Wednesday, November 12, 2008

Makhluk Gaib Bernama Peluang

"Peluang-peluang kecil seringkali menjadi awal dari pekerjaan-pekerjaan besar."
– Demosthenes


Beberapa bulan setelah dibuka di Subud Cabang Surabaya saya sering mendapat pengalaman-pengalaman rohani yang cukup mengganggu: mata lahiriah saya menjadi sangat tajam, sehingga mampu melihat makhluk-makhluk dari alam gaib. Mereka yang begitu halus dapat tertangkap begitu jelas oleh mata saya, membuat bulu kuduk saya berdiri.

Pengalaman yang saya rasa paling menyeramkan terjadi pada bulan Maret 2005. Saat itu, saya tengah menunaikan puasa seratus hari. Pukul 00.00, saya mengerjakan salat Hajat empat raka'at. Usai salat, dan pada saat berwirid sambil memejamkan mata, saya mulai merasa tidak nyaman. Lama kelamaan, kepala saya terasa pening, kemudian berat. Saya lalu membuka mata dan... saya langsung kaku membeku: Jidat saya menempel pada jidat kuntilanak! Saking takutnya, saya seakan terpaku di sajadah. Segera saya pejamkan mata lagi dan melakukan Latihan Kejiwaan selama beberapa menit. Begitu mata saya buka, saya melihat sosok Mbak Kunti berubah menjadi sinar putih yang melesat pergi.

“Cukup sudah!” saya berkata pada diri sendiri keesokan harinya, setelah menceritakan pengalaman itu kepada istri saya—yang rupanya sering merasakan keberadaan makhluk gaib itu di pojok dapur rumah kontrakan kami di kawasan Pasar Turi, Surabaya. Tidak seperti saya yang bisa melihat dengan mata kepala sendiri adanya makhluk gaib, istri saya yang juga sudah Subud peka perasaannya terhadap kehadiran mereka. Tetapi dalam tulisan ini, saya bukan hendak bercerita tentang Dunia Lain—saya mohon maaf, kalau mengecewakan Anda yang ingin bisa menyelami alam gaib, bertungkus-lumus dengan kebatinan atau perdukunan; untuk itu, silakan Anda baca saja majalah Liberty atau Misteri.

Sejak mengalami rendezvous dengan wanita putih nan menyeramkan itu (ah, ternyata tidak secantik yang diperankan Diah Permatasari tuh), saya berdoa kepada Tuhan begini: "Ya Tuhan, terima kasih atas pemberianMu, tetapi kemampuan melihat makhluk gaib seperti itu (kuntilanak, genderuwo, pocong, dll.) tidak ada gunanya bagiku. Berilah aku, ya Allah, yang berguna bagi hidupku dan pekerjaanku. Berilah aku kemampuan untuk melihat makhluk gaib bernama 'peluang'."

Kenapa saya menggolongkan peluang sebagai 'makhluk gaib'? Karena ternyata tidak semua orang bisa melihatnya. Seperti halnya golongan jin dan kerabatnya yang diyakini ada di depan mata kita, begitu pula dengan peluang. Diperlukan kemampuan khusus agar bisa melihat peluang, tetapi kemampuan itu bukan hanya untuk mereka yang 'khusus'. Semua orang berpeluang untuk bisa melihat peluang. Dalam Bahasa Indonesia dikenal ungkapan 'jeli melihat peluang'. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II (Jakarta: Balai Pustaka, 1996) mengartikan 'jeli' sebagai (1) elok dan bercahaya: gadis itu bermata jeli; (2) awas, tajam (penglihatan): pihak yang berwajib tentunya perlu lebih jeli. Dalam kaitan dengan tulisan ini, saya menggunakan pengertian yang kedua.

Peluang ada di mana-mana, menempel pada setiap benda dan peristiwa yang ada di sekeliling kita. Tak heran, Pak Subuh senantiasa menganjurkan kita agar rajin niteni ('memperhatikan', 'menganalisis', 'membaca'), karena menurut pengalaman saya, niteni melatih saya untuk selalu sadar, yang kemudian membuat saya dapat menemukan ide-ide. Seperti peluang, ide juga tergolong makhluk gaib—tidak kelihatan, tetapi ada. Jim Aitchison dalam bukunya, Cutting Edge Advertising (2003), menulis bahwa tugas seorang pekerja kreatif periklanan bukanlah mencari ide, melainkan menemukan ide, karena ide sudah tersedia 'dari sononye'.

Untuk mendukung kelancaran wirausaha, apalagi yang mengambil bentuk bisnis, diperlukan kejelian melihat peluang. Pertanyaannya, bagaimana sih caranya agar kita bisa jadi penangkap makhluk gaib bernama 'peluang'? Ada berbagai cara, tetapi yang jelas Anda tidak perlu bergabung dengan kelompok Pemburu Hantu. Cara saya, antara lain, adalah dengan menumbuhkan kesukaan membaca. Membaca apa saja, tidak mesti buku; bisa koran, majalah, novel, brosur, selebaran, dll. Bagi saya, membaca juga merupakan bentuk ikhtiar/enterprise, karena sangat membantu saya dalam menulis—yang merupakan sumber penghidupan saya.

Buku/bacaan adalah jendela dunia; ia membuka ruang imajinasi seluas-luasnya, membawa kita ke penjelajahan wilayah tanpa batas, yang bisa kita telusuri sejauh dan seluas yang dapat dijangkau oleh kemampuan akal budi kita. Penelusuran literal Karl May (1842-1912) sangat mengesankan saya. Penulis berkebangsaan Jerman yang sangat terkenal ini sedang meringkuk di penjara—divonis tujuh tahun karena dituduh mencuri—ketika ia menulis novel Winnetou yang mengetengahkan petualangan Winnetou, kepala suku Indian Apache, dan petualang Eropa yang karena kekuatan pukulan tangannya lantas dijuluki "Old Shatterhand" (tangan yang menghancurkan). Deskripsi Karl tentang wilayah barat Amerika pada abad ke-19 amat mendetil dan realistik. Sungguh hebat, mengingat bahwa penulisnya belum pernah ke Amerika dan sedang dibui pula! Selama di penjara, Karl banyak membaca, terutama buku-buku geografi. Dari itulah Karl mendapat ilham untuk menulis kisah petualangan. Terbayang oleh saya, sementara badannya terkungkung tembok penjara, imajinasi Karl May bebas melanglang buana.

Saya meluangkan waktu 3-5 jam per hari untuk membaca. Dahulu saya kurang suka membaca, tetapi setelah paman saya meledek, "Kuliah di Jurusan Sejarah kok nggak suka baca? Oom baca sehari lima jam," saya tertantang untuk mencobanya. Tantangan terbesarnya adalah ketika saya menghadapi ujian komprehensif (ujian lisan seluruh mata kuliah) yang mewajibkan mahasiswa jurusan sejarah Fakultas Sastra UI untuk membaca minimal lima puluh buku. Dengan lima puluh tiga buku yang saya ajukan saya hanya punya waktu dua minggu untuk membacanya hingga tuntas semuanya dan siap diajukan ke meja hijau (meja sidang di ruang ujian memang bertaplak warna hijau). Keluar dari ruang ujian dalam keadaan mental babak-belur dihajar intelektualitas para dosen penguji, saya merasa menyesal, kenapa sebelum-sebelumnya saya kurang suka membaca. Sejak itu, saya bertekad untuk menanamkan kesukaan membaca pada diri saya. Buahnya terasa manis ketika saya mulai berkarier sebagai copywriter, di mana wawasan yang saya peroleh dari membaca amat membantu dalam merancang konsep-konsep komunikasi yang kreatif. Karena itu, manfaatkanlah peluang membaca untuk membaca peluang.

Cara lainnya adalah dengan menjalani hidup secara sadar. Mata melek, mampu melihat apa-apa yang nyata di sekeliling kita, belum cukup untuk mempredikatkan diri kita sebagai 'sadar'. Siddhartha Gautama suatu kali ditanya seseorang tentang apa yang dia lakukan bersama para pengikutnya. Siddhartha menjawab, "Kami makan, minum, tidur, kawin, bekerja." Si penanya heran dan berkata, "Lho, itu kan sama saja dengan kita semua." "Oh beda," tandas Siddhartha. "Kami melakukannya dengan sadar." Cuplikan kisah itu membuat saya merenungkan maknanya, juga ungkapan dalam kitab Wulangreh yang menyatakan, "Denkaesthi siyang ratri—sadar siang dan malam."

'Sadar' berbeda dari 'tahu'. Pada 'sadar' terdapat unsur 'mengerti benar perbuatan yang dikerjakan'. Banyak orang yang bekerja tetapi tidak pernah mengerti apa yang dikerjakannya. Mereka itu 'tahu', tetapi belum sadar. Sejumlah eksekutif public relations di perusahaan komunikasi pemasaran tempat saya bekerja sebelum menjadi freelancer 100%, tidak memahami benar esensi dari komunikasi. Mereka itu belum sadar akan pekerjaannya. Kawan saya suatu kali membaca sebuah buku, tetapi ketika saya minta penjelasan tentang isi buku yang dibacanya, ia terbata-bata menjawabnya. Artinya, ia tidak sadar ketika membaca.

Tahun 1997, saya berkesempatan bekerja pada sebuah biro iklan papan atas yang creative director-nya berkaliber tinggi. Dia cepat sekali dalam hal menuangkan ide copywriting, mendorong saya untuk mengorek rahasia 'beride dalam kecepatan 250 km/jam'-nya. "Kamu nulis aja tiap saat. Lama-lama kamu terbiasa. Akrabi pekerjaan kamu, cintai dia, supaya kamu sadar dengan apa yang kamu kerjakan." katanya, membeberkan rahasia kesuksesannya.

Ya, itulah cara-cara saya agar senantiasa jeli melihat peluang. Dan biarpun kini saya fasih dalam melakukan pekerjaan saya, tak henti-hentinya saya belajar dengan membaca aneka literatur maupun membaca kehidupan. Sebab peluang itu ibarat makhluk gaib yang mengisi boneka jelangkung: "Datang tak diundang, pulang tak diantar."©



Jakarta, 13 November 2008.

No comments: