Friday, November 7, 2008

Ada Yang Gratis di Dunia Ini

"Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi orang lain."
-- Hadis riwayat Bukhari r.a.



Ketika menjadi pengarah kreatif pada sebuah perusahaan komunikasi pemasaran terpadu di Jakarta, saya pernah ditugasi untuk mementori dua pemagang pada perusahaan tersebut. Saya senantiasa terbebani bila mesti menyandang predikat formal, yang sepertinya mengekang saya agar tidak menyimpang dari fungsi semestinya. Dalam kaitan dengan kedua pemagang, saya terkekang dengan predikat 'mentor' yang disandangkan ke saya. Saya lebih suka menjadi 'teman sebangku' mereka, di mana tidak ada batas yang memisahkan kami. Saya bersikap layaknya mitra diskusi mereka, yang setiap waktu datang dengan hal baru untuk dibagi.

Suatu ketika, saat saya sedang berbagi pengetahuan berdasarkan pengalaman belasan tahun saya di bidang komunikasi pemasaran kepada kedua pemagang yang baru belasan hari belajar hal-hal praktis di bidang yang sama, salah seorang petinggi perusahaan tersebut memperhatikan. Usai saya berbagi, ia menghampiri saya dan menyatakan keheranannya terhadap sikap saya yang tanpa tedeng aling-aling mengobral ilmu saya kepada dua orang yang dianggap sang petinggi bakal mencuri ilmu saya. "Tidak ada yang gratis di dunia ini, Mas," ujar petinggi perusahaan itu dengan nada ketus.

Ucapannya pada hari itu membuat saya merenungkan diri saya sendiri yang suka, tanpa beban, membagi-bagi ilmu kepada orang asing sekali pun. Ada yang mencap saya tidak bisa berlaku profesional, yang dimaknai sebagai 'ada uang, ada barang'. Tetapi, bagaimanapun, saya yakin ada yang gratis di dunia ini.

Sejatinya, semua yang ada di dunia ini gratis. Tuhan sudah menyediakan semua itu bahkan sejak sebelum kita diciptakan-Nya. Jenius kreatif Paul Arden pada halaman 72 buku Jim Aitchison, Cutting-Edge Commercials: How to Create the World's Best TV Ads for Brands in the 21st Century (Prentice Hall, 2001), menandaskan, "Semua itu bukan ide-idemu, tapi ide-ide Tuhan!" Tetapi tidak semua manusia beruntung mendapatkan sejumlah karunia tertentu. Nah, karena Tuhan memberikannya gratis, seyogianya yang mendapatkan karunia itu tidak boleh pelit atau malah memperjualbelikan karunia yang diperolehnya kepada orang lain yang benar-benar membutuhkan.

Dengan telinga saya tergelitik oleh kritik berbagai pihak, maka saya berkonsultasi dengan Tuhan mengenai apakah tindakan mengobral ilmu secara cuma-cuma yang saya lakukan itu benar, atau paling tidak ada pembenarannya. Tuhan lantas mengirim saudara Subud saya, yang pada suatu hari memberi saya buku karya Dr. Kazuo Murakami, The Divine Message of the DNA -- Tuhan Dalam Gen Kita (Mizan, 2007). Pada halaman 100 bukunya, ahli genetika terkemuka dunia ini menulis:

"Contoh paling khas dari memberi-dan- memberi adalah hubungan ibu dan anak. Seorang ibu selalu memberi kepada anaknya tanpa mengharapkan apa pun sebagai balasannya. Sang ibu tidak dengan sengaja mengharapkan adanya imbalan, walaupun begitu, ia mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan dari apa yang ia perbuat. Perasaan gembira dan terinspirasi itu selanjutnya akan mengaktifkan gen-bermanfaat sang ibu."

Kira-kira dua tahun setelah mendengar sindiran ketus dari sang petinggi perusahaan komunikasi pemasaran terpadu tersebut di atas, saya kembali mementori seorang pemagang yang ingin menjadi copywriter. Kali itu, di sebuah advertising agency. Biro iklan biasanya sarat dengan manusia yang terjangkiti penyakit takut-idenya- dicuri. Saya pernah bekerja pada sebuah biro iklan multinasional di Jakarta Selatan yang terdiri dari sejumlah brand team. Kompetisi antara satu tim dengan tim lainnya begitu sengitnya, hingga memengaruhi hubungan inter-personal antar-karyawan, utamanya karena penyakit takut-idenya- dicuri tadi.

Si pemagang pada hari pertama masa magangnya yang hanya sebulan itu bertanya ke saya, apakah saya tidak khawatir ide atau ilmu saya bakal terserap habis jika saya terus-menerus mengucurkannya ke orang lain, tanpa bayaran sama sekali. "Gue malah tambah pinter, tuh," jawab saya. Saya pun menantang si pemagang: ia saya persilakan mencuri ide saya, karena toh ia tak bakal bisa mengalahkan saya. Saya akui, pernyataan saya itu cukup snobbish, tetapi dalam hati saya tertawa, karena rahasia dari tindakan 'mengobral barang tanpa uang' itu ada di tangan saya.

Pada hari terakhir masa magangnya, si pemagang mengakui kekalahannya dan saya pun mengungkapkan rahasianya:

Memberi-dan- memberi, seperti diungkap Kazuo Murakami, memang tidak semudah yang dikatakan. Dibutuhkan latihan terus-menerus, utamanya untuk mengikis rasa takut miskin atau kekurangan, takut kecolongan, atau keinginan untuk disanjung. Namun, sekalinya kita berhasil mengatasi perasaan-perasaan negatif itu, muncul nafs al-muthma'inah (diri yang tenang) yang menjadi energi pendorong untuk senantiasa memberikan yang terbaik (dan terbanyak) bagi orang lain, agar orang lain pun dapat merasakan ketenangan diri kita. Dorongan inilah yang membuat saya terus-menerus menggali informasi dan ilmu pengetahuan agar jumlahnya tidak berkurang meski dibagi-bagikan secara cuma-cuma. Penggalian ini otomatis membuat saya kaya pengetahuan, sementara si penerima, yang merasa keenakan menerima-dan- menerima, kian miskin pengetahuan.

Itu pemahaman pribadi saya. Namun, Tuhan lagi-lagi mengirimkan persetujuan- Nya melalui kawan saya yang baru-baru ini meminjamkan buku karya si jenius kreatif Paul Arden, It's Not How Good You Are, It's How Good You Want to Be (Phaidon, 2003). Pada halaman 30-31 bukunya yang didasarkan pada pengalaman karier Arden di dunia periklanan, ia menulis:

"Jika Anda memberikan segala sesuatu yang Anda punya, tidak ada yang tersisa buat Anda. Hal ini memaksa Anda untuk mencari, menjadi sadar, mengisi ulang diri Anda. Bagaimanapun, semakin banyak yang Anda berikan, semakin banyak yang kembali kepada Anda. Ide adalah pengetahuan yang terbuka. Jangan mengklaim kepemilikan. Lagipula itu bukan ide-ide Anda, itu ide-ide orang lain. Mereka bertebaran di udara. Anda hanya harus memiliki kerangka pemikiran untuk memetik ide-ide itu."

Luar biasa! Berturut-turut, dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh, saya memperoleh kiriman-kiriman Illahiah secara gratis. Jadi, tidak ada alasan kan bagi saya untuk menagih imbalan, karena telah menginformasikan hal ini pada Anda? ***



Jakarta, 8 November 2008.

No comments: