Sunday, November 16, 2008

Taman Bermain

"Adalah jiwa kanak-kanak di dalam diri manusia yang menjadi sumber bagi keunikan dan kreativitasnya, dan taman bermain adalah lingkungan optimal untuk menggali semua kemampuannya. "
-- Eric Hoffer (1902-1983), dalam The True Believer: Thoughts on the Nature of Mass Movements, 1951


Bertahun-tahun yang lalu, saya menemukan sebuah iklan di buku album iklan pemenang penghargaan (award-winning ads) yang sempat membuat saya syok. Namun bertahun-tahun kemudian, ketika pengalaman dan pemahaman batiniah saya kian kaya, saya tersenyum mengingat hal itu. Saya lupa, iklan itu disponsori oleh lembaga apa, tetapi pesan yang dikomunikasikannya membangkitkan permenungan. Kepala naskah (headline)nya -- dalam bahasa Inggris -- berbunyi: "Dibutuhkan tiga nama untuk membuat anak-anak ini bertikai di antara mereka sendiri." Visualisasi iklan tersebut menggambarkan tiga anak berwajah lugu duduk berdempetan tanpa masalah, sedangkan pada masing-masing anak dilekatkan nama nabi-nabi dari tiga agama besar dunia -- Muhammad, Yesus, dan Abraham!

Sangat mengejutkan dan kelewat vulgar memang. Tetapi kalau kita masing-masing mendinginkan kepala, meredam emosi, atau sekalian saja menenteramkan rasa diri, kita akan dapat membuktikan pada lembaga yang menyeponsori iklan tersebut bahwa apa yang diiklankannya tidak benar. Apalagi ditambah dengan kita membaca (kembali) buku-buku sejarah agama, kita akan tahu bahwa antara Nabi Muhammad SAW dengan umatnya Yesus dan Abraham -- yang berasal dari satu rumpun dan satu garis keturunan -- tidak pernah terjadi pertikaian, kecuali yang diakibatkan oleh fitnah dari pihak di luar kaum mereka. (Hadis yang menyatakan bahwa Yahudi dan Nasrani adalah kafir ternyata berstatus maudhu', meragukan; hadis itu diciptakan secara sepihak, bernuansa politis, oleh kaum Majusi Persia yang menyembah berhala ketika berperang melawan bani Israil dan kaum Nasrani.)

Ketiga rasul Allah itu pun terkenal suka mendoakan musuh-musuh mereka agar Tuhan mengampuni dosa-dosanya. Nabi Muhammad terluka pada mulut beliau akibat lemparan batu seorang kafir dalam Perang Tabuk. Melihat hal itu, Umar ibn Khattab berseru kepada Nabi, "Kutuklah orang itu, wahai Rasul Allah!" Tetapi Nabi Muhammad malah menegur Umar, "Aku diutus Allah bukan untuk mengutuk manusia!" Lalu Nabi Muhammad mengangkat kedua tangannya dan berdoa, "Ya Allah, ampunilah orang itu karena ia tidak mengerti." Jika Anda orang Islam* yang masih suka merecoki keyakinan orang lain, sepatutnya Anda malu ketika membaca kisah keteladanan Rasulullah ini.

Betapa pun vulgarnya iklan tersebut di atas, saya mengagumi pendalaman materi yang dilakukan oleh tim kreatifnya. Mereka tampaknya mempelajari dunia anak-anak. Richard Dawkins dalam bukunya yang mengguncang kemapanan lembaga-lembaga agama, The God Delusion (2007), menulis bahwa tidak ada yang namanya 'anak Kristen', 'anak Islam', dan 'anak Yahudi'; yang ada hanyalah 'anak dari orang tua yang beragama Kristen', dan seterusnya. Anak-anak adalah makhluk yang suci, tak ternoda, begitu mereka dilahirkan. Orang tua merekalah yang melekatkan macam-macam atribut pada diri mereka. Bagi anak-anak, dunia tempat mereka hidup adalah sebuah taman bermain (playground). Layaknya taman bermain, yang ada hanya kegembiraan, kedamaian, dan pembelajaran.

Saya terkenang pada masa kanak-kanak saya di Negeri Belanda. Pada waktu itu, saya punya dua orang sahabat -- teman-teman sepermainan yang membagi kegembiraan mereka bersama saya di taman bermain dekat lingkungan tempat tinggal kami. Yang satu bernama Peter de Bruin, anak dari orang tua yang beragama Kristen. (Kelak ketika dewasa, Peter memilih menjadi atheis, tetapi toh kami tetap berteman baik dan tetap berhubungan lewat e-mail.) Yang lain, Ruud Verweij, keturunan Yahudi. Namanya anak-anak, ya kami juga suka berantem, gara-gara memperebutkan kelereng, gara-gara merasa dicurangi waktu balap lari sepulang sekolah, dan hal-hal sepele lainnya. Namun permusuhan tidak berlangsung lama; esoknya, di sekolah dan sepulang sekolah, kami bermain lagi dalam suasana kegembiraan dan kedamaian.

Ruud tidak satu sekolah lagi dengan saya dan Peter ketika kelas 3 SD, karena ia tidak naik kelas, sehingga ia pindah sekolah. Apakah persahabatan kami berakhir? Tidak -- kami masih terus bertemu di taman bermain yang sama. Bahkan Ruud ikut les renang bareng saya di pusat olahraga dekat rumah kami; kami mendaftar bersama, berenang bersama, bahkan pernah sama-sama disetrap instruktur renang kami, karena menggoda anak-anak perempuan yang juga sedang les renang.

Kebersamaan saya, Peter dan Ruud tidak pernah sedikit pun terusik oleh atribut-atribut agama yang dilekatkan pada diri kami, yang di dunia orang dewasa justru menjadi sumber pertentangan paling dahsyat, sampai merenggut nyawa. Pada suatu waktu, ketika saya mengunjungi apartemen di mana Ruud tinggal bersama ayah-ibunya, nenek dan kakaknya, ia menanyakan apa agama saya, semata karena ingin tahu saja (khas anak-anak, bukan?). "Islam?" ucapnya dengan kening berkerut, lalu bertanya pada ibunya, "Apakah Islam?" Sang ibu menjawab, "Islam itu Mohamedaan."

Melihat anaknya masih dilanda kebingungan, Bu Verweij menyuruh Ruud membuka ensiklopedia yang bertengger di lemari buku di ruang tamu apartemen mereka yang sempit itu. Ruud membaca keras-keras dan agak terbata-bata, "Mohamedaan adalah sebutan untuk para pengikut Muhammad, seorang nabi dari negeri yang kini bernama Saudi Arabia bla-bla-bla." Ruud mengangguk-angguk, menutup kitab babon ensiklopedia itu dan kami kemudian bermain seperti biasa. Sesimpel itu. Kalau kami orang dewasa, yang membabi-buta dalam beragama, tanpa bekal kesalingpahaman, mungkin bukan pergi nongkrong bareng yang kami lakukan, melainkan saling baku hantam! Tetapi alhamdulillah, bahkan ketika kami dewasa, jiwa kanak-kanak masih terus hidup di dalam diri kami. (Walaupun tidak sesering Peter, hingga kini Ruud masih kontak dengan saya via e-mail.)

Saya tidak sependapat dengan Richard Dawkins (The God Delusion. Houghton Mifflin, 2006) dan Sam Harris (The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason. W.W. Norton & Company, 2004) serta para penulis lain yang berlatarbelakang atheisme, yang menganggap agama sebagai kesia-siaan, sumber malapetaka bagi peradaban manusia. Agama tidak buta, karena ia adalah pedoman hidup kita. Sistem yang diajarkan agama, bila dipahami secara kontemporer dan kontekstual, adalah suatu 'jalan' menuju ke Tuhan. Yang membutakan umat beragama bukanlah ajaran agamanya, melainkan fanatismenya dalam beragama. Tanpa disadari, fanatisme sering membutakan kita sehingga kita menyembah agama tersebut, bukannya Tuhan. Yang disembah adalah atribut-atribut dan materi-materi yang berupa simbol-simbol. (Di tingkat fanatisme, bahkan seorang atheis sama saja dengan umat beragama. Pelopor psikologi agama, William James, dalam Perjumpaan Dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia, Cet. I (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 98, menulis: "Para penentang doktrin [agama] yang paling keras menunjukkan perilaku yang, jika dilihat dari sisi psikologis, tidak bisa dibedakan dari semangat keagamaan.")

Dahulu, pernah ada kasus menyangkut sepatu Big Boss yang garis-garis pada bagian solnya menyerupai aksara Arab untuk 'Allah'. Itu saja sudah menimbulkan keributan di kalangan umat Islam negeri ini. Coba Anda renungkan, deh, tulisan itukah sejatinya Allah, Penguasa Alam Semesta? -- ah, betapa nistanya kedudukan Tuhan bila Anda mengiyakan. Nabi Ibrahim pernah menganggap bulan itulah Tuhannya, tetapi karena bulan kemudian sirna, beliau meragukan anggapannya sendiri. Karena Nabi Ibrahim tidak mau menyembah tuhan yang sewaktu-waktu bisa hilang, saya pun ogah -- saya tidak mau menyembah Allah yang berupa tulisan (Arab) yang sewaktu-waktu bisa dihapus. Saya maunya menghamba kepada Tuhan Yang Maha Ada terus-menerus, Yang Maha Tidak Terusik oleh kasus penyerupaan tulisan Arab pada sol sepatu atau sampul albumnya grup musik Dewa.

Kitab-kitab suci agama-agama wahyu menggarisbawahi bahwa dunia ini memang hanya sebuah taman bermain yang penuh kegembiraan -- walau kita dihampiri kesusahan sekalipun, kedamaian -- meski terdapat perbedaan, tetapi perbedaan adalah rahmatNya, dan pembelajaran -- untuk mengenal diri, mengenal Tuhan, dan untuk sampai pada pemahaman bahwa jalan apa pun yang kita tempuh semuanya menuju kepadaNya! Ketetapan Tuhan bahwa dunia tempat kita hidup adalah taman bermain memang bukan main.©


*) Terdapat perbedaan mendasar antara sebutan 'orang Islam' dan 'Muslim'. Yang pertama mengacu pada orang yang menunaikan ajaran agama Islam secara taklid (ikut-ikutan orang lain), sedangkan yang tersebut terakhir adalah sebutan hakiki bagi orang yang sudah mampu berserah diri kepada Kehendak Tuhan secara sabar, ikhlas, dan tawakal, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad (dan nabi-nabi sebelum beliau). Seorang Muslim menjalankan agamanya secara tahqiq (sadar lahir-batin mengikuti tuntunan Tuhan).



Jakarta, 17 November 2008

No comments: