Tuesday, November 18, 2008

Ihwal Memulai

Waktu saya masih tinggal di Surabaya, ada seorang kawan yang bertanya pada seseorang yang sudah sepuh, bagaimana caranya berserah diri. Sebelum orang tua tersebut sempat menjawab, saya menyeletuk, ceplas-ceplos—entah dari mana dorongan itu datang, "Yaa, sampeyan berserah diri aja!" Si orang tua mengangguk-angguk sambil mengatakan, "Nah gitu tuh caranya." Saat itu, saya sendiri sebenarnya belum bersentuhan dengan pengalaman spiritual dan juga tidak tahu bagaimana caranya berserah diri.

Sepotong kisah pengalaman pribadi saya itu terlintas di benak saya baru-baru ini ketika dalam obrolan santai dengan sejumlah kawan, bertopik kewirausahaan, terlontar pernyataan klasik, "Kita nggak tau gimana mulainya!" Saya lantas berpikir, well, that's it! Tidak usah lagi deh lokakarya atau pelatihan. Langsung saja praktik!

Jawaban untuk setiap ihwal memulai, apa pun, sebenarnya terletak pada praktik, tindakan nyata (real-life experience). "Bagaimana memulai makan?" Ya, makanlah. "Bagaimana memulai wirausaha?" Ya, wirausahalah. Entar juga ngerti sendiri. Pengalaman saya menuturkan, segala sesuatu yang dipicu oleh rencana begini-begitu (tanpa kejelasan kapan melaksanakannya) jadinya malah amburadul. "A plan is nothing; planning is everything," kata Dwight D. Eisenhower, jendral bintang lima yang pernah jadi presiden AS itu. Jangan memulai suatu pekerjaan dengan rencana bertarget. Jalani saja pekerjaannya, nanti Anda akan tahu sendiri apa yang dibutuhkan untuk pekerjaan Anda itu.

Ihwal memulai seolah menjadi momok yang cukup mengganggu bagi sebagian besar orang. Ternyata senjata pamungkas untuk memberantas momok tersebut simpel saja: Keberanian. Kita harus berani, bahkan bila perlu keluar dari pakem, breaking the rules untuk hal-hal yang membawa kebermanfaatan. Ketika saya masih jadi trainee copywriter—tahun 1994—pada sebuah biro iklan multinasional di Jakarta, saya berpedoman pada kitab sucinya para copywriter, yaitu bukunya Alastair Crompton, The Craft of Copywriting, yang antara lain mencantumkan Sepuluh Aturan Perak mengenai iklan yang hebat. Saya sekarang sudah lupa sebagian besar dari aturan-aturan itu gara-gara adanya Satu Aturan Emas yang dikemukakan Crompton: "Lupakan semua aturan!" Tetapi saya tidak serta-merta mempraktikkan Aturan Emas itu, karena saya menceburkan diri ke penulisan naskah iklan memang karena ingin belajar hal-hal baru, yang tidak saya peroleh di bangku kuliah. Ketika sudah saya kuasai kesepuluh aturan perak itu dan menjadi skilled copywriter, barulah saya langgar semua aturan, yang malah membuat saya jadi professional copywriter.

Bisnis Apple Inc. jadi besar karena sikap eksentrik pendirinya, Steve Jobs, yang suka melanggar aturan. Berkat breaking the rules, komputer pertama bikinan Apple langsung jadi hit karena karakteristik user-friendly-nya dan merupakan komputer pertama di dunia yang menggunakan font. Filosofi melanggar aturan terlambangkan pada logo Apple: sebuah apel dengan bekas gigitan, yang ternyata diilhami kisah Alkitab, di mana diceritakan Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga gara-gara melanggar aturan Tuhan yang melarang mereka makan buah tertentu (apel?).

Kreatif saja tidak cukup. Kita juga harus berani untuk kreatif. Dunia ini tampaknya belum bisa sepenuhnya menerima kehadiran orang kreatif, sehingga 'keberanian' untuk kreatif pun senantiasa ditekankan para fasilitator pelatihan wirausaha. Semasa saya masih kelas 4 sekolah dasar di Negeri Belanda, sejumlah murid, termasuk saya, dimasukkan ke kelas khusus dua kali seminggu untuk bimbingan dan penyuluhan dari beberapa pedagog. Semua murid kelas khusus itu punya ciri-ciri yang mirip dengan saya: suka melamun (day-dreaming), introvert, suka berbuat tidak sesuai perintah guru, lamban dalam pelajaran-pelajaran matematis-logis, asyik dengan diri sendiri, tidak suka dengan pelajaran-pelajaran sekolah, dan punya hobi nyeleneh. Sikap orang tua kami pun mirip: sedih (ibu saya menangis karena dengan dirujuknya saya ke psikolog, beliau anggap saya sudah tidak waras), kehilangan harapan akan masa depan yang cerah bagi anaknya, dan bertindak lebih keras dalam mendidik. Barangkali karena perlakuan-perlakuan semacam inilah membuat banyak orang tidak berani untuk kreatif. Tahun 2005, saya mendapat e-mail dari salah seorang teman sesama 'alumni kelas khusus' itu yang antara lain mengabari bahwa dia dan 'alumni kelas khusus' lainnya kini lebih sukses dalam karier ketimbang mereka yang dahulunya 'murid waras'. “Kita berhasil mengatasi rintangan-rintangan dalam hidup kita. Aku sangat senang karena kamu juga melakoni (hidupmu) secara luar biasa,” tulis teman saya itu.

Setiap kali saya bertemu orang yang ingin berwirausaha, kebanyakan mereka tidak memperhitungkan merek, tetapi yang dipersoalkan adalah sulitnya mendapatkan modal. Membangun dan mengelola merek yang saya maksud itu bukan hanya terkait dengan produk/jasa yang kita pasarkan, tetapi juga, yang lebih penting, merek diri kita. Saudara Subud sepuh saya yang sudah sepuh pernah bilang ke saya dan tiga rekan kerja saya, "Kalian kalau kerja jangan cari duit. Carilah nilai." Maksudnya, setiap pekerjaan yang kita lakukan seyogianya menambah nilai kualitas keahlian dan profesionalisme kita di mata prospek pembeli produk/pengguna jasa kita.

Pendiri Subud, Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, menyampaikan hal yang sama—dengan kata-kata yang berbeda—dalam ceramah beliau kepada anggota Subud di Cilandak, 28 Maret 1976! Ceramah yang dicuplik buku Human Enterprise dalam kaitan dengan 'reputasi' itu menuturkan (dalam terjemahan saya):

"Meskipun Saudara punya uang—misalnya seratus juta, dua ratus juta, tiga ratus juta—kalau Saudara tidak punya nama yang baik di dunia ini, maka Saudara tidak bernilai satu sen pun."

Ceramah Muhammad Subuh inilah salah satu kekuatan pendorong bagi saya untuk menanggalkan predikat 'orang gajian' dan memutuskan untuk menjadi 'freelancer 100%'. Saya jelas tidak punya modal uang yang memenuhi syarat untuk membuka usaha, dan meminjam uang pada orang-orang yang tidak sevisi dan tidak 'setuntunan' saya rasa malah akan menghambat tumbuh-kembang saya. Saya melakukan perenungan mendalam, menelusuri perjalanan karier dan hidup yang telah saya lalui, menghubungkan titik-titik (connecting the dots) dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya yang saya alami sepanjang usia dewasa saya. Tergambarlah secara virtual suatu peta tuntunan dari masa lalu, masa kini dan masa depan saya. Wow! Dari situlah saya ketiban pedang sakti CREATIVE (Connection, Responsibility, Exposure, Ahead of time, Travel, Information-hunger, Vocal, Engagement) saya. Naah, ini dia modal saya untuk berwirausaha sebagai agen bebas, haleluya! Saya lalu memulainya saja. Apa kiatnya? Ya, mulai saja...

Nah, sekarang, bagi Anda yang selalu bingung dengan ihwal memulai apa pun, barangkali bisa membantu saya dahulu, yang selalu bingung dengan ihwal mengakhiri apa pun, termasuk tulisan ini.©



Jakarta, 19 November 2008

No comments: