Sunday, November 16, 2008

Melatih Kesadaran Secara Tidak Sadar

"Spiritualitas hakikatnya adalah perjalanan ke dalam. Anda tidak memerlukan persiapan, tidak usah bawa koper -- sama sekali tidak perlu apa pun. Yang Anda butuhkan hanyalah CINTA! Dan Cinta ini hanya dapat timbul sebagai hasil dari aktualisasi diri yang dicapai melalui laku hidup secara meditatif."
-- Anand Krishna


Mengawali kehidupan sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Kampus Baru UI Depok pada September 1987, saya mulai menulis catatan harian -- dalam pengertian harfiahnya, yaitu setiap hari! Lebih karena terilhami oleh pendahulu saya di Jurusan Sejarah FSUI, almarhum Soe Hok Gie, melalui Catatan Seorang Demonstran-nya, saya mengisi lembar demi lembar catatan harian saya dengan pengalaman sehari-hari saya sebagai mahasiswa, peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar saya, manusia-manusianya, juga mengenai kejadian-kejadian penting di lingkungan intra dan eksta kampus di mana saya tidak terlibat di dalamnya.

Tadinya terpaksa -- sekadar mengikuti tren Soe Hok Gie (yang sudah merebak di kalangan mahasiswa Jurusan Sejarah FSUI jauh sebelum muncul film Gie yang dibintangi Nicolas Saputra), saya kemudian malah ketagihan menulis catatan harian. Bahkan setelah tidak lagi berstatus mahasiswa. Terakhir saya menulis catatan harian adalah pada tahun 2005; terutama karena pengalaman spiritual dan pemahaman saya tentang hidup kian susah untuk dijabarkan. Penjelasan apa pun, betapa pun mendalamnya, seperti yang biasa saya tulis di catatan harian sebelum itu, hanya merupakan pendangkalan sebuah kebenaran yang tidak bisa terucapkan/dituliskan. Jadi, hampir 18 tahun saya menggores pena, mengisi lembaran-lembaran perjalanan hidup saya. Lalu, apa yang saya peroleh?

Secara tak sadar, saya ternyata telah melatih kesadaran saya terhadap diri dan lingkungan. Keinginan untuk membuat muatan catatan harian saya sedetil mungkin, termasuk mengenai tanggal dan jam, nama tempat, topik pembicaraan, siapa saja pelakunya, pemikiran-pemikiran saya dan orang lain, bahkan sampai judul dan penulis buku-buku yang saya baca, nomor/nama angkutan umum yang saya tumpangi menuju ke suatu tempat, nama lengkap orang dan hari ulang tahunnya, telah mendorong saya agar rajin mengamati lingkungan di mana saya beraktivitas.

Hasil pengamatan itu lantas saya analisis di benak saya, dan terjadilah dialog dengan diri sendiri: "Seharusnya begini, bukan begitu, agar nanti begini. Kalau gue pelakunya, gue akan melakukan ini lalu itu." Setahun setelah menamatkan kuliah, baru saya menyadari manfaat dari melewati proses-proses melatih kesadaran itu, yaitu ketika saya mulai menjejaki karier sebagai penulis naskah iklan. Dengan menimba banyak pengalaman saya telah menimbun banyak ide di pikiran bawah sadar saya, yang bakal mengucur deras begitu saya membutuhkannya untuk suatu pekerjaan atau untuk menyelesaikan suatu masalah.

Pengalaman saya ini sejajar dengan pandangan para psikolog Gestalt, yang mengakui bahwa pengalaman dengan lingkungan memainkan banyak peran dalam tindakan kreatif. Aliran Gestalt menegaskan bahwa menemukan sudut pandang baru terhadap keseluruhan masalah -- bukannya memilah-milahnya -- lebih mungkin menciptakan kreativitas.

Ketika membaca buku yang mengompilasi kolom mingguan Danai Chanchaochai di rubrik Real.Time pada Bangkok Post sejak Agustus 2002, berjudul Dhamma Moments (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer -- Kelompok Gramedia, 2006), saya beroleh informasi, bahwa meditasi bukanlah sekadar duduk bersila/bersimpuh sambil memejamkan mata dan memusatkan perhatian. Meditasi Buddhis, utamanya Vipassana atau 'meditasi wawasan' (insight meditation), pada dasarnya, bisa dilakukan bahkan di tengah jalan raya sekalipun tanpa si pelaku merasa terusik, karena prosesnya berpusat pada dirinya, memutuskan siklus dengan keadaan sekitar tetapi sepenuhnya sadar akan keberlangsungan, sehingga pelaku tidak merasa dirinya istimewa.

Meski Buddhisme umumnya mengamalkan meditasi, tetapi yang lebih penting adalah melakoni hidup secara meditatif (sadar dan terfokus) dan bersemangat Dhamma Sang Buddha. Menjadi sadar berarti menjadi penuh perhatian terhadap lingkungan, berfokus pada saat ini, dan, hasilnya, kita menjadi lebih peka.

Kebanyakan kita mengabaikan kesadaran ketika beraktivitas. Tindakan untuk menyelesaikan permasalahan hidup yang seyogianya menjadi ajang pembelajaran dilaksanakan tanpa menaruh perhatian sungguh-sungguh pada langkah-langkah penyelesaiannya, sehingga pengalaman tersebut tak berhikmah sama sekali -- malah berpotensi menimbulkan permasalahan yang sama di kemudian hari. Tampaknya hal itu memang telah menjadi kecenderungan umum, sehingga novelis Joseph Bulgatz pun berkomentar, "Satu hal yang bisa kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak memetik pelajaran apa pun dari sejarah." Dari sudut pandang agama kesalahan sama yang dilakukan dua kali bahkan dianggap tidak mencerminkan sifat orang yang beriman, seperti disampaikan oleh pepatah, "Orang beriman dilarang terperosok dua kali di lubang yang sama."

Sehari-hari saya mengamati segala sesuatu yang berlangsung di seputar saya, jauh dan dekat, dan efeknya terhadap diri saya. Dari aktivitas itu, saya mendapat pengertian bahwa kehadiran benda dan peristiwa pada suatu waktu merupakan tata kelola Kehendak Tuhan. Kejadian-kejadian dalam hidup ini, keberhasilan maupun kegagalan, adalah rangkaian perjalanan yang memberi makna pada hidup karena mengacu pada suatu hukum 'siklus sebab-akibat yang saling bergantung' (pattica samuppada) yang berlandaskan ketetapanNya. Ujung-ujungnya, saya menginsafi eksistensi Kekuasaan Maha Besar yang terlalu kompleks untuk dipikirkan, sehingga sebaiknya kita tidak memikirkan misteri tentang hakikatNya, tapi sebaliknya bergiat saja dengan hidup dan kehidupan. Jalan spiritual apa pun, saya kira, karena itu menitikberatkan pada implementasi tuntunan Tuhan dalam laku hidup sehari-hari, menghindari jalan ngelmu yang tidak menuju ke mana pun.

Apa perlunya kita melatih kesadaran -- dan menjadi peka? Agar kita menyadari kebermanfaatan dari keberadaan kita di dunia; agar eksistensi kita tidak percuma. Bukankah sebaik-baik manusia di hadapan Tuhan adalah yang dapat memberi manfaat bagi orang lain? Di sekeliling kita terdapat kebutuhan-kebutuhan yang memohon untuk dipenuhi. Kepekaan diri yang terpercik oleh kesadaran yang tinggi akan mendorong kita untuk meredakan ego, dan memberdayakan keikhlasan untuk menyumbangkan manfaat kita bagi lingkungan. Sadarilah.[]



Jakarta, 17 November 2008

No comments: