Tuesday, November 18, 2008

Rahasia Kegagalan

"Berserah diri kadang berarti berhenti mencoba mengerti dan merasa nyaman kendati pun tidak tahu. Di samping itu, berserah diri bisa juga berarti transisi di dalam dari penolakan menuju penerimaan, dari 'tidak' menjadi 'ya'."
--Eckhart Tolle, Stillness Speaks (London: Hodder & Stoughton, 2003)



Hari Sabtu, 2 Agustus 2008 lalu, saya beserta istri jalan-jalan ke Mal Pondok Indah. Tempat favorit saya—bukan hanya di MPI, tetapi di semua pusat perbelanjaan—adalah toko buku. Kami pun ke Gramedia. ‘Pulau-pulau’ (terjemahan pribadi saya untuk islands, yaitu displai atau meja peraga untuk promosi produk-produk yang diperdagangkan toko yang letaknya di tengah, di antara rak-rak) memamerkan banyak buku bersubyek pengembangan diri yang umumnya berkepala ‘rahasia sukses’. Sekejap, saya teringat pada buku Gede Prama, The Art of Success Mastery—Dari Keindahan untuk Kesuksesan (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004) yang nangkring di rak buku saya. Buku tersebut pemberian dua mahasiswi yang magang di departemen kreatif yang saya kepalai, karena menurut mereka buku tersebut banyak menjelaskan hal-hal yang sebelumnya sudah mereka dengar dari mulut saya.

Lalu, pada hari Selasa, 5 Agustus 2008, saya baca iklan kolom di harian Kompas, halaman 27, yang berbunyi sebagai berikut: “Temukan Rahasia Sukses membangun BISNIS dalam waktu 4 Jam!” Saya tersenyum waktu membacanya, sementara suara batin saya berseru, "Aaarrgh! Kenapa sih nggak ngajarin rahasia kegagalan? Kenapa sih nggak ada yang berani merilis bukunya dengan judul The Art of Failure Mastery—Seni Memahami Kegagalan?

Sehari setelah jalan-jalan di MPI itu, saya ke bertemu dengan tiga orang yang baru menempuh jalan spiritual. Mungkin karena penjelasan yang mereka terima dari pemandu mereka lebih banyak bermuatan yang ‘enak-enak’ saja, sehingga mereka mengira dengan berspiritualitas mereka akan terhindar dari—yang dimaknai oleh akal pikir sebagai—‘kegagalan’ dalam hidup.

Banyak lembaga pelatihan pengembangan diri maupun jalan spiritual 'memperdagangkan' kesuksesan, mungkin agar lebih marketable, namun sesungguhnya bila Anda memahami rahasia kegagalan, sukses atau gagal, ya, nggak ngaruh, nggak ngefek. Setelah membaca kisah hidup dan karier pendiri Apple Inc., Steve Jobs, saya jadi mengerti tentang hubungan sebab-akibat yang saling berhubungan (pattica sammupada istilah Buddhisme-nya). Saya sudah sering menceritakan tentang pengalaman Steve Jobs, karena kisahnya amat mengilhami saya.

Steve Jobs telah melalui pelbagai pengalaman getir dalam hidupnya, yang membawanya menjadi seperti sekarang ini. Pada acara wisuda di sebuah universitas di AS, Jobs mengharapkan agar para wisudawan tidak melulu melihat ke depan—karena toh belum jelas. Menurutnya, kesediaan untuk menengok ke belakang akan membuat kita selalu bersyukur. Dia memberi kiat connecting the dots (menghubungkan titik-titik) amtara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya di masa lalu. Keterhubungan titik-titik itu akan memberi kita pengertian bahwa segala sesuatu dalam hidup masing-masing merupakan suatu rancangan yang sudah 'dimaksudkan dari sononye'. Saudara Subud saya menamakannya ‘God’s design’. Gagal, sakit, celaka, berhasil, sehat, terhindar dari musibah, dan lain-lain unsur yang saling berlawanan itu sifatnya hanya sementara dan merupakan ‘bagian dari permainan’ (part of the game) yang mengusung diri kita kepada keadaan sekarang ini.

“Tanpa pernah drop out dari kuliah,” kata Steve Jobs, “mungkin saya tidak pernah berpikir untuk kursus kaligrafi.” Nah, tanpa bekal ilmu kaligrafi itu mungkin Anda sekarang tak bisa menikmati tampilan huruf-huruf yang indah pada layar komputer Anda. Sebab, 10 tahun kemudian ketika Jobs dan Steve Woz menciptakan generasi pertama komputer Apple Macintosh, ciptaan mereka itu merupakan komputer pertama di dunia yang menggunakan font!

Jobs pernah dipecat dari Apple, perusahaan yang notabene dirintis olehnya. Tetapi berkat dipecat itulah ia mendirikan Pixar, perusahaan yang menciptakan Toys Story, film animasi 3-D pertama di dunia. Pixar berkembang pesat dan menguntungkan, sehingga sahamnya akhirnya dibeli oleh Apple Inc., dan Jobs bisa kembali duduk di puncak perusahaan yang dibidaninya dahulu itu. “Jika dahulu saya tidak dipecat dari Apple,” kisah Jobs, “mungkin ceritanya jadi lain.”

Jobs juga pernah didiagnosis terkena kanker pankreas pada saat usianya baru 33 tahun dan dokter memperkirakan hidupnya bakal segera berakhir. Dengan tenangnya, Jobs memberitahu keluarganya, mewasiatkan pembagian warisan, dan kemudian ia bertekad untuk melakukan sesuatu yang luar biasa, sehingga ketika ia mati ia meninggalkan sesuatu yang bernilai bagi mereka yang masih hidup.

Ia mengabaikan penyakitnya dan terus saja bekerja seolah tidak terjadi apa-apa demi mewujudkan prestasi terbaiknya. Perusahaan-perusahaan yang digawanginya tumbuh besar dan jadi hebat selama ‘periode penantian datangnya maut’ itu. Suatu ketika, saat melakukan pemeriksaan medis berkala terhadap penyakit yang diderita Jobs, para dokter menangis. Mereka menemukan keajaiban: kanker pankreas yang diderita Jobs ternyata tergolong langka dan dapat disembuhkan lewat operasi. Jobs akhirnya sembuh total, berbarengan dengan terwujudnya apa yang pernah ditekadkannya!

Muhammad Subuh menyebut rancangan Tuhan itu sebagai 'konstruksi hidup'. Itu yang saya paparkan pada ketiga (kemudian, ketika obrolan jadi kian seru, meningkat jadi lima) orang tersebut di atas. Sebuah bangunan (konstruksi) rumah tinggal, misalnya, memiliki struktur tiang dan pondasi, dinding, ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, kamar mandi, teras, atap, jendela, pintu. Semua memiliki fungsi. Bahkan pajangan mungil saja ada tujuan fungsionalnya, yaitu memperindah atau memperkaya atmosfer ruangan.

Seperti itu pula halnya dengan hidup kita. Peristiwa demi peristiwa dan unsur-unsur-yang-saling-berlawanan datang silih berganti. Semua ada maksud dan tujuannya. Yang satu ada karena sesuatu sebelumnya. Masing-masing kita punya rancangan sendiri-sendiri. Kalau Anda bisa menerima suatu realita sebagai privilese Anda seorang, kata Sang Buddha, berarti Anda berhasil menjadi diri sendiri. Anda tidak lagi hidup berdasarkan penilaian-penilaian orang lain, walaupun itu suami/istri, anak atau guru Anda sendiri. Bikkhu Utammo dari Vihara Samaggi Jaya, Blitar—Jawa Timur, yang rekaman audio ceramahnya saya unduh dari Internet, mengatakan bahwa sukses itu tidak ditandai oleh banyaknya harta dan jabatan, melainkan oleh kemampuan pribadi untuk menerima kenyataan hidup.

Pada diri orang yang mampu menerima kenyataan, sukses atau gagal menjadi tidak relevan—ia akan terus mengikhtiarkan yang terbaik bagi dirinya. Pada kedua unsur terdapat sifat kesementaraan yang perannya masing-masing adalah saling menopang. Memaksakan diri sukses—menurut tataran akal pikir, yaitu banyak harta dan jabatan—lewat jalan pintas yang menyalahi rancanganNya, malah mengacaukan hubungan sebab-akibat yang berlaku atas yang bersangkutan. Peluang-peluang yang jauh lebih indah, dan yang siap menghampirinya, malah terpuruk.

Kepahaman ini terproses di benak saya ketika saya lewati begitu saja pulau-pulau di Gramedia Mal Pondok Indah. Di rak berlabel ‘Pengembangan Diri’ pada bagian lain toko buku tersebut saya jumpai buku karya Rhonda Byrnes, The Secret (versi Bahasa Indonesia). Tangan saya menyentuh kulit buku tersebut tetapi tidak terdorong untuk membukanya, karena suara batin saya berkata, “It’s not a Secret anymore—bukan rahasia lagi, ah!”

Semua motivator pengembangan diri mengumandangkan rahasia kesuksesan dalam pelatihan yang mereka tawarkan kepada Anda, karena di tengah masyarakat yang frustrasi kata ‘gagal’ ibarat virus Ebola—mematikan tetapi sulit diatasi. Tetapi sesungguhnya Anda tidak dapat membongkar rahasia kesuksesan tanpa terlebih dahulu mengupas udang di balik batu bernama kegagalan.©


Jakarta, 19 November 2008

No comments: