Thursday, November 13, 2008

Menimbun Pengalaman, Menimba Ide

Berdasarkan pengalaman saya, spiritualitas itu membuka pintu kreativitas. Spiritualitas menumbuhkembangkan sikap dan cara berpikir kreatif, yang sesungguhnya sangat bermanfaat dalam merealisasikan kewirausahaan. Maka izinkan saya dalam kesempatan ini untuk berbagi pengalaman saya dalam menimba ide. Mudah-mudahan bermanfaat bagi Anda.

Mungkin kisah pengalaman berikut ini agak menyimpang dari konteks ‘normal’ yang biasa dilakukan para mahasiswa sekolah periklanan dan desain grafis. Atau pun para pekerja kreatif yang masih terbelenggu narsisme-(memuja diri sendiri)-nya. Namun, tak ada salahnya saya menyampaikannya dalam kesempatan ini sebagai bahan renungan bagi mereka yang ingin merasakan nikmatnya berkreatif ria.

Setiap pekerja kreatif yang saya jumpai sepanjang karier saya sejak 1994 di bidang kreatifnya komunikasi pemasaran selalu mengatakan, “Yang ini ide saya” atau “Itu ide dia” atau “Tim kita berhasil dapat ide”. Pertanyaannya: Apakah ide memang berasal dari benak kita? Atau, apakah otak kanan kita memang tempatnya manufaktur ide? Bos saya di biro iklan yang pernah saya singgahi pada Juli-Oktober 2005 tidak percaya kalau ide itu datang begitu saja. Ia percaya kalau ide itu berasal dari ‘sumber yang lebih tinggi’, tetapi kita tetap harus bekerja keras untuk menggalinya dari pikiran kita. Salah satu pengalaman spiritual saya menjelaskan bahwa tidak selalu mesti begitu. Kenyataannya, kita ini memang dimaksudkan untuk memproduksi ide-ide cemerlang jika kita mampu membawa diri kita ke level keheningan dan ketentraman serta mendekati ‘sumber lebih tinggi’ itu dalam keadaan berserah diri.

Suatu waktu pada bulan Oktober 2003, saya dan tim Air Api Communications (yang dimiliki saudara Subud saya di Surabaya) tengah ditugasi Yayasan Dana Sosial al-Falah (YDSF) membuat rangkaian delapan iklan cetak bertema kepedulian sosial dalam kaitan dengan semangat Ramadhan dan Idul Fitri. Bagaimanapun kerasnya otak diperas, saya tak kunjung dapat ide. Suatu malam, mendekati tenggat waktu proyek itu, sebelum tidur, saya menenangkan diri dan dalam keadaan menyerah kepada Tuhan saya berdoa agar apabila proyek itu memang membawa kebaikan bagi saya, mohon diberi petunjuk untuk ide-ide yang cemerlang. Tengah malam, saya dibangunkan oleh lintasan sebuah visi di benak yang tidak saya mengerti maksudnya. Visi itu berupa fragmen-fragmen pengalaman hidup saya. Ada bisikan di dalam diri saya, “Salat Tahajud dahululah kamu.”

Saya segera menunaikan salat Tahajud. Setelah berdoa dan berzikir, saya merasa tidak mendapat apa-apa. Saya pun pasrah dengan sabar dan ikhlas sembari merelaksasi diri. Dalam sekejap, saya mengalami pencerahan; kepala saya seolah terbelah dan ide-ide mengucur deras ke dalamnya. Jumlahnya delapan, sesuai dengan permintaan klien. Dan bila Jim Riswold—pengarah kreatif Wieden & Kennedy, biro iklan Amerika yang mendapat penghargaan kreatif untuk iklan Nike-Just Do It!—bilang, “Tuhan tidak mendetil,” Sumber Gaib yang saya yakini sebagai Kekuasaan Tuhan ini memberi saya ide-ide yang detil, mulai dari penulisan naskah (copywriting), visualisasi sampai penataan artistiknya (art direction). Ajaibnya lagi, klien langsung ACC dengan ide-ide itu. Kini, bahkan kompetitor utama YDSF secara terang-terangan mengakui bahwa iklan-iklan cetak itu mereka koleksi dan dibingkai!

Apa makna di balik kisah gaib yang saya alami ini? Bahwa sebagai manusia kita seharusnya lebih menyerahkan diri kepada bimbingan dan tuntunan Tuhan, sang Maha Kreatif, yang sejak awal penciptaan manusia sudah melengkapi dunia dengan seabrek ide. Dan dalam ketenangan rasa diri kita akan temukan ide-ide itu. Tetapi “Ideas rarely come out of the blue,” ujar Lionel Bender, penulis buku Eyewitness: Invention (Knopf Books for Young Readers: 1991). Artinya, ide memang tidak datang begitu saja. Di sinilah letak misi kita sebagai ciptaan Tuhan untuk berwirausaha. Bagaimana wujud wirausahanya? Lakoni hidup dengan tuntunan dari dalam dan timbunlah pengalaman sebanyak mungkin.

Neil French, Executive Creative Director Ogilvy & Mather Worldwide—salah satu perusahaan komunikasi pemasaran besar dunia yang berpusat di Amerika Serikat, merasa janggal bila para lulusan sekolah periklanan dan desain grafis langsung terjun ke biro iklan. Saran French, seperti terungkap di dalam Cutting Edge Advertising (buku pertama Jim Aitchison tentang kreatif periklanan, terbit tahun 2000), kita cari pengalaman dahulu di bidang-bidang pekerjaan lain. French bilang bahwa kita harus menimbun sebanyak mungkin pengalaman hidup sebelum dapat menimba ide. Timbunan pengalaman itu akan tersimpan dalam memori kita sepanjang hayat, terproses menjadi wawasan pengetahuan dan akan tumpah sebagai ide bila saatnya tiba.

Puji syukur, saya pribadi bukan jebolan sekolah periklanan atau desain grafis. Gelar kesarjanaan saya adalah di bidang sejarah dari fakultas sastra Universitas Indonesia. Jurusan Sejarah adalah jurusan yang memperkenalkan saya kepada sejumlah disiplin ilmu lain yang baik langsung maupun tidak langsung berkorelasi dengan ilmu kesejarahan, seperti politik, ekonomi, budaya, militer, sosial kemasyarakatan, dan lain-lain. Dan selepas kuliah, saya mengumpulkan recehan dengan menjadi periset pasar paruh waktu di sebuah majalah psikologi, juga wartawan lepas sebuah majalah teknologi militer dan pelatih seni bela diri asal Korea, Taekwondo. Tanpa saya sadari, Tuhan tengah mempersiapkan saya untuk sebuah profesi yang kelak membuat saya ‘hidup’, yaitu pekerja kreatif. Kemampuan menulis kisah masa lalu (historiografi) membuat saya diterima di biro iklan terkemuka Indonesia, sebagai penulis naskah iklan.

Ikhtiarnya pekerja kreatif adalah belajar, belajar dan belajar! Momentum berkarya juga merupakan proses belajar. “Kemampuan hebat akan berkembang dan terungkap lewat setiap pekerjaan yang baru,” kata Baltasar Gracian, filsuf dan penulis prosa gaya Barok Aragon yang hidup pada abad ke-17 Masehi. Mengumpulkan pengalaman walau sifatnya buruk sekali pun juga dapat menambah wawasan kita. Wawasan yang amat luas adalah pijakan bagi pekerja kreatif untuk sukses di bidangnya. Jadikan diri kita tidak pernah lelah dan bosan mencari ‘kebenaran sejati’. Proses ke arah itu membawa kita berkenalan dengan berbagai pengalaman. Dan jangan lupa juga untuk senantiasa meningkatkan kepekaan melalui, antara lain, membaca, menonton film, mendengarkan musik, bergaul, menikmati pemandangan alam sambil berkontemplasi (bersyukur kepada Tuhan atas ciptaan-Nya), berfilsafat, melakukan aktivitas spiritual. Yang tersebut terakhir, saya kira cukup penting, karena kreativitas adalah satu-satunya bidang yang langsung bersentuhan dengan ‘jiwa’ (spirit) atau rasa diri kita. Beberapa creative director dalam dan luar negeri yang saya kenal ternyata aktif berspiritualitas, melalui Tasawuf, Karismatik, Subud, Perhimpunan Teosofi, meditasi transendental dan yoga, tarekat zikir, dll. Simaklah artikel “Spiritualisme dalam Seni Kontemporer” yang ditulis perupa Arahmaiani di Kompas, 16 September 2007, hlm. 28 ini:

"Dalam buku Soul, Spirit, and Mountain, Astri Wright mencatat dan menjelaskan secara ringkas beberapa nama seniman kita yang dianggap mendapatkan inspirasi terutama dari mitologi, simbol spiritual, dan tradisi. Dan beberapa di antaranya memang mempraktikkan kebatinan. Disebutkan beberapa nama seperti Sadali, Pirous, Made Wianta, Nyoman Erawan, Widayat, dan Nindityo. Selain yang bersifat lebih individualistis seperti Affandi dan Ivan Sagito, serta dua perupa perempuan feminis, Kartika dan Lucia Hartini... Ditegaskan bahwa memang aspek spiritual menjadi hal yang mendasar... Selain rujukan pada kosmologi budaya Jawa tentang keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos di mana pada intinya ego manusia dianggap kurang penting dan merupakan bagian yang transendental dari dunia spiritual yang maha luas dan tidak kasatmata... Sekali pun dunia sudah dilanda materialisme dan kekacauan spiritual, suara batin manusia akan terus berkumandang."

Mereka menginsafi bahwa ide memang berasal dari Tuhan, sehingga Jim Aitchison pun mengatakan bahwa tugas pekerja kreatif bukanlah ‘mencari’ (to seek) ide, melainkan ‘menemukan’ (to find) ide!

Kreativitas adalah soal rasa (estetika) yang sama sekali tak termaknakan bila kita lebih menggunakan akal-pikir dan ego. Kriteria karya yang bagus adalah karya yang ‘dijiwai’ atau diberi ruh oleh si kreatornya, agar mampu meresonansi getaran di dalam diri pemirsa, menghidupkan alam bawah sadarnya. Believe it or not, naskah, visual, tipografi (jenis huruf), warna, bentuk, format tata letak serta segala sesuatu yang terkandung dalam sebuah karya kreatif mengandung resonansi (getaran suatu benda yang memberi pengaruh kepada benda lain). Penggunaan yang keliru—yaitu tanpa menyertakan rasa estetika diri pribadi kita—akan berakibat karya kita tidak memiliki pengaruh sama sekali.

Teori di bangku kuliah dan pengalaman bekerja hanya mengasah kemampuan teknis kita. Tetapi timbunan pengalaman hidup membuat kita mampu melihat dengan kepekaan tinggi bahwa pada setiap sesuatu (benda dan peristiwa) mengandung ide-ide yang ingin kita temukan. Rick Valicenti, desainer grafis top Amerika, dalam suatu seminar desain grafis di Jakarta yang pernah saya hadiri tahun 1997, menjelaskan bahwa ketika ia tengah menggarap suatu desain, ia tidak akan menghabiskan waktu melihat-lihat karya-karya orang lain di album penghargaan desain kreatif. Hal tersebut malah akan membuat memorinya terpatri pada ide-ide mereka ketimbang menghasilkan ide baru yang orisinil! Sebaliknya, Valicenti akan jalan-jalan di lingkungan tempat tinggalnya, mencermati sesuatu yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pekerjaan yang sedang digarapnya. Dan ia selalu menemukan ide!

Kalau dedengkot iklan kreatif kelas dunia David Ogilvy bilang, “Buatlah iklan setiap hari” agar kita kian trampil berkonsep, maka saya tandaskan, “Jalani hidup setiap hari” agar kita dapat menimbun pengalaman dan mampu menimba ide-ide serta siap berkarya kapan pun dan di mana pun.©



Jakarta, 14 November 2008.

No comments: