2, 2024

Strategi Pendekatan Tidak Langsung


KETIKA tengah menulis skripsi—sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (seiring perubahan nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIB, gelar S1-nya pun jadi Sarjana Humaniora atau S.Hum.)—antara tahun 1992 hingga 1993, saya kerap menyambangi perpustakaan di Museum ABRI Satria Mandala, Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Kepala perpustakaannya waktu itu seorang perwira menengah TNI Angkatan Udara berpangkat Mayor.

Mengetahui bahwa saya menulis skripsi bertema sejarah militer (peperangan gerilya dan anti gerilya) yang terinspirasi oleh buku mahakarya Kapten (purnawirawan) Sir Basil Henry Liddell Hart, si Mayor menyatakan kekagumannya. “Bukunya sulit dimengerti. Saya di Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) dulu dapat ringkasannya. Hanya perwira tempur yang jenius, para ahli strategi hebat, yang bisa mengerti pemikiran Liddell Hart,” katanya.

Karena itu, si Mayor terperangah ketika saya mengungkapkan bahwa hingga saat itu saya sudah membacanya tiga kali. Terlebih-lebih saat saya menjabarkan secara panjang lebar teorinya tentang strategi “pendekatan tidak langsung” (indirect approach). “Anda seharusnya mengajar di Sesko atau Lemhanas,” kata si Mayor, memuji kefasihan saya dengan pemikiran-pemikiran pensiunan perwira pertama Angkatan Darat Inggris yang oleh John F. Kennedy dijuluki “seorang kapten yang didengar para jenderal” itu.

Sir Basil Henry Liddell Hart (31 Oktober 1895-29 Januari 1970), lebih dikenal sepanjang karirnya sebagai Kapten B. H. Liddell Hart, adalah seorang perwira pertama Angkatan Darat Inggris, sejarawan militer, dan ahli teori militer. Diberhentikan dengan hormat dari ketentaraan Inggris karena terluka dalam Pertempuran Somme (1 Juli-18 November 1916), Prancis, di Perang Dunia I, ia kemudian mendedikasikan diri untuk kajian strategi militer. Ia menulis serangkaian sejarah militer yang terbukti berpengaruh di kalangan ahli strategi. Dengan alasan bahwa serangan frontal pasti akan gagal dan menimbulkan banyak korban jiwa, sebagaimana kesaksiannya dalam Perang Dunia I, ia merekomendasikan “pendekatan tidak langsung” dan mengandalkan formasi lapis baja yang bergerak cepat.

Pendekatan tidak langsung adalah strategi militer yang dijelaskan dan dicatat oleh B. H. Liddell Hart setelah Perang Dunia Pertama. Pendekatan ini merupakan upaya untuk menemukan solusi terhadap masalah tingginya tingkat korban di zona konflik dengan tingginya rasio kekuatan terhadap ruang, seperti di Front Barat di mana Liddell Hart pernah bertugas. Strategi ini mengharuskan pasukan untuk maju ke lini yang paling sedikit perlawanannya.

Meskipun Liddell Hart awalnya mengembangkan teori tersebut untuk infanteri, kontaknya dengan Mayor Jenderal J. F. C. Fuller membantunya mengubah teorinya menjadi lebih mengarah pada tank atau peperangan mekanis (mechanized warfare). Pendekatan tidak langsung akan menjadi faktor utama dalam perkembangan Blitzkrieg—perang kilat Jerman Nazi di Polandia, 1 September 1939, yang diarsiteki Jenderal Heinz Guderian.

Seringkali disalahpahami, pendekatan tidak langsung bukanlah pendekatan yang menentang pertempuran langsung; teori ini masih didasarkan pada idealisme Carl von Clausewitz tentang pertempuran langsung dan penghancuran kekuatan musuh dengan senjata. Kenyataannya, teori ini merupakan upaya untuk menciptakan doktrin remobilisasi peperangan setelah kebuntuan strategis yang memakan banyak korban akibat Perang Dunia Pertama.


Ditanya oleh satu anggota muda Subud Indonesia baru-baru ini—yang karena penasaran juga ingin meminjam buku Strategy-nya Liddell Hart milik saya, apakah strategi pendekatan tidak langsung bisa diterapkan dalam pemasaran dan bisnis, saya menjawab, “Kamu bahkan bisa memakainya untuk menggaet cewek.”©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 3 Januari 2024

Penularan Secara Kejiwaan

PADA 26 Desember 2023 lalu, putri saya yang berusia tujuh tahun dibawa istri saya ke instalasi gawat darurat RS Mayapada Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Pasangan suami-istri yang tinggal bertetangga dengan kami mengantar istri dan putri saya dengan mobil mereka, karena saya tergeletak sakit pula, akibat diare, di rumah, yang membuat saya begitu lemah, tak mampu bergerak.

Saya melakukan Latihan di kamar saya dan menerima bahwa sakitnya putri saya disebabkan oleh “penularan secara kejiwaan”. Saya tersentak, teringat oleh saya bahwa sehari sebelumnya putri saya memberi perhatian luar biasa kepada saya yang terbaring lemah. Tanpa sepengetahuan saya, ia sampai menangis sedih dan mencurahkan kepada istri saya betapa ia begitu mencemaskan saya.

Merupakan hal yang alami jika anak-anak memperhatikan orang tua mereka, tetapi di ranah kejiwaan hal itu sebenarnya “cukup berbahaya”. Anak-anak kecil memiliki jiwa yang masih suci, dan karena itu dapat dengan mudah menyerap energi di sekitarnya, terutama dari orang tuanya. Ini seperti kita, orang dewasa, yang dalam proses Latihan yang telah berlangsung lama, menjadikan kita seperti anak kecil—memiliki jiwa yang suci dan membuat kepekaan rasa kita menjadi kuat dan tajam.

Hari ini, 2 Januari 2024, saat saya, putri saya dan istri saya bercengkerama di ruang tamu rumah kami, saya lontarkan kepada istri saya mengenai penerimaan saya dalam Latihan pada 26 Desember 2023 bahwa kemungkinan besar Nuansa (putri saya) menjadi sakit karena menyerap energi saya. Ternyata istri saya, yang juga anggota Subud, menerima pengertian yang sama ketika menemani anak kami di rumah sakit.

Dan saya kemudian teringat pengalaman pada 29 September 2023 lalu, dimana putri saya dirawat di rumah sakit karena demam tinggi dan sempat mengalami kejang. Dalam keadaan diri yang cemas, saya memohon kepada Tuhan agar penyakit putri saya dipindahkan saja ke saya, dan itulah yang menjadi kenyataan: Ketika sampai di rumah, saya mengalami demam tinggi sampai mengigau, dan beberapa jam kemudian istri saya mengabari via WhatsApp bahwa pada saat yang hampir bersamaan demam putri saya menurun! Dengan bercanda, istri saya mengatakan, ketika kami mengobrol pada 2 Januari ini, “Bodoh sekali kamu mintanya itu. Kalau aku, aku berdoa minta diberi kekuatan agar bisa menjaga Nuansa dengan sebaik-baiknya. Makanya aku tetap kuat selama menjagai dia di rumah sakit.”

Bagaimanapun, pengalaman ini membuat saya bersyukur, karena memberi bukti bahwa Latihan memperkuat konektivitas kita dengan keluarga kita (maupun siapapun dalam pergaulan sosial kita) dalam suatu keharmonisan yang teguh. Itu membuat saya, istri saya dan putri saya serasa sebagai entitas tunggal.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 2 Januari 2024