Thursday, November 13, 2008

Hijrah

"Seorang munafik tetap keadaan agamanya selama empat puluh tahun. Seorang yang beriman mengalami hijrah empat puluh kali sehari."
—Muhammad SAW


Akhir Mei 2005, saya, yang saat itu masih tinggal bersama istri di Surabaya, ditawari posisi creative director di sebuah biro iklan di Jakarta. Meski saya sudah mengiyakan tawaran tersebut, saya masih bingung, berhubung untuk itu saya harus siap meninggalkan istri saya di Surabaya. Saat itu, kami baru lima bulan menempati rumah kontrakan di kawasan Pasar Turi, dari dua tahun masa kontraknya. Istri saya ingin menyelesaikan masa kontraknya, sehingga harus pula merelakan 'perpisahan temporer' itu. Saya nyaris memutuskan untuk membatalkan kesetujuan saya atas tawaran biro iklan di Jakarta tersebut jika saja pada suatu malam saya tidak menunaikan salat Hajat.

Usai salat Hajat empat raka'at pada waktu tengah malam dan berdoa, saya termenung. Di sebelah kanan saya tergeletak kitab Al Qur'an dan terjemahannya. Iseng saya buka kitab tersebut secara acak. Di luar dugaan, halaman yang saya buka pertama kali justru menyajikan jawaban atas problema saya saat itu. Bukan ayat dari sebuah surat, melainkan catatan kakinya, yang intinya mengutarakan bahwa sebagai muslim ('orang yang berserah diri') seharusnya kita tidak boleh ragu untuk hijrah dari sebuah tempat yang penuh persoalan, semata karena takut tidak mendapatkan rezeki. "...[S]edangkan Allah memberikan rezeki kepada binatang sekali pun," tandas penjelasan pada catatan kaki tersebut. Penjelasan tersebut membangkitkan semangat saya, dan keesokan harinya hati saya telah mantap untuk hijrah (kembali) ke Jakarta, menerima tawaran posisi itu.

Saya bukanlah satu-satunya orang yang mengalami kesulitan ketika harus memutuskan untuk hijrah. Bepergian ke tanah-tanah impian, seperti Amerika Serikat, Eropa, Singapura atau Australia, untuk sekadar berlibur memang mengasyikkan, tetapi untuk hijrah dan menetap di tempat-tempat itu, mulai lagi dari nol, ternyata sama sekali tidak menyenangkan. Pengalaman seorang kawan dan mitra kerja saya yang dikisahkan kepada saya melalui e-mailnya baru-baru ini memberi gambaran bahwa untuk hijrah seseorang perlu kemantapan hati, keberanian, kelincahan dan fleksibilitas dalam bertindak, serta kreativitas.

Kawan dan mitra kerja saya itu baru beberapa bulan belakangan ini memboyong keluarganya ke Singapura, karena situasi di Indonesia tidak menyediakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat bagi anak-anaknya. Saya sempat membayangkan bahwa kehidupan kawan saya itu akan otomatis bahagia dan sejahtera, karena walaupun ia harus merangkak dari bawah lagi, ia tinggal di negara yang kondisinya serba gemerlap seperti Singapura. Namun, kenyataannya, beda antara Indonesia dan Singapura hanyalah pada nama negaranya saja; sedangkan cobaan (dan nikmat) tidak pandang geografi.

Terakhir menjabat kepala divisi komunikasi pemasaran pada sebuah stasiun televisi swasta di Indonesia, kawan saya itu menekuni bisnis 'palugada' (apa yang lu mau, gue ada) setelah hijrah ke Singapura. Menurut pengakuannya, tantangannya sangat berat karena ia sama sekali tidak punya relasi, belum punya gambaran yang jelas tentang prospek di masa depan serta tentang situasi pasarnya. "Di zaman digital ini aja terasa susah, apalagi pada masa Rasulullah... Ngebayanginnya aja gue jadi ngeri," tulis kawan saya itu dalam e-mailnya. Yang membuatnya optimis adalah keyakinan bahwa Tuhan itu Maha Pemurah, selalu siap membantunya.

Hijrah, yang saya maksud dalam tulisan ini, memiliki makna yang luas, bukan sekadar pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Hijrah bisa berarti 'transformasi diri', seperti pada kutipan sabda Muhammad SAW di atas, yaitu keadaan mental-spiritual seseorang. Bisa juga berarti 'transformasi keadaan fisik' seperti berpindah pekerjaan atau berganti profesi. Kebanyakan orang yang saya jumpai mengaku tak akan sanggup menghadapi perubahan dalam hidupnya, sedangkan satu-satunya yang tetap dalam hidup ini hanya perubahan. Sebagian besar orang tidak mau 'pindah ke lain hati' berkaitan dengan pekerjaannya, apalagi mereka yang sudah terbuai di zona kenyamanan, sedangkan semua pekerjaan pada suatu saat akan menjadi obsolete (ketinggalan zaman, tidak terpakai lagi).

Ketika pada tahun 1994 saya mulai melangkahkan kaki di dunia periklanan sebagai penulis naskah iklan (copywriter) khusus media lini atas (iklan suratkabar/majalah, radio dan televisi), saya tidak pernah menyangka bahwa suatu saat saya harus hengkang dari kegemerlapan dan prestise profesi itu. Saat itu tiba tatkala saya hijrah ke Surabaya pada awal tahun 2000. Industri komunikasi pemasaran Surabaya (dan daerah pada umumnya) sarat dengan proyek-proyek di luar media lini atas. Perjalanan karier saya di kota terbesar kedua di Indonesia itu memperkenalkan saya kepada event marketing, promosi penjualan, kolateral pemasaran, dan pengembangan citra yang termasuk ranah public relations. Saya sempat menghindari proyek-proyek non-periklanan tradisional itu, karena bagi saya kesannya tidak bergengsi; saat itu belum ada anugerah penghargaan bagi promosi nir-iklan, semacam Citra Pariwara, yang bisa menaikkan gengsi profesi para praktisinya. Saya lupa akan kenyataan yang berlaku di pasar setempat, di mana dorongan membeli bukan sekadar karena pengaruh periklanan media lini atas; sebagian besar klien saya di Surabaya malah bisa sukses memasarkan produk-produknya justru bukan karena beriklan di suratkabar/majalah, radio dan/atau televisi, melainkan karena pengalaman konsumen dengan merek (brand experience). Saya juga lupa bahwa Citra Pariwara dan sejenisnya bukanlah tujuan sebenarnya dari profesi yang saya lakoni, melainkan membangun merek dari produk-produk yang dipasarkan para pemasar, dan menancapkannya di benak konsumen.

Seandainya saya tidak pernah memutuskan untuk hijrah ke Surabaya—keputusan yang membuat saya dianggap konyol dan bodoh oleh rekan-rekan seprofesi di Jakarta—barangkali selamanya saya buta terhadap entitas bernama 'pemasaran', payung besar yang antara lain menaungi periklanan, tetapi yang anehnya tidak dipahami atau dihindari oleh kebanyakan praktisi periklanan, sehingga saya boleh bernapas lega, karena saya menjadi satu di antara secuil pekerja kreatif periklanan yang mengerti strategi pemasaran, yang akhirnya membuat saya memiliki daya saing di industri komunikasi pemasaran. Barangkali pula, jika seandainya saya dahulu tidak hijrah ke Surabaya, hingga kini saya hanya boleh puas sebagai penulis naskah iklan media lini atas yang dari tahun ke tahun menghibur diri dengan bersorak-sorai, berjingkrak-jingkrak, di ajang Citra Pariwara belaka.

Banyak orang ternyata tidak menyukai kenyataan bilamana dirinya harus meninggalkan suatu keadaan yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya, apalagi bila keadaan tersebut membuat mereka nyaman. Tak heran jika umumnya orang mudah stres menghadapi perubahan. Pada 19 Juni 2007, saya menjadi salah seorang motivator dalam pelatihan bagi lima puluhan karyawan PT Pupuk Kujang yang akan memasuki masa pensiun, bertempat di Hotel Grand Lembang, Bandung, Jawa Barat. Walaupun ada beberapa di antara mereka yang masa pensiunnya masih tiga-empat tahun lagi, tak urung mereka diliputi kebingungan. "Apa yang harus saya lakukan kalau masyarakat tidak memerlukan keahlian saya?" adalah pertanyaan yang banyak dilontarkan kepada saya oleh para peserta saat rehat kopi. Dari situ saja bisa diambil kesimpulan, bahwa perusahaan maupun individu tidak pernah menyadari bahwa keahlian apa pun sewaktu-waktu bisa mengalami perkembangan baru, atau pun tidak dipakai lagi. Di dunia periklanan, misalnya, hingga pertengahan tahun 1990an pernah ada profesi paste up artist, yang kerjanya memotong-motong materi, menempel ilustrasi dan/atau tipografi pada bidang tata letak. Perkembangan teknologi komputer memaksa para paste up artist untuk meninggalkan pekerjaan mereka menata letak secara manual dan beralih ke penggunaan komputer yang lebih praktis dan cepat. Itu berarti bahwa mereka harus bersedia belajar memakai perangkat lunaknya; bagi yang tidak melek komputer, mereka harus belajar dari nol! Pada biro iklan multinasional tempat saya bekerja ketika perubahan itu terjadi, sejumlah paste up artist terpaksa dipensiunkan, karena mereka tidak menunjukkan antusiasme ketika perusahaan menempuh kebijakan untuk melatih mereka dalam pemakaian perangkat lunak untuk tata letak.

Dalam presentasi saya yang berjudul "Improvement Starts with 'I'—Perbaikan Dimulai Dari Diri Sendiri" itu, saya tidak berteori, tetapi membagi-bagi pengalaman hidup saya, antara lain bahwa meskipun usia saya saat itu (39 tahun) belum tergolong usia pensiun, saya sengaja memensiun-dini-kan diri saya—dan menjadi freelancer, agar sedikit banyak saya bisa menghayati problema hidup seorang pensiunan. Momentum pelatihan itu pun merupakan suatu hijrah bagi saya, dari seorang praktisi komunikasi pemasaran menjadi seorang trainer peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang seumur-umur tidak pernah terbayangkan oleh saya, terutama karena saya tergolong pemalu, tidak memiliki cukup keberanian untuk berkoar-koar di depan orang banyak. Tetapi rupanya saya berhasil melaluinya—dan menjadi ketagihan!

Kita tidak akan pernah tahu dengan pasti perubahan apa yang akan kita hadapi di masa depan, yang mendorong kita untuk hijrah, tetapi alangkah bijaksananya jika kita mulai dari sekarang menjadi pembelajar—yang memiliki antusiasme tinggi untuk mempelajari apa pun yang kelak menjadi tren. Satu hal yang saya ketahui dengan pasti adalah bahwa jika kita tidak pernah hijrah dari sikap berserah diri kepada Tuhan dengan sabar, ikhlas dan tawakal, maka kita akan tertuntun dalam menghadapi perubahan, sehingga segala sesuatunya akan baik-baik saja.©



Jakarta, 14 November 2008.

No comments: