Monday, November 24, 2008

Kiamat Agama

Dua orang darwis (murid tarekat Sufi) berdebat soal "kebenaran". Karena tidak mencapai titik temu yang memuaskan, keduanya pun menghadap syekh mursyid (guru). Darwis A bilang, "Syekh, menurut saya, kalau mau mendekatkan diri kepada Allah yang benar itu: cukup berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal." Mursyid menjawab, "Ya, kamu benar!"

Tetapi Darwis B membantah, "Syekh, menurut saya itu salah! Kalau kita mau mendekat kepada Allah, kita harus berikhtiar dengan sangat keras, melalui salat, zikir, puasa dan berzakat!" Mursyid pun menjawab, "Ya, kamu pun benar!"

Darwis lain yang ikut mendengarkan merasa bingung dengan sikap mursyid yang membenarkan kedua pendapat itu dan berkata, "Tidak mungkin kan keduanya benar, Syekh?!" Mursyid menjawab dengan tenang, "Ya, kamu pun benar!"

Dari kisah anekdotal yang saya kutip dari buku Christina Feldman dan Jack Kornfield, Menghidupkan Kebenaran Kita: Kisah-Kisah Spirit, Kisah-Kisah Batin--Parabel tentang Jalan Spiritual dari Seluruh Dunia (Pustaka Karaniya, 2003) ini saya menangkap pemahaman bahwa kebenaran itu sangat personal sifatnya. Di dunia spiritual, kebenaran masuk dalam tataran "esoterik", yang dalam bahasa ilmiahnya bersinonim dengan "subyektif". Kebenaran itu bukan ini, bukan itu, melainkan apa yang masing-masing dari kita menerimanya!

Hanya di jalan spirituallah saya menemukan ajang untuk perbedaan pendapat dan "diabsahkan" dengan landasan pemahaman, bahwa semua itu berasal dari Tuhan dan kembali kepadanya. Para anggota Subud cukup merasakan saja suatu pernyataan pendapat dan tidak perlu dipermasalahkan panjang-lebar, yang cuma membuang-buang waktu dan tenaga, bahkan menghambat tumbuh-kembang spiritualitas mereka.

Tetapi di ranah agama yang cenderung legalistik, perbedaan pendapat merupakan dosa dan dianggap bid'ah. Perbedaan pendapat, pandangan, tata cara hukum/syari'at, bahkan dalam soal hakikat ketuhanan pada berbagai agama, secara eksternal (antar agama) maupun internal (antar umat dalam satu agama) tak jarang menimbulkan konflik dan pertumpahan darah. Padahal siapa/apakah Tuhan itu sendiri kita semua belum bisa mencapai pemahaman final. Untuk tujuan yang acap dianggap tidak rasional--misalnya, "membela nama Tuhan"--nyawa banyak manusia bisa dianggap tidak ada artinya. Inilah yang diangkat Sam Harris melalui bukunya, The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason (New York: W.W. Norton, 2004)--sudah tersedia terjemahan bahasa Indonesianya, Terbenamnya Iman: Agama, Teror, Dan Masa Depan Nalar (Abdi Tandur, 2007).

Di dalam buku yang mengundang reaksi keras dari kalangan agamawan, Harris "membantai habis" umat Muslim, Yahudi, Hindu dan Kristen. Umat keempat agama ini dianggap Harris menyembah Tuhan imajiner, menjalankan ajaran dan metode ketaatan yang tidak rasional dan suka menggunakan nalar untuk mencapai cita-cita religiusitas yang tidak masuk akal. Seorang anak muda yang mengaku mendapat sinyal-sinyal dari alien yang menunjuknya sebagai "pewarta kebenaran" atau penerima wahyu dianggap gila! Tetapi, sebaliknya, pejuang Palestina yang meledakkan dirinya bersama puluhan anak-anak tidak berdosa di Israel malah dipuja sebagai pahlawan dan Al Qur'an menjanjikan bidadari yang akan menyambutnya di pintu surga. "Ini lebih gila (insane) daripada anak muda yang mengaku mendapat wahyu dari alien!" kata Harris.

Dalam buku ini Sam Harris menyampaikan analisisnya yang sangat mengejutkan tentang pertentangan (clash) antara nalar dan agama di dunia modern. Buku yang mulai ditulisnya sehari setelah WTC New York rata dengan tanah pada 11 September 2001 ini mengajak pembaca untuk menyusuri perjalanan sejarah dari kesediaan manusia untuk mengabaikan nalar yang rasional demi agama--bahkan walaupun agama-agama tersebut memberi inspirasi kepada tindak kekerasan dan pembunuhan.

Membaca bab-bab awal (dari tujuh bab) kita akan mendapat kesan bahwa Sam Harris adalah seorang atheis. Tetapi memasuki Bab 7 barulah kita akan mengerti bahwa sarjana filsafat dari Stanford yang selama 20 tahun mempelajari berbagai tradisi relijius serta disiplin spiritual dari Timur dan Barat ini merupakan seorang agnostik. Dia mengakui pada epilog buku ini, bahwa dia memuji Buddhisme, yang dalam manuskrip-manuskripnya memberi tekanan kepada cinta kasih dan perdamaian. Harris sendiri melakoni meditasi Zen, yang disukainya karena "tidak mengatur-atur bagaimana seseorang menjalani hidupnya". Dalam Bab 7 juga dikemukakannya bahwa kini saatnya agama harus diakhiri, dan spiritualitas dimulai. (Ingat pernyataan John Naisbitt, "Spirituality yes, organized religion no!"?) Dia berusaha membuka insight pembaca dari sudut pandang neuroscience, filsafat dan mistikisme dunia Timur untuk menyampaikan bahwa masyarakat membutuhkan pondasi modern bagi etika dan spiritualitas yang bersifat sekuler dan humanistik.

F. Budi Hardiman dalam tulisannya di Kompas, 5 April 2007, berjudul "Agama dalam Ruang Publik", mengatakan bahwa masyarakat Barat menerapkan sekularisme sebagai suatu cara untuk mengakhiri absolutisme agama dan konflik-konflik agama. Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir-nya yang bertajuk "Pagoda" di Tempo, 1 April 2007, juga mengungkap kerisauan yang kurang lebih sama dengan F. Budi Hardiman. Agama, tulis Goenawan, dimulai dengan senyap, hening dan sebuah saat yang dahsyat, juga gemetar, rasa kasih dan ngeri, serta amor dan horor. Tetapi kini, agama menjadi terkonstruksi, tak lagi senyap. Agama kini identik dengan bangunan, simbol dan sikap (maksudnya sikap memamerkan relijiusitas melalui penampilan berpakaian; seseorang diragukan keislamannya bila tidak tampak seperti orang Timur Tengah: jenggot, jubah, kopiah).

Menurut hemat saya, baik Harris maupun umat Islam skripturalis (yang berpedoman pada ayat-ayat kitab suci tanpa memahami maknanya) tidak sepenuhnya memahami bahwa kajian Islam itu memerlukan pikiran yang terbuka dan wawasan yang sangat luas dan mendalam. Harris tampaknya tidak tahu bahwa di Indonesia terdapat komunitas Islam Kejawen yang mengajarkan compassion dan surrender serta hakikat bahwa semua manusia bersaudara. Harris tampaknya tidak tahu tentang banyaknya mazhab syari'at dan fikih di dalam Islam, yang agaknya juga menjadi salah satu penyebab timbulnya pertentangan antar umat Islam, semata karena umat mazhab Syafii yang dominan di Indonesia tidak mengerti eksistensi mazhab lainnya sehingga serta-merta memusuhi mereka. Dalam hal ini, tampak bahwa yang memporakporandakan kedamaian umat beragama adalah hukum-hukum--yang dipandang Sam Harris tidak bisa berjalan seiring dengan perkembangan zaman serta tidak rasional. Mengenai hal ini Goenawan mengatakan:

"Sebenarnya agama pernah dimaksudkan untuk membebaskan kita dari [hasrat akan milik dan milik atas hasrat]. Tapi apa lacur: agama, yang bermula pada senyap dan berakhir dengan konstruksi, juga akhirnya hanya jadi simtom sebuah kerisauan: merasa diri subyek yang utuh dan permanen, orang-orang beragama tak henti-hentinya berusaha menaklukkan ruang-dan-waktu, merampat yang-lain di dalam dan di luar diri. Itu terutama terjadi ketika konstruksi, bukan sepi, mengambil alih--dan tak hanya berupa masjid dan candi, tapi juga lembaga dan hukum-hukum."

Gerakan New Age yang bangkit di Barat pada tahun 1970an sebenarnya merupakan upaya untuk memanusiakan manusia (manusia sebagai pribadi (inside-out), bukan sebagai sekumpulan obyek dari eksploitasi segala sesuatu di luar dirinya(outside-in)). Tetapi gerakan ini menemui jalan buntu, karena pelakunya--yang belum mau menyelami kediriannya--bergantung kepada "luar diri"; mereka mengonsumsi narkoba untuk mencapai ekstase [pseudo-]spiritual, misalnya.

Sejumlah agama kini satu per satu ditinggalkan umatnya, di dunia Barat maupun Timur, hanya karena tidak mampu relevan. Manusia cuma dianggap sebagai robot yang tidak punya hasrat, nilai dan visi. Kalau kita tidak bisa menghargai kebenaran manusia lain, dan malah memaksakan kebenaran kita sendiri, matilah kita![]



Jakarta, 25 November 2008

No comments: