Saturday, November 15, 2008

Tertawa Belakangan

“Dalam hidup ini yang tertawanya paling lama adalah yang tertawa belakangan.”
—John Masefield (1878-1967), Window in Bye Street, 1912.


Tanggal 2 Desember 2007 lalu, saya genap berusia 40 tahun. Di usia yang kata orang hidup dimulai itu, saya ditanya istri saya, apa kado yang paling saya inginkan. Saya katakan padanya, bahwa kenyataan Tuhan mengabulkan doa saya akan menjadi kado terindah buat saya. Saya pernah dan, ketika hari ulang tahun saya kian mendekat, masih terus bercita-cita menjadi the most wanted freelance copywriter—penulis naskah iklan lepasan yang paling dicari!

Kenapa freelance? Karena, hanya dengan mandiri, berjuang untuk menyejahterakan diri sendirilah, menurut pengalaman saya, saya merasakan tuntunan dan bimbingan Tuhan. Sudah sejak satu setengah tahun yang lalu (terhitung pada saat tulisan ini dibuat) intuisi saya menyatakan bahwa dunia bisnis akan makin mengalihdayakan (outsourcing) agen-agen bebas (free agents), sejak karyawan tetap mudah terlena, tidak punya semangat kewirausahaan entrepreneurial maupun intrapreneurial karena tiadanya sense of crisis, yang terutama disebabkan oleh pemikiran bahwa setiap akhir bulan mereka pasti gajian. Orang-orang seperti ini tidak mau susah-payah memikirkan kemajuan perusahaan, tidak memiliki sense of belonging, sehingga ketika sebagian rekan-rekannya terpaksa dirumahkan untuk sementara sampai perusahaan mampu membayar gaji mereka, orang-orang itu pun tidak tergugah untuk bekerja lebih keras, mendatangkan keuntungan yang lebih signifikan, sehingga rekan-rekan mereka yang dirumahkan dapat kembali bekerja. Keberadaan karyawan yang cuma berorientasi 'gaji tetap' malah menghalang-halangi terciptanya efisiensi biaya dalam pengoperasian perusahaan. Selama saya menjadi karyawan tetap, saya selalu dirundung kecemasan akan PHK, terlambat gajian, atau hilangnya kesejatian diri saya dan cenderung melacurkan diri; ekspresinya berwujud: "Biarlah salah, yang penting gue selamat dari amarah bos dan klien." Saya juga jadi beranggapan bahwa rezeki datangnya dari majikan, bukan dari Tuhan.

Dan kenapa pula copywriter, sedangkan di tahun ketiga belas karier saya di dunia komunikasi pemasaran telah mendudukkan saya di kursi panas creative director? Karena... hasrat saya adalah menulis; melalui menulis saya bisa mencurahkan keseluruhan jiwa saya! Lagi pula, semua itu kan hanya titel yang sama sekali tidak bermakna. Saya serahkan saja kepada para praktisi periklanan 'kemarin sore' (newcomers) untuk bermasturbasi dengan titel-titel tersebut demi kepuasan ego mereka.

Ternyata bukan hanya istri saya yang mendengarkan ungkapan harapan saya itu. Tuhan pun mendengarkan, seakan doa yang terbersit dalam hati itu terdengar jelas dan jernih di telinga alam semesta! Sejak jam-jam pertama matahari terbit pada tanggal 2 Desember 2007 itu hingga kini hidup profesional saya dimulai; hidup saya bahkan berubah 360 derajat, sarat dengan tawaran-tawaran (dan permintaan tolong) yang menantang intelektualitas, kreativitas, dan persistensi saya. Hidup saya kian bernapaskan dinamika tuntunan Tuhan yang berkesinambungan. Ponsel saya nyaris tidak pernah beristirahat setiap harinya, menerima panggilan-panggilan dari orang-orang yang tidak saya kenal yang mendapat rekomendasi dari orang lain yang mengenal saya. Mereka semua membeli (istilah 'memanfaatkan' lebih tepat bagi mereka yang tidak saya kenai bayaran) jasa penulisan naskah, penerjemahan, atau penyuntingan materi-materi komunikasi korporat dan merek, dari saya. Tuhan bukan hanya 'menurunkan' order pekerjaan tetapi juga petunjuk pengerjaannya, idenya, konsepnya, manajemen waktu dan finansialnya, bahkan hingga 'pendampingan' ketika saya mempresentasikan keluaran (output)-nya kepada klien. Semua terasa sangat, sangat mudah, membuat saya merasa bahwa tak ada gunanya kita menyombongkan diri, karena Tuhan-lah yang mewujudkan itu semua.

Saat itu, saya saya sempat bertemu dengan seorang copywriter dari salah satu biro iklan papan atas Jakarta. Dengan lagak khas insan periklanan pada umumnya (terutama yang 'kemarin sore') yang merasa seakan hanya merekalah yang mengerti segalanya dan bersikap sok selebritis, dia bercerita bahwa waktunya tersita untuk bermacam pekerjaan kreatif, dan bahwa untuk itu dia dan timnya harus brainstorming di berbagai tempat; kalau di kafe ini tidak dapat ide, mereka pindah ke kafe lainnya, atau nge-mall. Saya mengangguk-angguk seperti orang dungu, sementara membatin, 'Kasian deh lu!' Selesai dia berkoar-koar, saya bilang, dengan gaya santai tetapi serius, "Wah, repot, ya? Kalau saya dan teman-teman kreatif dari Subud cukup merem (tutup mata) dan lerem (menenteramkan diri) dan—wuussh!—dapet, deh, idenya, semudah membalikkan tangan, satu paket dengan tuntunanNya untuk ngerjain-nya. Dan kita nggak perlu ke mana-mana, lho." Si copywriter sok seleb itu pun terbengong-bengong.

Sejak 2 Desember itu, banyak kejadian aneh bin ajaib yang saya alami, bak mukjizat yang acapkali mencengangkan saya, antara lain: menyelesaikan beberapa pekerjaan dengan baik dan benar walaupun klien belum memberi brief atau brief-nya ketinggalan, tetapi hasilnya sesuai bahkan melebihi yang diharapkan klien. Tinggallah mereka terbengong-bengong pula. Selama melakoni pekerjaan-pekerjaan itu saya bertemu dengan orang-orang baru yang menyenangkan serta orang-orang lama yang telah lama tidak bersua; kami dipertemukan oleh Tuhan melalui pekerjaan-pekerjaan itu.

Dari pelbagai pengalaman ini, saya menangkap makna tentang ujian-ujian berat (menurut ukuran manusiawi saya) yang dilimpahkan Tuhan kepada manusia. Kalau kita bersabar, ikhlas, dan senantiasa tawakal (menurut kata derivat bahasa Arabnya, 'tawakal' secara harafiah berarti 'mewakilkan'; artinya, kita mewakilkan/mendelegasikan segala urusan kita kepada Tuhan) dalam menempuh ujian hidup, di mana tak jarang orang lain tertawa di atas penderitaan kita, menertawai atau mungkin mencaci kita, semua itu tidak menjadi masalah. Pada akhirnya, saat orang lain berhenti tertawa (karena mendapat balasan atas keburukannya), kitalah yang tertawa; bukan menertawai orang itu, melainkan tertawa sebagai ungkapan kegembiraan sejak Tuhan memudahkan segala sesuatunya bagi kita. Di semua kitab suci agama-agama wahyu terdapat firman Tuhan yang menyatakan bahwa pada setiap derita ada kabar gembira—yang disosialisasikan para utusan Tuhan dengan representasi puasa dan biasanya ditutup dengan hari raya. Pengalaman saya menuturkan, hal itu benar adanya.

Orang yang sabar, ikhlas, dan tawakal selalu tertawa belakangan. Jadi, bersakit-sakitlah dahulu, bersenang-senang kemudian. No pain, no gain. Banyak orang tidak mau bersakit-sakit dahulu, karena khawatir jadi suksesnya pas sudah tua, di mana bersenang-senang tidak lagi bisa dilakukan, berhubung tubuh digerogoti ketuaan dan penyakit, banyak pikiran, dan dilupakan orang. Siapa bilang? Tak usah mengkhawatirkan usia. Ketika memasuki usia 40 tahun saya tidak merasa tua, tuh, karena usia sesungguhnya kan hanya state of mind (keadaan pikiran). Saya mendapat kepahaman ini setelah mengamati salah seorang kawan saya di Surabaya, yang tampilan fisiknya seperti orang tua dengan kerutan-kerutan di wajahnya, yang membuat saya sempat mengira ia berusia pertengahan 40an. Tak dinyana, ternyata ia berusia 28 tahun. Istri dan adik bungsu saya usianya 35 tahun, tetapi malah tampak muda dan energik. Setelah mengobrol cukup intensif dengan kawan saya itu, terungkaplah bahwa ia senantiasa merasa dirinya sudah tua, dan selalu dalam keadaan tertekan karena bekerja di lingkungan yang tidak dinamis, rutin seperti mesin pabrik, dan orang tuanya menuntut ia segera menikah. "Kita memiliki kemampuan untuk berkembang kapan pun dalam hidup kita, tidak peduli berapa pun usia kita," tulis Kazuo Murakami, Ph.D, dalam bukunya, The Divine Message of the DNA—Tuhan dalam Gen Kita, Cetakan II (Bandung: Mizan, 2007). "Segalanya menjadi mungkin selama kita memiliki hasrat yang menggelora dan tenaga untuk melakukannya. Satu-satunya halangan bagi pencapaian adalah pemikiran 'saya tidak bisa melakukannya'."

Sebagai ahli genetika terkemuka dunia, Murakami juga menyarankan agar kita menjalankan aktivitas dan hubungan yang dapat menginspirasi emosi yang tulus dari lubuk hati kita yang paling dalam untuk mendapatkan kehidupan yang panjang dan komplet. Dalam buku tersebut, Murakami menganjurkan pula agar kita selalu berpikir positif, berniat mulia, bersyukur serta tertawa untuk mengaktifkan gen-gen kita. Tentunya bukan dalam rangka menertawakan orang lain—kecuali orang lain itu memang bermaksud memancing tawa kita. Tertawalah, bahkan bila kita sedang dicobaNya. Mudah-mudahan, belakangan kita masih bisa tertawa.©


Jakarta, 16 November 2008

No comments: