Sunday, November 2, 2008

Menyadari Kesadaran

Suatu hari, Buddha Gautama didatangi seorang lelaki dari luar lingkaran pengikutnya. Lelaki itu bertanya kepada sang Buddha, “Wahai Shri Gautama, apa sih yang engkau lakukan bersama para pengikutmu?” Sang Buddha tersenyum dan menjawab, “Kami duduk, berdiri, berjalan, makan-minum, tidur, berkeluarga...” Lelaki itu mengernyitkan keningnya dan berkilah, “Lho, itu kan sama saja dengan kita semua?!” Masih tersenyum, sang Buddha menjawab, “Oh beda, saudaraku. Kalian melakukannya tanpa sadar!”

Membaca kisah ini, saya merenung. Seberapa sering, sih, saya sadar setiap hari dalam hidup saya? Anda pasti mengira saya sudah tidak waras, karena Anda mungkin berpikir kita ini, selama belum mati, ya pasti sadar. Atau hanya orang pingsan atau gila yang tidak sadar. Well, saya merasa sadar seratus persen ketika merenung. Tetapi, tahukah Anda bahwa sebagian besar dari hidup kita, kita ini tidak menjalaninya dengan sadar? Bahkan Muhammad SAW pernah bersabda, “Ketika hidup manusia tertidur. Ketika mati, barulah ia tersadar.” Artinya beliau telah menyadari ketidaksadaran kita dalam menjalani hidup.

Cobalah kita renungkan bersama, secara introspektif dan retrospektif. Kita amati lingkungan sekitar kita dulu. Banyak orang menunaikan ibadah secara tidak sadar; tidak mengetahui pasti makna dan tujuannya, pokoknya sekadar taklid (ikut-ikutan). Kritik Al Qur’an untuk tindakan ini amat jelas: “Kecelakaan bagi mereka yang mengerjakan salat, tetapi mengabaikan makna dan tujuannya. Orang yang riya’ dan enggan memberikan pertolongan.” (QS 107:4-7). Saya tergolong orang yang makan-minum tanpa menyertakan kesadaran, sehingga pada 28 Februari-7 Maret 2006 lalu saya dirawat di RS akibat infeksi lambung. Banyak orang yang sekolah, cari ilmu sebanyak mungkin, tanpa kesadaran, sehingga cenderung cuma menimbun ilmu, tanpa membawa manfaat bagi dirinya maupun masyarakat. Syekh Abd’ al-Qadir al-Jilani r.a. mengatakan, “Lenyap agamamu disebabkan oleh empat hal: engkau tidak mengamalkan apa yang engkau ketahui; engkau mengamalkan apa yang tidak engkau ketahui; engkau tidak mau belajar apa yang tidak engkau ketahui, sehingga engkau tetap bodoh; dan engkau menghalang-halangi orang lain untuk belajar, sehingga mereka tetap bodoh!”

Banyak dari kita bahkan, mungkin, tidak menyadari kesadaran kita masing-masing...

Saya ingat era kejahiliyahan saya, di mana saya sering membentak istri saya dengan kata-kata yang tidak pantas. Setelah saya menempuh jalan spiritual, ia mengingatkan saya akan hal itu. Tak satu pun yang ia sampaikan sebagai perkataan saya waktu itu yang bisa saya ingat. “Ah masak saya pernah ngomong kayak gitu?” ujar saya. Tetapi saya meyakini istri saya benar, karena banyak saksinya, termasuk saudara-saudara saya sendiri. Tak sadar saya membentak istri saya di depan orang! Sebagai orang yang sedang tidak sadar, saya tidak dapat membedakan antara baik dan buruk. Semua kelihatan sama. Terbukti bahwa mata fisik hanya menyajikan ilusi, bukan kebenaran hakiki!

Pembangunan kesadaran dimulai dengan merasakan melalui panca indra kita (melihat, mendengar, mengecap, mencium, merasakan). Kita bakal mengerti obyek yang dirasakan bila kita pernah mempelajari/diajari tentang obyek itu. Namun apakah yang dirasakan memang seperti itu adanya? Kita pun mulai melakukan pencarian lebih mendalam. Pencarian itu bisa memberi kita kebenaran, baik eksoterik (lahiriah) maupun esoterik (batiniah). Kebenaran menuntun kita kepada pengetahuan. Dengan landasan pengetahuan, kita cenderung melakukan segala sesuatu dengan sadar. Rangkaian seperti ini diterapkan pula ketika kita berusaha memahami dan mengamalkan agama. Tasawuf mengenal matarantai syari’at, tarekat, hakikat, makrifat. Agama Hindu: artha, kama, dharma, moksa. Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa.

Jika kita ingin tahu tentang hakikat hidup kita, coba jalani hidup menurut rangkaian tersebut. Pengetahuan tentang hidup membuat kita senantiasa dapat terbimbing dan tertuntun dalam menjalani hidup. Bersandarkan pengetahuan tentang hidup, insya Allah kita bakal menjalani hidup dengan kesadaran penuh: sadar tentang siapa diri kita, dari mana kita berasal, dan hendak ke mana kita akan pergi, sadar bahwa hidup sekarang bukanlah akhir dari perjalanan spiritual kita. Bumi ini adalah terminal terakhir kita sebagai materi, bukan kita sebagai hakikat—kita sebagai makhluk spiritual. Bagaimana kita dapat menumbuhkan kesadaran itu sebanyak-banyaknya? Perbanyaklah belajar. Bisa belajar dari pengalaman orang lain, dari literatur, dari introspeksi (melihat ke dalam diri) dan retrospeksi (menengok ke belakang, meneliti satu per satu peristiwa yang pernah kita lalui dan menemukan benang merahnya), dari perenungan, atau dari perbuatan-perbuatan kita sehari-hari, baik maupun buruk. Namun, sebelum memulai pembelajaran, ada baiknya kita menumbuhkan kesabaran, keikhlasan dan sikap menyerah dengan tawakal. Jangan buru-buru ingin mengerti. Sadarilah, bahwa Tuhan Maha Tahu akan perilaku kita yang cenderung menjadi sombong ketika kita dihadapkan pada pemahaman menyeluruh dan tuntas.

Bagi kita yang suka musik, bisa mulai dengan belajar mengapa kita bisa mendengarkan nada-nada indah melalui telinga kita. Saya pernah tiba-tiba disadarkan akan ke-Maha-Kasih-an Tuhan ketika suatu hari mendengar musik dari radio di rumah saya di Surabaya. Tuhan menciptakan gelombang frekuensi yang memenuhi udara di balik atmosfer. Sifatnya gaib (tidak kasat mata) tetapi terasa saat saya mendengar musik tadi dikumandangkan dari radio. Tanpa gelombang gaib tersebut, jangankan mendengarkan musik, berbicara pun kita tak akan mengeluarkan suara. Yang tampak cuma mulut kita komat-kamit. Yang bermain musik pun, ya hanya bermain, tetapi tidak menimbulkan bunyi sama sekali! Ah, Maha Sempurna Tuhan dengan segala ciptaanNya...

Bagi mereka yang dikuasai nafsu amarah—membenci sesama, membalut diri dengan dengki dan iri, bisa mulai dengan belajar memahami bahwa hakikatnya semua manusia bersaudara, menyatu-padu dalam Ruh Allah. Kita kan berasal dari Yang Tunggal; jangan cuma bersaksi dalam praktik agama bahwa Tuhan itu Esa, tetapi sadari ke-Esa-anNya. Bila alam semesta beserta isi-isinya digulung habis, yang tinggal hanya Dia, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini, saya punya pengalaman tersendiri. Saya pernah sangat membenci orang-orang tertentu. Begitu kami dikumpulkan dalam suatu momen kebersamaan, saya seperti ‘dimengertikan’ bahwa diri mereka adalah cermin diri saya. Mengapa saya terus berada dalam situasi menjumpai keburukan adalah karena aslinya diri saya juga belum bersih dari keburukan. Dari pengalaman ini, saya mendapat kepahaman akan kebenaran Hadis: “Seorang Mukmin menjadi cermin bagi Mukmin lainnya.”

Berspiritualitas pun, meski lingkup cakupannya adalah ‘isi dari diri esensial’, mensyaratkan kesadaran. Spiritualitas bukan upaya untuk mengenyahkan akal pikir dan hawa nafsu, dan memberdayakan jiwa tokh. Tanpa akal dan nafsu kita menjadi makhluk tanpa kesadaran. Esensi dari spiritualitas adalah ‘menyadari makna di balik peristiwa’ serta ‘menyadari keindahan Sang Pencipta’. Tujuan dari laku spiritual adalah menggapai kesadaran tertinggi, bahwa kita ini kebenaranNya, suatu ciptaan indah dari Sumber Keindahan. “Pakailah akalmu, maka engkau akan menyadari ayat-ayat (tanda-tanda)-Ku,” Allah berfirman di dalam Al Qur’an.

Bila kita terus sadar, maka kita akan terhindar dari hal-hal yang tidak bermanfaat selama hayat masih dikandung badan. Bila kita membiarkan diri ‘tertidur’, maka akan menjadi kenyataan apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW di atas: begitu kematian menjemput, kita tiba-tiba tersadar, bahwa banyak kebaikan (baca: kebermanfaatan) yang belum kita lakukan selama hidup. Dan kita akan mati dengan penyesalan...©


Jakarta, 3 November 2008.

No comments: