Thursday, November 13, 2008

25 Jam Per Hari

"Alah bisa karena biasa."
—Peribahasa



Setiap Hari Valentine, 14 Februari, saya teringat kembali pada sebuah insiden kecil, yang layak direnungkan. Kejadiannya sudah sekian lama berlalu, yaitu ketika saya masih kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, antara tahun 1987-1993. Pada masa itu, di kampus UI terdapat dua golongan ideologi yang saling bertentangan, yang disebut 'hijau' dan 'merah'. Hijau mengacu pada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sedangkan merah pada pendukung Marxisme. Kedua golongan tersebut sama-sama suka merecoki aktivitas mahasiswa lain, tetapi rata-rata mahasiswa tidak ambil pusing, karena belum sampai ke tingkat intimidasi.

Pada suatu Hari Valentine, saya sedang duduk-duduk, membaca koran, di lobi Perpustakaan FSUI, ketika seorang kawan menghampiri kawan saya yang lainnya, yang duduk dekat saya. Keduanya saling berjabat tangan dan saling memberi selamat Hari Valentine. Kedua kawan saya itu adalah laki-laki, bukan gay, sehingga bisa dimengerti bahwa pada saat itu saja Valentinan bukan lagi (dan secara historis memang bukan)* monopoli remaja yang tengah memadu asmara. Melihat kelakuan kedua kawan saya itu, seorang mahasiswa, yang dari penampilannya saja bisa segera dikenali bahwa ia 'hijau', yang duduk tidak jauh dari mereka, mencibir kemudian berkata dengan ketus, "Kasih sayang itu setiap hari, nggak cuman Valentinan!"

Saya, tanpa maksud sama sekali untuk memihak kepada kedua kawan saya itu, spontan berucap, "Iya, bener lho. Kasih sayang itu nggak cuman pas Valentinan. Sama halnya, saling memaafkan lahir-batin nggak cuman pas Lebaran doang." Si anggota kelompok hijau itu duduk terpaku dan memasang tampang sebal mendengar timpalan saya. Lalu dia serta-merta beranjak pergi.

Pada banyak hal esensial dalam kehidupan kita, kita seringkali mematok ruang dan waktu bagi pengamalannya, padahal seyogianya kita melakukannya setiap saat, tanpa batasan waktu dan ruang. Pengungkapan kasih sayang, misalnya, tidak hanya pada Hari Valentine—bukan pula hanya kepada kekasih tetapi kepada semua makhluk; begitu pula maaf-maafan tidak hanya pada saat Idul Fitri. Berkorban bagi orang lain juga bukan hanya saat Idul Adha dan bersikap sabar, ikhlas dan tawakal bukan hanya ketika kita berhaji atau ketika menunaikan ibadah puasa selama bulan Ramadhan. Kasih sayang, pengorbanan, kesabaran, keikhlasan dan sifat-sifat luhur lainnya merupakan representasi keilahian, sehingga jika kita mengimani eksistensi Tuhan bukankah sifat-sifat itu seharusnya ditonjolkan setiap saat?

Banyak dari kita yang menganggap pesona pengalaman spiritual hanya tersedia di Mekah ketika berhaji atau berumroh, di Lourdes, Yerusalem, masjid, gereja, kuil, candi, pura, kelenteng, Sungai Gangga, dan lain-lain tempat ibadah atau ziarah (pilgrimage), padahal bila saja kita mau secara sadar menjalani hidup dengan senantiasa bersyukur serta mewujudkan rasa syukur kita dengan membagi berkah yang kita terima dari Tuhan kepada orang lain, pengalaman dan pemahaman spiritual akan terus-menerus mewarnai hidup kita. Manusia, mungkin karena bersifat materi, suka melekatkan diri pada benda, dan membiarkan sugesti perasaan atas benda itu melingkupi dirinya. Jemaah haji yang menangis di depan Ka'bah, tetapi tertawa di atas penderitaan orang lain, adalah contoh manusia yang dikuasai sugesti atas kesaktian benda, ruang dan waktu. Saya teringat pada acara televisi bertajuk "7 Hari Menuju Tobat," yang melibatkan sebuah pesantren. Pesantren tersebut mempunyai tiruan Gua Hira', di mana insan berkelakuan buruk dibawa menuju tobat. Sungguh janggal, mengingat seharusnya si pelaku diajak mengalami Tuhan melalui rumah ibadah di dalam hati, karena Tuhan bukan makhluk seperti kita yang bisa ditangkup ruang gua, dikuasai kedigdayaan benda pusaka, dan hadir menurut putaran waktu; Dia adalah suatu spirit Yang Maha Kuasa dan tidak dapat dibatasi oleh materi, ruang, dan waktu.

Barangkali Anda tahu kisah tentang seseorang bernama Muwaffaq dari Damaskus yang dinobatkan oleh Allah SWT sebagai 'haji mabrur', sedangkan yang bersangkutan sendiri belum sempat berangkat haji. Ia tidak jadi berangkat karena dana perjalanannya telah ia sumbangkan seluruhnya kepada tetangganya yang kelaparan. Dari kisah ini saja terungkap bahwa nilai kehajian bukanlah perjalanan ke Tanah Suci, melainkan kesiapan mental untuk berkorban bagi orang lain tanpa pamrih. Mentalitas semacam itu bisa dihidupkan melalui sikap berserah diri kepada kehendak Tuhan secara sabar, ikhlas, dan tawakal. Yesus pun bertitah (dalam Matius 9: 21), "Bukan setiap orang yang berseru kepadaku: 'Tuhan, Tuhan!' akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan Kehendak Bapaku yang di sorga."

Seorang saudara Subud pernah mengutarakan keheranannya pada saya, karena ia mendengar bahwa saya Latihan Kejiwaan-nya 25 jam per hari (baca: terus-menerus tanpa putus). Dia mengacu pada 'ketetapan waktu' Latihan di lingkungan Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Subud yang hanya setengah jam, maksimal tiga kali dalam seminggu. "Jadi, di luar itu kita nggak perlu berserah diri?" tanya saya. Saudara itu mengangkat bahu dan berucap, "Wah, kalau saya nggak bisa tuh berserah diri di luar Wisma Subud." Saya mengangguk-angguk sambil cengengesan karena tidak mau menganggap dialog itu sebagai sesuatu yang serius. Saya pun menyindir, "Nggak apa-apa, Tuhan emang cuman ada di Wisma Subud setiap Senin, Kamis dan Minggu kok." Muhammad Subuh dalam surat jawaban beliau kepada anggota Subud saja menerangkan:

"Saudara-saudara, sebenarnya tempat yang baik dan utama bagi Latihan yang hakikatnya kebaktian para saudara terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu ialah di diri para saudara sendiri. Kalau diri para saudara tenang dan tenteram, terlepas dari pengaruh nafsu, di mana saja saudara-saudara berlatih, rasa diri saudara-saudara akan terasa lapang dan tenteram. Inilah yang perlu para saudara membiasakan, sehingga saudara-saudara pada kenyataannya tidak terpengaruh oleh daya-daya hidup kebendaan." (Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, Kumpulan Surat-Surat Jawaban Bapak Atas Pertanyaan Para Anggota Subud, ed. II, 1998, hlm. 36)

Tampaknya, kebanyakan orang perlu aturan ruang dan waktu untuk mengamalkan segala sesuatu yang sejatinya tidak memerlukan keduanya. Awal 2008 saya disibukkan oleh penulisan laporan tahunan (annual report), yang mencakup beberapa elemen komunikasi korporat dalam rangka pembentukan citra, antara lain tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance, GCG) dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR). Banyak perusahaan kini berambisi untuk memenangkan ARA (Annual Report Award) atau pun sekadar untuk memperbaiki citra. Kriteria penilaian yang ditetapkan BAPEPAM memberi tekanan pada GCG hingga 35%, sehingga, utamanya, badan-badan usaha milik negara (BUMN), baik yang terbuka maupun tertutup, menggenjot aspek-aspek tanggung jawab, akuntabilitas, kesetaraan, dan transparansi dari GCG hanya demi memenangkan ARA atau mengilapkan citra korporat belaka! Bagi saya, ini konyol dan memuakkan—lho, bukankah GCG yang mencakup CSR memang seharusnya menjadi kesadaran moral dunia usaha, dengan atau tanpa insentif penghargaan? Kebijakan pemerintah yang dirilis tahun 2007, yaitu Undang-Undang Perseroan Terbatas yang mewajibkan setiap perusahaan untuk mengalokasikan minimal 2% dari keuntungannya untuk program CSR, menuai protes dari kalangan dunia usaha sendiri, yang praktis membuktikan bahwa kepedulian mereka terhadap lingkungan hanyalah proyek window dressing, selain bahwa selama ini dunia usaha memang tidak pernah benar-benar peduli pada pemangku kepentingan (stakeholder: karyawan dan masyarakat). Peduli tidak perlu aturan, melainkan kesadaran, yang ditumbuhkan oleh kebiasaan dalam melakukannya!

Orang yang sadar siang-malam cenderung mengamalkan kebaikan selama 25 jam per hari, tidak peduli apakah dilihat orang lain atau tidak. Hal ini sebenarnya sudah diajarkan oleh agama. Salat wajib lima waktu dalam agama Islam melatih umat agar terbiasa mengingat Tuhan sepanjang waktu. "Jika ada orang yang rajin salat lima waktu tetapi masih juga bejat atau masih suka stres," tutur kawan saya, "artinya dia menghadirkan Tuhan hanya pas Subuh, Dzuhur, Asar, Maghrib dan Isya’—selepas itu, Tuhan nggak ada." (Anehnya, kita cenderung mematuhi aturan untuk melapor ke Ketua RT dalam waktu 1 x 24 jam jika bertamu ke rumah relasi atau kerabat kita, ketimbang menaati tuntunan Tuhan Yang Maha Ada 25 jam per hari.)

Kitab Taurat dan Bible mengajarkan umat Yahudi dan Nasrani untuk bersyukur setiap saat melalui perayaan hari-hari raya keagamaan mereka—yang kemudian diadaptasi oleh Islam; jika sudah tiba hari raya, umat sepatutnya merayakannya, bukannya malah dengan sengaja melanjutkan penderitaan. (Itulah sebabnya, bagi umat Islam haram hukumnya untuk berpuasa terus ketika sudah memasuki 1 Syawal.) Makna dari ajaran ini ialah jika sudah tiba saatnya bergembira, maka bergembiralah; rasa gembira membuat manusia umumnya mampu bersyukur. Ajaran ini juga menanamkan keinsafan pada umat bahwa pada setiap derita (cobaan) ada kabar gembira (nikmat), sehingga tidak heran bila para nabi dan utusan di masa lalu senantiasa mengajak umat mereka untuk bersyukur setiap waktu, 25 jam per hari. Karena Tuhan tidak terbatas ruang dan waktu; Dia hadir setiap saat, lebih dekat daripada urat leher kita.©


*) Santo Valentine (dalam bahasa Latinnya 'Valentinus' ) adalah nama dari beberapa santo suci di Romawi kuno. Tentang Santo Valentine yang harinya dirayakan pada tanggal 14 Februari tidak diperoleh informasi apa pun kecuali tentang namanya dan bahwa ia dimakamkan di Via Flamina di sebelah utara kota Roma pada 14 Februari. Bahkan tidak jelas apakah perayaan pada hari itu memperingati satu atau dua atau lebih santo dengan nama yang sama. Martirologi Romawi yang resmi untuk 14 Februari hanya menyebut satu Santo Valentine. Ahli-ahli purbakala Inggris abad ke-18, Alban Butler dan Francis Douce, terkait dengan ketidakjelasan dari identitas Santo Valentine, memperkirakan bahwa Hari Valentine diciptakan sebagai upaya untuk melestarikan hari libur Lupercalia dari kaum pagan. Banyak dari legenda yang mencirikan Santo Valentine ditemukan pada abad ke-14 di Inggris, terutama oleh Geoffrey Chaucer dan pengikutnya, ketika perayaan 14 Februari dikaitkan dengan cinta romantis.



Jakarta, 14 November 2008.

No comments: