Sunday, November 23, 2008

Pendekatan Terbaik untuk Mengenal Tuhan (?)

Beberapa bulan lalu, saya mendapat pengalaman menjadi atheis (put myself in the atheist's shoes), yang kemudian membuat saya berpikir, barangkali atheisme bisa menjadi alternatif untuk (malah) mengenal Tuhan. Pengalaman saya berawal dari sebuah buku.

"Jika buku ini berfungsi sesuai dengan maksud saya, para pembaca yang relijius yang membuka buku ini akan menjadi atheis ketika menutupnya," tulis Richard Dawkins, Ph.D. dalam kata pengantar bukunya (hlm. 28) yang menjadi "Surprise Bestseller of 2006", The God Delusion (London: Transworld Publishers, Cetakan ke-2, 2007; 463 hlm., termasuk lampiran, catatan belakang dan indeks). Dawkins mengakui bahwa pernyataannya itu merupakan prakiraan yang terlalu optimistik mengingat bahwa orang-orang yang fanatik dalam beragama biasanya kebal terhadap argumen, karena mereka memiliki mekanisme pertahanan yang dibangun selama bertahun-tahun melalui indoktrinasi sejak usia dini, menggunakan metode yang memakan waktu berabad-abad untuk menjadi matang.

Untungnya, Dawkins mengutarakan hal itu pada kata pengantar bukunya, sehingga saya pun dapat memperkuat kuda-kuda sebelum meneruskan membaca The God Delusion -- yang menurut saya lebih mengguncang iman daripada The Davinci Code-nya Dan Brown. Lagipula, buku yang tersebut pertama adalah literatur non-fiksi yang mengetengahkan data-data yang akurat.

Karena Dawkins mengasumsikan bahwa para pembaca yang relijius akan menjadi atheis ketika selesai membaca The God Delusion, saya tantang Charles Simonyi Professor for the Public Understanding of Science di Universitas Oxford ini dengan pola yang terbalik: saya menjadi atheis dulu saat akan membaca The God Delusion; semakin mendekati akhir dari buku tersebut, saya malah menjadi kian percaya dan yakin akan kekuasaan Tuhan!

Pasti Anda bertanya-tanya bagaimana seseorang yang telah sejak lahir memeluk agama Islam seperti saya dapat menggelontor keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sedemikian rupa demi sebuah buku yang dihujat (juga dipuji, lho) kalangan beragama di seluruh dunia? Sebelum lanjut, patut diperhatikan pernyataan saya di atas: 'sejak lahir memeluk agama Islam'; Dawkins mengecam keras sebutan 'anak Muslim', 'anak Kristen', 'anak Yahudi', dan lain-lain, karena dunia anak adalah dunia yang masih suci dari campur tangan orang dewasa. Dawkins mengusulkan istilah 'anak dari orangtua yang beragama Islam' dan lain-lain. Saya menerapkan esensi dari Latihan Kejiwaan Subud, yaitu 'mengosongkan diri' dari segala sesuatu yang bersifat material. Material di sini tidak melulu berujud; bisa juga niskala (subtle), seperti bentukan pikiran (artefak). Dalam konteks ini, saya mampu 'mengusir' Tuhan dari pikiran saya. Lho kok? Lha, iyalah! Tuhan yang ada dalam pikiran kita bukanlah Tuhan yang sejati, melainkan Tuhan meme, Tuhan rekaan virus akalbudi. Tuhan sejati malah tidak terjangkau oleh akal kita. Ia adalah suatu spirit Yang Maha Kuasa dan tidak dapat dibatasi oleh materi. Jadi, saya menjadi atheis dalam pengertian tidak bertuhan yang meme (memetic god)!

Richard Brodie dalam bukunya, Virus of the Mind (1996; sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Awas! Virus Akalbudi Ganas, diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2005), mendefiniskan meme sebagai "pemikiran, kepercayaan, atau sikap yang tersimpan di akalbudi kita yang bisa menyebar dari dan ke akalbudi orang lain." Meme meresap ke dalam akalbudi tanpa seizin kita. Meme menjadi bagian pemrograman mental kita dan memengaruhi kehidupan kita bahkan tanpa kita sadari. Media massa, utamanya televisi, dan periklanan diajukan Brodie sebagai 'pencipta meme terdahsyat'.

Sadar atau tidak, Tuhan yang kita hamba selama ini sering kita perosokkan menjadi sekadar bentukan pikiran sekehendak kita (seenak perut kita). Pada kalangan umat beragama sendiri, kemahaluasan Tuhan acap diberi batasan ruang dan waktu. Ia dibatasi oleh 'jalan' dan simbol. Dan kita pun menyembah materi yang berupa simbol-simbol. Simbol merupakan materi, sedangkan Tuhan (yang bukan meme) tidak dapat dibatasi dengan materi!

Yang membuat saya dahulu sempat menyingkir dari jalan menuju Tuhan adalah pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang tidak saya temukan jawabannya saat itu: Apakah Tuhan berdomisili di Arab, berbahasa Arab sehingga tidak bisa menjawab doa yang tidak dilantunkan dalam bahasa Arab, dan berbudaya gurun pasir, sehingga sebagai pemeluk agama Islam saya mesti bersandang, berpangan, berpapan, dan berkesenian layaknya masyarakat gurun? Para nabi sebagai penyampai pesan Tuhan memang berada di dalam dunia dan terbatas dalam suatu dimensi ruang dan waktu (suatu masa yang telah lampau di kawasan Timur Tengah). Apabila dimensi di mana para nabi hidup tersebut dipaksa diperpanjang dan diperluas, akan menjebak kita ke dalam suatu stagnasi. Kita manusia yang hidup secara dinamis dalam konteks sosial-budaya dan lain sebagainya. Tentunya, agama-agama juga bersifat universal-dinamis. Tuhan mengaruniakan kemajemukan dan keanekaragaman di dunia, bukan hegemoni Arab-sentris!

Richard Dawkins begitu mencerca kaum beragama, terutama yang fanatik. Alasan-alasan yang dikemukakannya bolehlah kita renungkan: "Kenapa, sih, umat beragama menunjukkan sikap permusuhan atas nama Tuhan?" (judul Bab 8-nya, "What's wrong with religion? Why be so hostile?") Inilah akibatnya jika yang disembah adalah Tuhan meme. Tuhan dipersonifikasi seolah Dia adalah makhluk lemah sehingga perlu dibela; seperti ciptaanNya yang selalu ingkar, Sang Pencipta pun harus memeluk agama, sehingga muncullah istilah 'agama Allah'. Tuhan yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu malah diberi atribut-atribut idiosinkretik yang terdapat dalam 99 nama 'baik'-nya. Kawan saya pernah kena getah Asma'ul Husna; ia mengaku bingung dengan konsep "Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," karena bersamaan dengan itu Dia dicitrakan sebagai Maha Menyesatkan (lihat QS Ibrahim [14]: 4), Maha Pembalas, Maha Memurkai. Saya pun menyarankan agar dia menjadi 'atheis', yaitu meluruhkan diri dari Tuhan rekaan virus akalbudi, dan merasakan eksistensi Tuhan yang "bukan ini, bukan itu, tetapi yang Anda terima!".

Sebenarnya Dawkins sendiri pun terperangkap pada konsep 'agama' sebagai 'religion' (berasal dari bahasa Latin religaire = 'aturan-aturan yang mengikat'). Dalam hal ini, agama Dawkins adalah atheisme, karena seperti yang dituturkan oleh Fellow of New College ini, agnostikisme/atheisme mewujud 'jalan pencarian' bagi orang-orang yang menuntut pembuktian indrawi akan keberadaan Tuhan. Filsuf Bertrand Russell yang ditanya (The God Delusion, hlm. 131), apa yang akan dikatakannya jika ia mati dan menemukan dirinya berhadapan dengan Tuhan, yang ingin tahu kenapa Russell tidak percaya kepadaNya. "Tidak cukup bukti, Tuhan, tidak cukup bukti," adalah jawaban Russell.

Dalam kaitan ini, Dawkins membandingkan skeptisisme Russell yang berani dengan kepengecutan matematikawan Prancis, Blaise Pascal (hlm. 130) yang mengatakan, "Anda sebaiknya percaya Tuhan, karena bila Anda benar maka Anda berpeluang mendapatkan surga abadi dan jika Anda salah maka tidak akan ada bedanya. Di lain pihak, jika Anda tidak percaya Tuhan dan ternyata Anda keliru Anda akan dikutuk selamanya, sedangkan jika Anda benar toh tidak ada bedanya."

Dawkins mengutip Daniel C. Dennett, psikolog yang dalam bukunya, Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (Viking Adult, 2006), membedakan antara kepercayaan kepada Tuhan (believe in God) dan kepercayaan kepada agama/kepercayaan (believe in belief): kepercayaan yang baik untuk dipercaya, bahkan bila kepercayaan itu sendiri palsu. Bagi sebagian besar orang, agama dianggap pelipur (consolation). Lebih baik bila ada 'sesuatu' untuk dijadikan pegangan dan pedoman daripada tidak sama sekali. Terhadap hal inilah Dawkins melancarkan pukulan yang, saya kira, cukup telak. Kalau manusia mengaku percaya kepada Tuhan, ujar Dawkins, kenapa mereka takut mati, bahkan menganggap kematian itu menakutkan, sehingga kematian dicap sebagai kedukaan. Fakta ini menafikan konsepsi kreasionis yang umumnya dianut kaum agama bahwa segala sesuatu berasal dari dan kembali kepada Sang Pencipta.

Pembunuhan, apa pun bentuknya, termasuk eutanasia dan bunuh diri yang dibantu (assisted suicide) adalah dosa. "Tetapi kenapa dianggap dosa," kritik Dawkins (hlm. 399), "jika Anda sungguh-sungguh percaya bahwa kematian adalah perjalanan ke surga?" Adalah mereka yang menganggap kematian sebagai terminal, bukannya transisional, yang akan secara naif menolak eutanasia atau bunuh diri dengan bantuan, tulis Dawkins di hlm. 400. Seorang perawat senior kenalan Dawkins, yang berpengalaman menjalankan panti jompo, mengatakan bahwa berdasarkan pengalamannya orang-orang yang paling takut mati justru adalah mereka yang relijius. Kenyataan ini menegaskan bagi Dawkins bahwa agama tidak memiliki kekuatan yang berpengaruh atas mereka yang sedang menghadapi maut.

Dawkins memegang teguh ajaran 'agama' yang dianutnya, yang bernama 'atheisme'. Kredo kesaksiannya berbunyi: "Tiada Tuhan dan Charles Darwin adalah sebenar-benarnya pemberi bukti." Dawkins memang terutama menyandarkan ketidakpercayaannya atas eksistensi Tuhan yang gaib pada teori evolusi yang dikemukakan Darwin. Tetapi berbeda dengan kaum fundamentalis agama yang bersikap kaku dan baku dalam menerapkan ajaran-ajaran agama mereka, Dawkins mengaku bahwa ia akan berubah pikiran bila ternyata Darwin keliru, atau bila kemudian muncul bukti-bukti yang cukup kuat tentang eksistensi Tuhan.

Teori evolusi Darwin adalah pijakan Dawkins, walau pada beberapa sisi teori tersebut mengandung kelemahan. Dengan gampangnya Profesor Harun Yahya dari Turki menantang dengan pertanyaannya, "Bila manusia memang berevolusi dari kera, kenapa sekarang kera masih ada?" Sebagai tangkisan, Darwin mengemukakan bahwa evolusi disemarakkan oleh seleksi alam (survival of the fittest); tidak semua jenis kera berevolusi menjadi manusia; hanya yang unggul, yang mampu menyisihkan jenis-jenis kera yang bernasib untuk selamanya menjadi kera.

Dawkins mengetengahkan 'kausalitas' sebagai contoh bagi penjabaran mengenai evolusi. Korek api ada karena ada rokok; rokok ada karena saya ingin; saya ingin karena melihat warung rokok; dan seterusnya. Dawkins selalu berhenti pada 'dan seterusnya'. Saya rasa, dia takkan sanggup membayangkan apa sebab dari segala sebab di balik penciptaan alam semesta. Kaum kreasionis (termasuk para agamawan) dengan gampangnya menisbikan ilmu pengetahuan, menandaskan, "Semua diciptakan oleh Tuhan."

Bagi Dawkins, agama adalah kesia-siaan (wasteful). Dan kesia-siaan ini, diherankan Dawkins, bisa begitu menguasai perikehidupan manusia selama berabad-abad. Begitu banyak nyawa melayang demi kesia-siaan ini. Orang rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk melaksanakan ritual-ritual yang tidak bermakna, tetapi ogah-ogahan ketika diharapkan kepeduliannya pada sesama manusia yang menderita. Dalam hal ini, saya sependapat dengan Dawkins. Bagaimanapun, berkenaan dengan kesia-siaan, saya menertawakan 'kecerobohan' Dawkins: Sebagai pakar biologi dengan spesialisasi perilaku hewan (animal behavior), bukankah seharusnya dia meluangkan banyak waktu, pemikiran dan kata-kata untuk membawa masyarakat kepada pengenalan terhadap dunia hewan, ketimbang merecoki 'kegembiraan' orang melalui kepercayaan kepada Tuhan. Ah, Dr. Dawkins is also being wasteful!

Jadi, kita harus bagaimana? Yaa, kosong saja. Suwung. Jangan merasa bahwa dengan menyebut "Allah, Allah" dalam sembahyang, kita sudah yang paling benar, mengingat nama 'Allah' sendiri merupakan meme. Kalau Anda telah membaca sejarah Tuhan, maka dalam pencarianNya, terungkap bahwa nama Allah berasal dari kepercayaan masyarakat di daerah aliran Sungai Nil untuk berterima kasih akan rezeki yang mereka dapatkan dari tanah yang subur; mereka mencari-cari kepada siapa mereka harus berterima kasih kalau bukan kepada Sang Pencipta -- yang mereka sebut El, dan datanglah istilah 'Allah' setelah melewati proses asimilasi selama berabad-abad pada rangkaian rumpun bahasa Semit (Ibrani, Aramaik, Arab).

Secara tidak langsung (di luar maksud sang penulisnya), The God Delusion telah mengajarkan kepada saya untuk menghamba kepada Tuhan yang bukan meme, yaitu Tuhan yang bisa dikerangka dan dirangkai dengan ulasan kata-kata dan olah pikiran, melainkan -- barangkali -- hanya dirasakan.© 



Jakarta, 24 November 2008

No comments: