Tuesday, November 4, 2008

Manusia-Manusia Super

“Yang paling dahsyat adalah dia yang memiliki dirinya sendiri di dalam kekuatannya.”
~Seneca (5 SM-65 M)



SAYA kira, kita semua waktu masih kanak-kanak pernah mengagumi sosok-sosok manusia super yang kita tiru kehebatannya. Saya pun begitu. Waktu kecil, saya mengidolakan Batman, dan ketika tinggal di Negeri Belanda pada tahun 1974-1978 saya amat percaya pada tokoh Sinterklaas dan Zwarte Piet (Piet Hitam) yang datang mengunjungi kamar anak-anak naik kuda putih pada setiap malam 5 Desember. Takut tidak mendapat kado dari Sinterklaas dan disabet sapi lidi Piet Hitam karena nakal, maka setiap menjelang 5 Desember saya berusaha untuk bersikap manis.

Walau kini saya tahu bahwa Sinterklaas hanyalah dongeng* masa kecil dan Batman hanya tokoh fiktif dalam komik dan film, saya berkeyakinan bahwa sosok manusia-manusia super semacam itu bisa 'diadakan' berkat Kekuasaan Tuhan dan banyak terdapat di sekeliling kita di zaman modern di mana manusia lebih dikuasai oleh logika akal pikir.

Saya bisa sebutkan beberapa nama yang mendukung keyakinan saya itu.

Bila Anda pernah mendengar dan menikmati keindahan simfoni-simfoni yang diciptakan pada masa emas Beethoven beruntunglah Anda. Karena sang Maestro musik itu sendiri tidak pernah mendengarkannya. Terserang oleh penyakit tertentu pada masa sepuluh tahun terakhir hidupnya, Ludwig von Beethoven menjadi tuli. Lalu bagaimana ia bisa memastikan bahwa karya musiknya akan menjadi indah?

Pada usia kanak-kanak hingga remaja, Albert Einstein merupakan sosok yang lemah dan bodoh dalam pelajaran sekolahnya; bahkan ia gagal dalam ujian masuk Akademi Ilmu Pengetahuan di Berlin. Ia juga dikenal lambat dalam pertumbuhannya; baru pada usia tiga tahun ia mulai bisa berjalan. Tetapi di usia dewasanya, manusia satu ini terkenal di seluruh dunia sebagai jenius fisika yang melahirkan Teori Relativitas E = mc2. Bagaimana mungkin?

Terkenal seantero jagat sebagai penemu lampu pijar pertama, Thomas Alva Edison bukanlah juara kelas. Malah sebaliknya, ia amat bodoh dalam semua pelajaran. Lha, kok bisa si Edison menjadi terkenal dalam kepiawaiannya menemukan teknologi-teknologi yang tidak dikenal manusia sebelumnya?

Untuk pertanyaan "Kok bisa?" di atas, hanya ada satu jawaban pasti: Ada campur tangan Kekuasaan Tuhan! Paling tidak, itu yang saya yakini. Apa yang dianggap tidak mungkin bisa saja terjadi bila kita berserah diri dengan ikhlas, sabar dan tawakal kepada Tuhan. Tentu saja, dengan dibarengi ikhtiar. Tuhan melalui KekuasaanNya Yang Tidak Terbatas telah menciptakan alam semesta dan segala isinya dalam berbagai dimensi, dari yang masih bisa kita jangkau dengan panca indra maupun yang di luar pengetahuan manusia. Mencipta bagi Tuhan adalah sangat mudah, dengan hanya berkata "Jadi!" Dan ciptaanNya sempurna!

Lantas, pertanyaannya adalah: Apakah kita bisa menjadi seperti para nabi, Beethoven, Einstein atau Edison? Bisa saja, kalau kita berikhtiar dan mau sabar serta percaya kepada Tuhan. Pengalaman yang pernah saya lalui membuktikan hal itu.

Semasa sekolah dasar hingga menengah, saya merupakan sosok anak yang BOTOL LAMPU (BOdoh, TOLol – LAMbat PUla) dalam menerima pelajaran sekolah. Bahkan saya sampai bosan bersekolah. Rapor saya tidak pernah absen ditulisi dengan tinta merah. Guru saya menyampaikan kepada orang tua saya, bahwa saya hanya pintar dalam tiga mata pelajaran: Sejarah, Menggambar dan Bahasa Inggris—mata pelajaran yang lebih mengandalkan pemahaman.

Karena dianggap bodoh, saya tidak diperhitungkan oleh guru-guru dan teman-teman. Sebagai akibatnya, saya menjadi cuek terhadap lingkungan. Saya bertekad, bahwa saya akan berusaha semampu saya dan berdoa kepada Tuhan agar diberi jalan. Saya tidak mempedulikan hasil akhirnya, melainkan ikhtiar yang saya lakukan untuk mencapai hasil itu. Belakangan, setelah mencari di dalam penemuan, ke-cuek-an semacam ini saya pahami sebagai jalan berserah diri. 'Kepedulian' yang berlebih, seperti yang dimiliki teman-teman saya yang pintar mengakibatkan mereka mementingkan hasil, hasil, hasil! Kegagalan adalah hal yang memalukan. Kalau saja mereka orang Jepang, pastilah mereka melakukan harakiri. Mementingkan hasil adalah wujud dari berkuasanya nafsu keinginan dalam diri kita, yang dapat menghilangkan kesadaran kita. Serat Wulang Reh (Pupuh Kinanthi: 2) dari Sunan Pakubuwono IV menggarisbawahi sebagai berikut: Dadia lakunireku, cegah dhahar lawan guling; lan aja sukan-sukan, anganggoa sawatawis; ala watake wong suka, nyuda prayitnaning batin (Tempuhlah jalan ini, mengurangi makan dan tidur; jangan menuruti keinginan, tetaplah sederhana; apabila menuruti keinginan, itu mengurangi kesadaran diri).

Saya lebih suka memposisikan diri saya sebagai 'pembelajar' ketimbang 'orang pintar'. Proses pembelajaran tidak kenal kata akhir, tetapi 'pintar' adalah puncak segala usaha yang akan membuat orang merasa tidak perlu belajar lagi! Kalau kita renungkan, hidup ini sejatinya juga sebuah proses pembelajaran. Tuntas pembelajarannya adalah ketika kita mengembuskan napas terakhir! Dan menurut saya, tidak ada orang yang bodoh. Tuhan mengodratkan semua manusia pintar. Bedanya hanya dua: Ada yang menggunakan kepandaiannya, dan ada yang tidak!

Persentase belajar dan berdoa saya seimbang. Adalah ibu saya yang menasihati saya agar senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan selagi saya berusaha. Hasilnya, membuat orang lain tercengang, apalagi saya. Tamat SMA, dua tahun berturut-turut saya diterima kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui jalur Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Pertama, tahun 1986, saya diterima di IKIP Negeri Jakarta dan, yang kedua, tahun 1987, di UI. Guru-guru saya semasa SMA pun terheran-heran, bagaimana murid mereka yang terkenal BOTOL LAMPU belajarnya bisa menembus Sipenmaru yang penuh persaingan—program studi yang saya pilih di Universitas Indonesia, yaitu Sejarah, berdaya tampung 32 kursi dan diperebutkan oleh + 10.000 peminat pada Sipenmaru 1987.

Lulus dari UI enam tahun kemudian, saya diterima bekerja sebagai penulis naskah iklan (copywriter) di sebuah biro iklan terkemuka di Indonesia yang berbasis di Jakarta, menyingkirkan pelamar-pelamar lainnya, di antaranya ada yang bergelar S2 International Communication dari Amerika Serikat. Lalu, bagaimana mungkin seorang sarjana sejarah dengan nilai pas-pasan yang sama sekali tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang komunikasi pemasaran bisa diterima? Yah, berikhtiar dengan belajar dan berserah diri kepada Tuhan!

Belajar—kata yang simpel untuk diucapkan, namun cukup sulit untuk dilaksanakan bila tidak didukung daya kemauan (willpower). Kata yang amat sederhana, namun mampu membuat manusia biasa menjadi super! Seringkali kita salah-kaprah menganggap bahwa belajar hanya dilakukan di sekolah, atau di rumah dalam rangka mencapai prestasi baik di bangku sekolah. Hidup ini, sesungguhnya, adalah proses pembelajaran berkelanjutan (continuous learning process) yang tidak ada habisnya, kecuali ditutup dengan berembusnya napas terakhir. Tujuannya bukan untuk menjadi 'pintar lalu lupakan', melainkan menghimpun bekal bagi perjalanan selanjutnya. Sesimpel itu.

Belajar adalah ikhtiar. Dengan belajar, dari tidak tahu menjadi tahu. Karena itu, Tuhan mewajibkan kita untuk tidak berhenti belajar. Seburuk apa pun suatu pelajaran, tetap kita dapat mengambil manfaat darinya, paling tidak agar kita dapat memperbaikinya. Dalam keberlangsungan pembelajaran, sedikit demi sedikit pengetahuan kita bertambah. Tuhan melalui para utusannya mewajibkan kita belajar agar kita mudah menggali dan mengenal kekuasaan Tuhan. Tentu saja, maksudnya di sini adalah belajar yang didasari daya kemauan untuk tahu!

Belajar tanpa kenal henti dibarengi kepasrahan kepada Kehendak Tuhan, sehingga Dia membukakan jalan bagi kita untuk menggapai mukjizatNya. Itulah rahasia di balik kemunculan manusia-manusia super di muka bumi ini.©



Jakarta, 5 November 2008

No comments: