Sunday, November 2, 2008

Makna Kesuksesan

Ratu talkshow, Oprah Winfrey, pernah mengatakan, “We must redefine success!” Ya, benar. Kita mesti mendefinisi ulang arti ‘sukses’. Banyak dari kita mengira, ‘sukses’ berarti ‘tidak gagal’, ‘menang’, ‘kaya harta dan kedudukan’. Kalau jatuh terjerembab dalam usaha dikatakan ‘tidak sukses’ alias ‘gagal’. Dan kebanyakan dari kita tidak siap, sehingga melemparkan kemarahan kepada Tuhan.

Saya dapat kepahaman mengenai kesuksesan dari sebuah pengalaman. Seminggu setelah gempa bumi memporakporandakan D.I. Yogyakarta pada 27 Mei 2006, saya dan lima saudara Subud dari Jakarta berangkat ke sana naik dua mobil untuk menyalurkan bantuan buat para anggota Subud Cabang Yogya yang menjadi korban. Satu saudara kami tewas tertimpa dinding rumahnya dan beberapa lainnya kehilangan tempat tinggal.

Di Piyungan, Bantul, kami menjumpai seorang sesepuh Subud Yogya, Pak Haji Soewito, terbaring tak berdaya dengan kaki patah di teras rumah tetangganya yang sedang dibangun, sementara rumah beliau sendiri luluh-lantak, rata dengan tanah. Ketika menyalami beliau, saya tidak dapat menahan air mata, terutama mendengar ucapan tulus beliau (belum pernah saya dengar ucapan setulus itu), “Saya bersyukur atas nikmat dari Allah ini. Ini karuniaNya lho, bukan cobaanNya. Alhamdulillah ya Allah. Matur nuwun.” Mengiringi tangis saya, beliau pun menangis, bukan karena sedih, melainkan bahagia dan bangga karena telah ‘diperhatikan’ Allah 'Azza wa Jalla.

Saya terhenyak. Kehilangan uang seratus ribu rupiah saja kebanyakan kita akan mengeluh. Ini ada orang yang kehilangan seluruh harta bendanya dan nasib ke depannya tidak jelas, malah bahagia. Terngiang-ngiang terus ucapan Pak Wito di benak saya, sehingga dalam perjalanan kembali ke Jakarta saya pun bertanya kepda sesepuh Subud Jakarta yang semobil dengan saya, “Gimana caranya, Pak, saya bisa jadi seperti Pak Wito?” Beliau lantas menjawab tenang, “Pertanyaanmu aja udah nunjukin kalo maqom (= ‘stasiun hati’) kamu naik tingkat, To. Rajin-rajin Latihan (Kejiwaan Subud) aja. Insya Allah kamu akan dipersiapkanNya.”

Dalam bahasa Buddhisme Zen, sikap ikhlas dan nrimo yang ditunjukkan Pak Wito itu adalah isyarat hilangnya kemelekatan dengan dunia. Dalam tataran Zen, Pak Wito sudah bertransformasi menjadi boddhisatva. Jiwanya bebas dan kini ia ditugasi untuk membebaskan makhluk-makhluk dari kemelekatan pula. Kenapa kita harus lepas dari dunia, padahal kita hidup di dunia? Karena hakikatnya kita itu adalah makhluk spiritual di dunia materi. Bukan sebaliknya! Kita balik ke ‘sana’ tidak bawa macam-macam kan, selain jiwa kita?

Stephen Covey awal tahun 2006 merilis buku terbarunya, The 8th Habit, yang menjabarkan aspek kebiasaan (habit) ke-8, melengkapi tujuh aspek sebelumnya dalam rangka hidup sukses. Aspek itu disebutnya ‘jiwa merdeka’. Jiwa kita hakikatnya merdeka. Hanya hidup di dunialah yang membuat kemerdekaan jiwa itu terselimuti dinding-dinding hasrat keinginan kita, sehingga kita lupa siapa diri kita sebenarnya, dari mana asalnya, dan ke mana kembali kita setelah kontrak kita di dunia kadaluarsa.

Sama seperti kondisi jiwa boddhisatva yang diraih melalui laku tapa (asceticism) juga menekankan pada pentingnya kita membiasakan diri tidak kelewat memperturutkan ego kita. Ciri-ciri orang yang tidak lagi punya kemelekatan, seperti diurai Covey, ya seperti Pak Wito itu. Kalau jatuh/gagal/ditimpa penderitaan dalam ikhtiar kita tetap tegar, berdiri tegak seolah tidak terjadi apa-apa dan meneruskan perjalanan hidup dengan hati bahagia, berarti kita SUKSES! Sukses yang hakiki, yang esensial, yang meresap hingga ke dasar lubuk hati, melahirkan kebahagiaan sejati!

Anda pasti bertanya, “Kalau gitu, kita harus jadi pertapa, dong?” Eit, tunggu dulu! Menjauhkan diri dari dunia bisa dilatih tanpa harus mengasingkan diri ke hutan atau gunung. Kaum Sufi orde Naqshbandiyyah, misalnya, mempraktikkan khalwat dar anjuman (= ‘menyepi dalam keramaian’, yaitu tetap bergaul dengan orang lain, membangun karier dan berkeluarga tapi hati sepi dari apapun selain mengingat Allah).

Islam dan Kristen secara umum mengenal puasa. Puasa sejati bukan menahan lapar dan haus, melainkan sebuah upaya pengendalian diri secara total. Nabi Muhammad dan Yesus Kristus, juga Buddha Shakyamuni, sama-sama memberi teladan kepada kita untuk senantiasa menyerahkan segala perkara baik-buruk lingkungan kita kepada Tuhan Yang Maha Berkehendak. Maka esensi agama-agama wahyu pun sesungguhnya adalah kasih sayang dan sikap pemaaf, bukan ritual-ritual penyembahan yang rumit.

Itu pula makna sejati dari kalimat inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun. Bahasa Perjanjian Lama-nya: “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (Ayub 1: 21) Falsafah Kejawen menekankan kawruh sangkan paran ing dumadi (tahu akan asal-mula dan tujuan segala eksistensi – yaitu Gusti Alah). Nah, kalau kita beriman (beriman beda lho dengan percaya; ‘iman’ adalah apa yang dibenarkan oleh hati, sedangkan ‘percaya’ adalah produk akal pikir) kepada kalimat-kalimat ilahiah ini, hati kita niscaya diliputi ketentraman dalam keadaan apapun: suka-duka, kaya-miskin, sehat-sakit, ramai-sepi, dipuji atau dihina, tidak ada bedanya.

Jadi, makna kesuksesan sejati adalah ‘ikhlas menerima apapun yang dikehendaki Tuhan untuk kita’. Karena sesungguhnya hanya Dia, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, yang tahu apa yang terbaik untuk kita.©


Jakarta, 3 November 2008.

No comments: