Tuesday, November 4, 2008

Mendengar Diri Sendiri

Sebagai orang yang 'dilahirkan kembali' di Subud, sebuah jalan spiritual yang tidak mengenal guru (Tuhan adalah satu-satunya guru), ajaran dan pelajaran, maupun teori dan tata cara penyembahan, saya merasa janggal jika manusia masih saja mencari Sang Penuntun Sejati. Sedangkan Allah sendiri berfirman, "Sesungguhnya Aku lebih dekat dari urat lehermu" (QS 50: 16). Pengalaman saya bertutur, Tuhan memang begitu dekat, bahkan lebih dekat dari penglihatan kita, pendengaran kita, penciuman kita, mulut, lidah, gerak dan diam kita...

Dewasa ini, banyak motivator pengembangan diri yang menggunakan pendekatan sufistik (hati, diri dan jiwa) menjadikan elemen paling esensial dan krusial, yaitu spiritualitas dengan berserah diri (surrender) kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai puncak atau titik paling akhir dari serangkaian perkataan dan perbuatan baik. Dalam kaitan ini, penyerahan diri dianggap merupakan pencapaian (achievement) dari sederet upaya kita sendiri yang didayai nafsu dan akal pikir. Padahal, sejatinya, berserah diri yang dibarengi kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan merupakan karunia dari Tuhan yang diawali dengan pengakuan (admit) pribadi bahwa kita tidak berdaya, tidak mampu (lagi) berbuat apa-apa, dan kemudian tunduk (submit) kepada-Nya.

Jika manusia diberi hidayah-Nya untuk mampu berserah diri, segala sesuatu yang lainnya mengikuti, terdayai oleh riak-riak energi keikhlasannya. Jadi, dari puncak langsung menjalar bak lahar yang menyembur dari gunung yang meletus. Yang digambarkan sejumlah motivator yang melandaskan gagasannya pada tradisi spiritual sufistik -- malah sebaliknya: manusia mendaki dari kaki gunung ke puncak dan meletuskan gunung di sana, bukan secara alami, melainkan dengan alat bantu! Yang diusulkannya cocok benar untuk orang-orang yang mencari Tuhan dengan berbekal nafsu, yang bila merasa tidak menemukan-Nya, lantas mencari jalan lainnya -- bila perlu, yang pintas. Seorang bijak mengatakan, "Carilah Tuhan tetapi jangan mengharapkan agar cepat sampai!"

Tidak saya pungkiri, banyak dari kita yang tidak bisa mengamalkan penyerahan diri (tetapi, sejatinya mereka mampu) secara sabar, ikhlas dan tawakal di luar momentum ibadah syari'at, sehingga ketika dihadapkan pada masalah, bukannya menjadikan diri hening, malah kepala dibiarkan pening. Diri yang hening, tidak panik nan kemrungsung (pikiran kacau), adalah bagaikan berada di tengah suasana pegunungan yang tenang dan tentram, di mana gemericik air, tetesan embun, dan kicau burung terdengar begitu jernih. Suara batin yang demikian halus pun bakal tertangkap oleh keenam indra kita. Tidak, ini bukan hasil dari meditasi yang memfokuskan pikiran atau mengubah paradigma kita akan sesuatu, sebagaimana yang dianjurkan para motivator. Sejatinya keheningan yang dipraktikkan para utusan di masa lalu, seperti Siddhartha Gautama, Muhammad dan Yesus, adalah kesediaan untuk menerima (ridha). Mereka yakin bahwa dalam segala sesuatu terkandung kehendak Tuhan; bahwa dalam setiap keadaan dan peristiwa termuat hikmah pembelajaran.

Saya percaya bahwa kebanyakan orang paling tidak satu kali dalam hidup mereka telah mendengar suara batin mereka dan acapkali melihat signifikansinya. Tetapi banyak lagi yang telah menjawab panggilan suara batin mereka. Sebagian lagi, pada saat yang tepat, berada pada situasi holistik yang membantu mereka untuk memperkuat keyakinan mereka. Pada saat seperti itu, menurut A. Reza Arasteh dalam bukunya, Growth to Selfhood: The Sufi Contribution (1990), hati mereka yang terbangkitkan larut dalam tuntutan dorongan hasrat mereka dan mereka menolak argumentasi pikiran. Saat transendental ini, tambah Arasteh, lebih unggul daripada saat tobat, tetapi mempunyai kesamaan karakteristik. Tobat merupakan saat menghentikan diri seseorang dari perbuatan dosa, tetapi saat keyakinan adalah saat menghentikan diri dari konsep baik dan buruk, dan realisasi fakta bahwa baik dan buruk merupakan produk budaya. Saat pengenalan dengan kesadaran diri kita yang lebih unggul adalah saat sumpah kita dengan realitas wahyu dan ilham. Ini akan mengarahkan kita kepada realitas keabadian dan kedekatan kepada Tuhan.

Tetapi, kita harus memahami bahwa kemunculannya bersifat spontan, tidak bisa dihasilkan dengan mengetahui, melalui ajaran/perintah, atau dengan memaksakan diri kita kepadanya. Saat munculnya suara batin merupakan saat ketika sepasang telinga kita, melalui kesucian jiwa, mengubahnya kepada kesatuan dengan telinga batin. Pada saat itu, kita semua menjadi penerima, dan diri kita untuk sementara kosong pemikiran serta kecerdasan -- kita telah menjadi sadar. Rumi berkata, "Ketika jiwa dalam kegelapan orang perlu cahaya akal untuk melihat jalannya melalui kehidupan, tetapi ketika jiwa tercerahkan tidak seorang pun memerlukan lilin akal." Tetapi, yaah, jangan percaya apa yang saya ungkapkan ini. Lebih baik Anda mendengarkan diri Anda sendiri.[]


Jakarta, 5 November 2008.

No comments: