Sunday, November 2, 2008

Sekolah Hidup Tingkat Lanjutan

“Satu hal tentang sekolah pengalaman adalah bahwa ia akan mengulang pelajarannya jika Anda gagal pada saat pertama.”
– Anonim.


Tanggal 28 Februari 2006, saya diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, karena sakit pada perut yang didiagnosis dokter sebagai ‘infeksi lambung’. Selain itu, ada efek samping yang ditimbulkan oleh penyakit itu, yaitu sebagai akibat keseringan muntah yang dipaksakan menimbulkan luka-luka di sepanjang saluran kerongkongan saya. Hal ini diketahui setelah pada 2 Maret 2006 saya menjalani pemeriksaan endoskopi.

Saya mulai merasakan gejala ke arah penyakit itu sejak sekitar awal bulan Januari 2006, di mana setiap kali usai makan saya merasakan mual pada perut saya, namun tidak begitu saya gubris, sehingga tidak mengambil langkah medis apa pun. Pada 17 Februari 2006, malam, saya dan empat orang teman sekantor mengunjungi seorang saudara Subud kami di Ciganjur. Salah seorang teman saya itu sudah dibuka dan tiga lainnya berminat terhadap Latihan Kejiwaan Subud (LKS), sehingga saya sarankan agar mereka mendapat informasi lebih banyak dari saudara Subud itu.

Pada malam itu, saya sudah merasakan sakit pada perut saya, tetapi saya tahan, demi memenuhi keinginan teman-teman saya untuk mengenal LKS. Pulang dari Ciganjur pada pukul 23.30an, sakitnya semakin menjadi-jadi. Sakit itu sempat hilang sesaat sewaktu saya berlatih kejiwaan di Hall Ciganjur, sehingga saya berkesimpulan sakit atau sehat itu hanya soal rasa!
Sabtu pagi, 18 Februari 2006, saya terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa pada perut saya. Saya memang menderita sakit maag sejak masih kecil dan sepanjang hidup saya beberapa kali sakit itu kambuh dengan ulu hati serasa diremas-remas. Namun sekarang ini sakitnya bukannya pada ulu hati saja, melainkan keseluruhan perut. Perut saya serasa terbakar, bagaikan ribuan jarum menancap di kulitnya. Mulai Sabtu itu hingga Selasa, 28 Februari, ketika saya dibawa istri dan ipar saya ke Instalasi Gawat Darurat RSPP, saya hanya bisa menjerit-jerit kesakitan!

Seumur-umur, saya belum pernah dirawat di RS. Saya ke RS hanya untuk menjenguk orang sakit atau tes laboratorium. Sebisa mungkin saya menghindari RS, semata karena saya fobia jarum suntik! Makanya, ketika saudara-saudara dan famili-famili saya mendapat kabar bahwa saya diopname, mereka kaget, bukan karena penyakitnya, melainkan kenyataan bahwa saya selama ini takut jarum suntik. Terbayang oleh mereka, apa saya sanggup menerima tusukan jarum infus, cek darah dan tes obat (melalui injeksi). Kenyataannya, saya sanggup—karena terpaksa—daripada harus menanggung rasa sakit yang tak terperikan itu. Dan selama diopname yang baru pertama kali saya alami ini saya mendapat banyak ‘pengalaman pertama’ dalam satu paket: diinfus (yang posisinya harus beberapa kali diganti, karena saya tidak bisa diam), di-USG, di-endoskopi, di-CT Scan.

Selama didera rasa sakit yang bukan kepalang itu, terutama selama seminggu lebih sebelum akhirnya saya diopname, saya giat berdialog dengan Tuhan, dalam suasana obrolan layaknya dengan seorang sobat. Terus terang, selama sakit itu, saya merasa sebal dan jengkel dengan Tuhan. Bahkan saya sempat bertekad dalam hati, bila saya sembuh kelak saya akan keluar dari Subud dan tidak mau lagi berbakti kepadaNya. Buat apa berbakti kepada Tuhan yang cuma memberi penderitaan, pikir saya waktu itu. Pada salah satu malam, di mana saya meraung-raung kesakitan, saya beranjak dari atas kasur dan duduk di kursi yang ada di kamar saya. Malam sudah sangat larut dan seluruh dunia mungkin sudah lelap, namun saya tidak peduli. Dengan cueknya, saya menjerit kesakitan, diselingi lontaran caci-maki kepada Tuhan yang saya tuding telah memberi saya rasa sakit itu.

Dekat kursi yang saya duduki terdapat sebuah rak buku. Entah bagaimana mata saya ‘diarahkan’ ke situ dan tertangkaplah sebuah buku kecil berwarna hijau. Saya tergerak untuk mengambilnya. Ternyata sebuah buku berisi Surah Yasin dan doa-doa tahlil. Entah iseng atau ingin melupakan rasa sakit, saya baca Surah Yasin itu secara acak. Ada sebuah ayat—saya lupa ayat berapa—hasil pilihan acak tadi, yang kira-kira berbunyi, “Kemalangan itu berasal dari dirimu sendiri…” Saya marah bukan kepalang dan saya campakkan buku Surah Yasin itu, seraya menengadahkan wajah saya dan berkata lirih, “Ya Allah, oke aku ngaku, deh, ini memang akibat kesalahanku sendiri. Aku tobat dan janji nggak akan ngulangi lagi. Tetapi Engkau kan bisa menghilangkan rasa sakit ini?” Bukannya hilang, sakit itu malah bertambah setelah saya berucap begitu. Dan saya semakin sebal padaNya!

Selama menderita sakit ini, saya mengalami momentum-momentum spiritual yang membawa saya kepada kepahaman yang bersifat sangat personal. Selama ini saya dicekoki oleh ajaran agama (bukan agama itu sendiri, tetapi orang-orang yang saya anggap pintar dalam ilmu agama), bahwa Tuhan itu ada. Setelah menjalani LKS, saya merasakan Tuhan itu ada. Nah, pas sakit, luntur kepercayaan mendasar saya bahwa Tuhan itu ada sebagai entitas yang terpisah: ini kita dan itu Dia! Selama menderita sakit ini saya mengalami banyak kejadian, baik lahiriah maupun batiniah. Ketika berpikir/merasakan sakit, maka sakitlah saya. Ketika berpikir/merasakan sebaliknya, maka sebaliknya yang saya rasakan. Saya merasakan bahwa Minggu, 5 Maret 2006, harusnya hujan, eeh dalam sekejap matahari yang bersinar cerah tertutup awan mendung dan hujan pun turun dengan derasnya. Disertai petir yang menggelegar. Saya menolaknya, dan seketika itu pula petirnya sirna. Saya tidak merasa seperti memerintah Tuhan, tetapi hanya menjodohkan rasa saya dengan Sumber Rasa.

Hal yang menjadi perhatian saya sejak saya diopname adalah bahwa dokter yang merawat saya—Dr. Deskian, Sp.PD dan Dr. Haryadi, Sp.PD—meragukan diagnosis mereka sendiri tentang penyebab penyakit saya. Mereka tidak menemukan tanda-tanda naiknya asam lambung, atau penyebab-penyebab eksternal lain, seperti alkohol dan stres berat. Saya pernah minum alkohol hingga mabuk berat sampai tiga kali, tahun 1995 dan 2002. Kadar itu terlalu rendah untuk disimpulkan sebagai penyebab penyakit saya sekarang ini. Dokter Haryadi akhirnya memaksa saya untuk mengakui, bilamana saya punya permasalahan psikologis. Ia tambah bingung, karena sejak ikut Subud kenyataannya saya tidak pernah lagi dihinggapi stres berat, depresi dan problema-problema psikologis lainnya. Karena saya sudah tahu obatnya: segala permasalahan diserahkan kepada Tuhan.

Gejala rasa sakit pada perut saya juga di luar kebiasaan ketika maag saya kambuh. Dahulu, bila maag saya kambuh, maka yang saya rasakan adalah sakit pada ulu hati tokh! Sekarang, seluruh perut saya sakit, perih, nyeri, bagai ditusuk ribuan jarum. Pada Jum’at pagi, 3 Maret 2006, saya sempat menggelepar di lantai kamar RS karena serangan sakit itu. Saya mencengkeram perut saya, dan berteriak-teriak minta perawat menolong saya. Dibantu istri saya, seorang perawat pria mengembalikan saya ke tempat tidur. Para penunggu pasien lainnya sempat berkerumun di sekitar ranjang saya. Salah seorang di antaranya, seorang ibu tua, berkomentar, “Sakit maag kok ya sampai kaya’ gitu sakitnya?” Ibu itu juga pernah sakit maag, kisahnya pada istri saya, tetapi ia keheranan mendengar penggambaran istri saya bahwa sakit yang saya rasakan itu seperti ditusuk ribuan jarum.

Segera setelah saya tenang, cairan anti-biotik disuntikkan melalui selang infus di pergelangan tangan kanan saya. Tetapi yang sesungguhnya membuat saya tenang adalah bisikan lembut istri saya, meminta saya beristighfar, mengucap namaNya mengiringi pola pengaturan nafas—menarik melalui hidung dan diembuskan lewat mulut secara lirih. Istri saya juga mengatakan, bahwa saya sesungguhnya tidak sakit, tetapi ‘merasakan’ sakit. Artinya, rasa itu tinggal diganti saja. Saya jadi teringat ketika bersama dua saudara Subud saya pergi ke Surabaya dalam rangka memenuhi undangan Forum Komunikasi Pemuda Subud Jawa Timur di Probolinggo, akhir Desember 2005. Untuk saya telah dipesankan tiket pesawat, hal mana membuat jantung saya deg-degan, karena saya fobia terbang. Sampai di Bandara Soekarno-Hatta, saya tetap tidak buka mulut tentang fobia tersebut. Tetapi saya pikir, kedua saudara Subud itu bisa merasakannya. Jantung saya serasa jatuh ke perut begitu roda pesawat menggelinding di taxiway menuju landasan. Dalam hati saya menangis, karena merasa tidak mampu mengatasi rasa takut itu. Begitu pesawat telah berada dalam posisi siap take-off dan kedua mesin jetnya dinaikkan tekanannya, saya LKS sejenak. Hasilnya? Rasa takut itu dalam sekejap berubah menjadi rasa senang dan pasrah (dengan kenyataan bilamana pesawat itu jatuh ya saya mati). Rasa senang itu begitu menggebu-gebu mengiringi badan pesawat yang melesat hingga ketinggian 33.000 kaki!

Hari-hari berikutnya, setiap kali rasa sakit muncul, saya berusaha menyatukan diri dengan rasa itu dan mengatur nafas disertai istighfar. Ternyata lebih ampuh daripada antibiotik. Perlu diketahui, bahwa selama saya sakit ini, saya sudah mendatangi dua dokter umum dan satu dokter spesialis, sebelum akhirnya diopname. Semuanya meresepkan obat untuk mengatasi nyeri lambung, tetapi semuanya tidak mempan. Obat-obat oral maupun infus di RS pun sama, tidak menghilangkan, namun sekadar mengurangi rasa sakit!

Hari Sabtu, 4 Maret 2006, saya mulai ‘tertuntun’ ke dalam keadaan kontemplatif. Saya mulai melihat adanya rangkaian sistematis gaib yang menghinggapi hidup saya tiga minggu belakangan ini. Penyakit ini ternyata hanyalah ‘pengantar’ bagi saya untuk mendapat pembelajaran tentang hidup. Sebab, saya menganalisis, berdasarkan pengalaman saya sendiri maupun orang lain, bahwa penyakit maag saya ini sesungguhnya bisa disembuhkan dengan obat yang dijual bebas di warung. Tetapi kenyataan yang saya hadapi, saya harus berurusan dengan rumahsakit dan perawatan medis serius yang juga menimbulkan penyakit ‘kanker’ bagi saya, alias ‘kantong kering’. Saya mulai merasakan adanya ‘pekerjaan’ Tuhan dalam hal ini. Ini penyakit biasa yang bukan biasa. Dalam bahasa Subudnya, ‘pembersihan’.

Hari Sabtu itu, saya mendapat kepahaman, bahwa saya ternyata bukan sedang berada di RS, melainkan di SHTL (Sekolah Hidup Tingkat Lanjutan). Mata saya dibuka lebar-lebar dan kesadaran saya dikedepankan. Penerimaan hebat yang saya alami adalah pada malam Minggunya. Saya tidak bisa tidur dan sama sekali tidak mengantuk maupun merasa lelah. Tiga perawat yang datang bergantian memeriksa saya malam itu, menanyakan apa yang saya pikirkan. Tidak ada yang saya pikirkan. Otak saya sudah nol, hampa, kosong melompong!

Ketika semua sudah pada tidur (saya dirawat di Kamar Kelas 3 yang berisi lima tempat tidur dan semuanya terisi), mulailah saya mendengarkan suara batin itu. Penulis buku Growth to Selfhood: A Sufi Contribution (1998), A. Reza Arasteh, mengatakan, bahwa setiap orang paling tidak sekali dalam hidupnya pernah mendengarkan suara batinnya. Saya mendengarkan suara batin berkali-kali selama hidup saya, karena diri sejati saya ternyata jauh lebih pandai daripada seorang Anto Dwiastoro yang bergelar sarjana sejarah dari Universitas Indonesia itu.

Sejelas-jelasnya suara batin, suara batin saya teramat jelas: suara dari dalam diri yang mengajarkan saya tentang kebijaksanaan. Suara itu berkata, “Kamu selama ini menulis tentang ‘kesadaran’ dan memberitahu orang lain tentang perlunya ‘kesadaran’. Kamu sesungguhnya tidak tahu apa hakikat kesadaran itu! Sekarang kamu akan mendapat pelajaran tentang itu. Perhatikan!”

Saat itu, muncul rasa sakit di perut saya. Secara refleks, saya melakukan apa yang disarankan istri saya: mengatur nafas dan beristighfar. Saat itulah, suara batin itu berkata lagi, “Itulah napasmu! Kamu selama ini tidak sadar akan napasmu, sehingga kamu merusak eksistensinya.” Mendadak napas saya berhenti dan dada saya sesak. Suara batin itu melanjutkan, “Rusak terus kemurnian napasmu, maka kamu akan terus merasakan sesak.” Setelah ‘ia’ berkata begitu, sesak napas saya hilang dan saya bernapas seperti sediakala.

Saya tiba-tiba merasa pegal pada lengan dan tangan kanan saya yang sejak sehari sebelumnya ditancapkan selang infus padanya. Tetapi saya tidak bisa menggerakkan tangan saya, khawatir akan mengeluarkan darah di selang infus. Saat itulah, suara batin itu berkata, “Baru sadar kan kalau kamu punya tangan? Selama ini, kamu tidak sadar dan entah sudah kamu pakai untuk apa saja tanganmu itu. Pakailah tanganmu dengan sadar dan kamu akan terhindar dari kekotoran!”

Lalu terasa lagi sakit di perut. Dan suara batin itu berkata, “Setelah sekian lama, baru sadar kan kamu kalau kamu punya lambung? Lambung itu bukan kantong yang cuman ditempelkan Tuhan di badanmu lantas kamu masukkan kotoran-kotoran ke dalamnya.” Sewaktu saya di-endoskopi, saya melihat sendiri bagian internal lambung saya, dan barulah saya sadar bahwa selama ini saya tidak sadar. Bagian lambung itu ternyata sangat sensitif. Makanan dan cairan yang melewati bagian itu perlu waktu untuk bisa dicerna sampai tuntas. Makanan yang tidak mudah dicerna akan menempel pada dinding lembutnya dan berisiko menimbulkan luka. Ya Tuhan, ampunilah kecerobohanku selama ini!

Suara batin itu berkata lagi, “Sadarilah apa yang kamu makan. Jangan berlebihan, jangan kekurangan. Perutmu adalah pusat kehidupan. Kamu bisa hidup karenanya!” Saya juga diberitahu oleh si batin ini, bahwa hakikat salat (menghadap Tuhan) adalah mengurus diri dengan sebaik-baiknya. Badan kita dan isi dari diri kita bukanlah milik kita, tetapi dititipkan ke kita agar dirawat. Ikhtiar merawatnya membuat kita senantiasa sadar siapa diri kita, mengenal benar diri kita. Dan barangsiapa mengenal dirinya maka ia pasti mengenal Tuhannya.©



Jakarta, 3 November 2008.

No comments: