Sunday, November 16, 2008

Menjelajahi Dunia Tanpa Batas

"Anda punya pikiran seperti perpustakaan, bukan gudang. Ada dunia di luar sana. Jadilah seorang penyapu jalanan, tukang pukul, matador, dan Anda akan memperoleh lebih banyak informasi daripada yang Anda butuhkan."
-- Neil French tentang ketidakmengertiannya atas orang-orang yang langsung bekerja di periklanan setelah tamat kuliah, dalam Jim Aitchison, Cutting Edge Commercials: 138.


Seorang saudara Subud saya suatu ketika memberi saya sebuah PDA (personal digital assistant). Karena sudah lama saya penasaran pada benda itu, saya menghabiskan waktu beberapa hari untuk menjelajahi fitur-fiturnya. Minat saya pada PDA itu ternyata tidak bertahan selama rasa penasaran saya. Lalu ada kawan yang usul agar menunya ditambah dengan gambar/foto, musik, dan permainan. Saya mengikuti usulnya, tetapi itu pun tidak membantu hasrat saya untuk menjelajahi dunia tanpa batas, sampai saya mengkhayalkan PDA atau telepon seluler atau komputer yang fitur-fiturnya bisa berganti dengan sendirinya dengan sesuatu yang baru setiap hari. Sadar bahwa itu mustahil, kecuali dengan meng-install perangkat lunak baru yang juga belum tentu bisa dilakukan setiap hari, maka saya menyimpulkan bahwa perangkat gadget itu, ya, sekadar benda yang memberi kepuasan sesaat.

Tahun 1999, ketika saya tengah diliputi penasaran akan internet, saya diterima bekerja sebagai editor pada sebuah lembaga swadaya masyarakat. Sesuai fungsi saya selaku editor, tugas saya adalah menjelajahi internet, 8 jam per hari, 5 hari dalam seminggu, mencari perkembangan-perkembangan baru di bidang sosial dan ekonomi untuk selanjutnya dibuatkan artikel. Di waktu luang, saya mencari hal-hal lainnya. Internet berhasil memuaskan rasa penasaran saya sekaligus memupuskan greget saya. Internet memang menyediakan informasi A sampai Z, tetapi tidak segalanya! Daya imajinasi saya melampaui dunia maya yang ternyata masih memiliki keterbatasan.

Dunia tanpa batas yang begitu ingin saya jelajahi rupanya bukan terdapat pada benda-benda elektronik yang dicap 'adi-canggih' itu, yang menjadi aksesori vital manusia millenium hingga kehilangan esensi dirinya. Bagi manusia modern saat ini, kehilangan/tidak memiliki perangkat pelengkap tersebut berarti kiamat. Hah?!

Saya tidak menafikan kegunaan PDA, ponsel, kamera digital, komputer dan internet. Di Abad Informasi ini, teknologi-teknologi itu memang memudahkan hidup kita. Namun saya menyayangkan jika semua itu malah menghambat tumbuh-kembangnya kreativitas kita. Semua teknologi adalah produk dari kreativitas manusia, tetapi produknya sendiri tidak bisa diandalkan untuk memberi kita ide-ide kreatif.

Salah seorang creative director yang menjadi narasumber bagi buku Jim Aitchison, Cutting Edge Commercials (2002), punya kebiasaan menempelkan pada komputer-komputer di departemen kreatif yang dikepalainya stiker bertuliskan: "Benda ini tidak bisa memberi Anda ide!" Ia mendorong semua awak kreatif untuk menemukan ide dengan menjelajahi 'dunia di luar sana'. Ya, hidup ini menawarkan berbagai aspek yang amat dinamis jika saja kita mau melakoninya dan menerima tantangan-tantangannya sebagaimana adanya. Melakoni hidup berbekal kreativitas bahkan lebih mengasyikkan dan menyehatkan jiwa kita. Arthur J. Cropley dalam "Definitions of Creativity" (Encyclopedia of Creativity, vol. 1: 512), berpendapat bahwa kreativitas dipandang dapat mendorong kita melakukan penyesuaian yang positif terhadap kehidupan.

Bagi saya, kreativitas menyingkirkan segala hambatan. Yang tidak mungkin menjadi mungkin, paling tidak dalam ruang imajinasi saya. Enam tahun kuliah di jurusan sejarah tidak menghalangi saya untuk menjadi praktisi periklanan. Empat belas tahun melanglang di dunia periklanan tidak menghambat saya untuk tampil sebagai pembicara dalam seminar pengembangan diri. Walaupun pada dasarnya saya beragama Islam, hal itu tidak merintangi saya untuk membaca dan memperoleh pemahaman dari Alkitab, Zabur, Taurat, Tipitaka, serta menekuni amalan Buddhisme. Sebelum Anda mengerutkan kening, lantas meragukan keislaman saya, coba deh telusuri buku Jamal Badi dan Mustapha Tajdin, Islamic Creative Thinking -- Berpikir Kreatif Berdasarkan Metode Qurani (Bandung: Mizan, 2007), yang mengemukakan sejumlah ayat yang intinya membenarkan umat Islam untuk ber-ijtihad (berusaha keras) melalui jalan yang kreatif, jika tidak ditemukan solusinya di dalam Al Qur'an dan Hadis.

Dunia tidaklah selebar daun kelor. Karena itu, meski saya aktif berspiritualitas, yang sering dianggap urusan akhirat, saya tetap manusia normal yang punya kegemaran duniawi. Anda hanya akan menemukan sedikit sekali literatur bertopik spiritualitas dan keagamaan di rak buku saya, dibandingkan koleksi buku militer dan film perang. Dan meski saya mengoleksi film perang, film drama percintaan Sleepless in Seattle yang dibintangi Tom Hanks dan Meg Ryan justru menjadi film yang membuat saya rela menontonnya berulang kali. Dunia yang kita diami ini akan terasa ketiadaan batasnya jika kita berani 'banting setir' tinimbang 'mempertahankan jalur'. Dan hidup pun serasa abadi bila kita mau meraup pilihan-pilihan yang disediakannya.

Harian Kompas, 20 April 2008, menurunkan di halaman 29-nya kisah mengenai orang-orang yang berani berbalik arah: seorang asisten manajer di Toyota Motor Corporation memutuskan untuk menekuni bisnis pakaian dan selimut; seorang general manager di Astra Graphia keluar dari tempatnya bekerja dan mengembangkan usaha pengobatan herbal, sekaligus untuk menyiapkan masa pensiunnya; seorang meninggalkan pekerjaannya di perusahaan asing dan membangun usaha perikanan di Bali; dan seorang lagi mengembangkan bisnis perjalanan petualangan setelah melepas jabatannya di Aquarius. Dengan latar belakang visi yang mulia, yaitu menciptakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang, jelas orang-orang ini bermental wirausaha, yang ingin memberdayakan hidup mereka semaksimal mungkin. Dan sudah pasti mereka kreatif! Mereka mungkin juga berpikir, "Ada dunia di luar sana, kenapa aku harus mengekang diri dengan kemapanan?"

Daya imajinasi dan wawasan merupakan dua bahan baku utama bagi penumbuh-kembangan kreativitas. Kebanyakan kita tidak memperoleh privilese untuk berkhayal ketika masih kanak-kanak, karena berkhayal umumnya dianggap sebagai hal yang sia-sia. Orang tua saya amat mengkhawatirkan kesukaan saya berkhayal. Rapor saya ketika masih sekolah dasar di Negeri Belanda dahulu sering dibubuhi catatan 'dag-dromen' (berkhayal), seakan berkhayal itu sejenis penyakit yang mesti diberantas. Saya ingat kata-kata ibu saya waktu itu menyangkut kesukaan saya berkhayal: "Mau jadi apa kamu nanti?" Jika saat ini waktu bisa diputar kembali ke masa itu, saya akan sujud sungkem kepada beliau, mohon maaf, dan memberitahu, " Ma, berkat berkhayal saya sukses sebagai creative director dan saya selalu menemukan ide-ide brilian dari situ. Ide-ide yang membuat saya sanggup bertahan di tengah krisis kehidupan setelah Mama kembali ke pangkuan Allah."

Sewaktu saya masih duduk di kelas 4 sekolah dasar Belanda, guru seringkali membacakan kisah-kisah dari buku fiksi. Guru tidak pernah menuntaskan pembacaannya, tetapi menugasi murid-muridnya untuk membuat karangan yang diawali dengan pertanyaan si guru: "Kalau kamu jadi tokoh utama dalam kisah ini, kira-kira apa yang akan kamu lakukan?" atau "Kalau kamu penulis ceritanya, bagaimana kamu akan mengakhiri kisah ini?" Jawabannya terserah pada masing-masing murid. Yang dinilai oleh guru bukan kemampuan menulis murid, melainkan seberapa kreatif jawaban yang diberikannya. Pelajaran itu melatih murid untuk senantiasa berpikir dan bertindak secara berbeda atau melihat permasalahan dari sudut pandang yang berbeda.

Dalam pelajaran menggambar, guru juga pernah menerapkan pendekatan ini. Suatu ketika, guru menggambar kepala seorang raja yang bermahkota. Para murid diminta menirukannya. Selesai menggambar kepala raja, si guru tiba-tiba meninggalkan kelas, karena, katanya, ia harus menghadap kepala sekolah. Ditinggal cukup lama oleh guru tanpa penugasan apa pun, timbul keusilan saya untuk menambahkan gambar bingkai di sekeliling kepala si raja serta memberi ornamen-ornamen. Murid yang duduk di sebelah saya menggambar raja itu lengkap dengan badannya dan memegang tongkat scepter kerajaan. Murid lainnya membuat si raja duduk di atas singgasana. Secara keseluruhan, hanya segelintir murid yang 'seusil' saya. Ketika guru kembali ke kelas dan melihat apa yang telah saya dan segelintir murid lakukan, ia malah memuji kami sebagai anak-anak yang kreatif. Murid-murid yang tidak berbuat apa-apa selagi guru pergi dikritik sebagai 'tidak punya inisiatif'!

Berdasarkan pengalaman saya di atas, ide-ide kreatif muncul dari pertanyaan "Bagaimana kalau...?" atau pernyataan "Kalau aku jadi dia, maka..." Seperti juga ketika melamar untuk posisi penulis naskah iklan di biro iklan Lintas Indonesia (kini Lowe) pada tahun 1995, saya juga disodori tes tertulis, yang antara lain mencantumkan pertanyaan: "Iklan apa yang tidak Anda sukai? Jika Anda menjadi kreator iklannya, apa yang akan Anda lakukan untuk membuatnya lebih baik?" Memandang diri saya sendiri yang pada dasarnya suka memprotes segala sesuatu yang di mata saya kurang sempurna, dan sering tidak sejalan dengan pendapat kebanyakan orang, barangkali itulah pemicu kemampuan berpikir kreatif pada diri saya. Menurut B. McLaren, dalam artikelnya, "Dark Side of Creativity," yang termuat di Encyclopedia of Creativity, vol. 1, kreativitas muncul dari kerinduan akan kesempurnaan yang tak terealisasikan dalam pengertiannya yang mutlak. Ia mengandung ketidakpuasan terhadap hal-hal sebagaimana adanya, dan semangat memperbaikinya untuk 'memuliakan' atau bahkan untuk membebaskannya dari kekangan kondisi yang sekarang berlaku, atau untuk menyelaraskan dunia aktual dengan dunia ideal.

Wawasan juga berperan penting dalam mengembangkan kreativitas. Wawasan tidak hanya didapat dari buku. Tapi -- bahkan lebih penting -- juga melalui interaksi kita dengan lingkungan. Creative director saya dahulu, seorang wanita eksentrik asal Selandia Baru, menganjurkan agar saya memperluas cakrawala dengan bergaul dengan berbagai kalangan, mendengarkan segala jenis musik, menonton semua film, membaca semua jenis buku, menulis tentang topik apa saja dengan mengabaikan aturan-aturan redaksional.

Dari sini, tertangkap kesan bahwa kreativitas menafikan batas-batas, termasuk aturan-aturan yang mengekang. Kekangan seakan mengabaikan kenyataan bahwa tidak ada yang lebih baik dari yang sudah ada. Orang kreatif bukan mengabaikan; mereka hanya tidak mengindahkan aturan-aturan yang dibuat orang lain, tetapi mereka, sebaliknya, berpegang teguh pada prinsip-prinsip pribadi serta mengikuti ke mana pun imajinasi membawa mereka. Mereka menyadari konsekuensinya, dan karena orang kreatif umumnya punya harga diri setinggi langit dan rada narsistis, mereka cenderung membiarkan diri menanggung kesalahannya sendiri ketimbang mengakui kekeliruannya pada orang lain. Toh, di dalam menumbuhkembangkan kreativitas, kesalahan/kegagalan adalah bagian dari proses pembelajarannya. Untuk menjadi benar/berhasil kita tidak boleh takut salah/gagal. Orang yang tidak kreatif susah untuk menerima prinsip ini, sehingga dalam kacamata mereka, orang kreatif dituding anti-kemapanan. Padahal, bagaimana kita bisa mapan jika sejatinya dunia ini tanpa batas dan terus berubah?[]



Jakarta, 17 November 2008

No comments: