Thursday, November 13, 2008

Kaya Rasa Kaya

"Tidak punya uang bukan kendala. Tidak punya idelah yang menghambat."
-- Ken Hakuta

"Uang tidak bisa membeli teman, tetapi bisa memberi Anda musuh yang lebih baik."
-- Spike Milligan


Pada hari Kamis, 13 Maret 2008, pukul 19.40 saya beranjak dari kesibukan saya pada sebuah perusahaan komunikasi pemasaran di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Saya bekerja di perusahaan itu selaku freelance PR writer, dan sudah empat hari berturut-turut, setiap siang hingga malam, saya berkutat di depan komputer di ruangan Departemen Kreatifnya, menulis naskah buat laporan tahunan salah satu kliennya.

Beberapa kali saya berkeluh-kesah, karena klien selalu saja menilai naskah yang saya buat tidak sesuai dengan keinginan mereka. Saya sampai membatin, "Ya Tuhan, jadikanlah aku kaya-raya, sehingga aku tidak perlu lagi melakukan pekerjaan yang menyebalkan ini." Kamis itu, bukan saja batin saya yang lelah, tetapi badan saya pun letih sekali, agak sakit, karena selama empat hari berturut-turut perjalanan saya dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya saya selalu kehujanan, dan pegal karena kelamaan duduk mengetik naskah. "Ya Tuhan, jadikanlah aku kaya-raya!" teriak saya dalam hati. Keinginan menjadi kaya empat hari belakangan ini memang menjadi muatan doa saya, semata supaya saya tidak perlu bekerja sekeras sekarang ini serta agar saya bisa membantu orang lain yang kekurangan.

Dari Cempaka Putih, saya memacu sepeda motor saya ke Wisma Subud Cilandak, di mana saya melepas beban hidup seharian itu dan berbakti kepad Tuhan melalui Latihan Kejiwaan. Usai Latihan, saya mengajak dua saudara Subud -- sebut saja X dan Y -- makan di warung pecel lele di seberang gerbang kompleks Wisma Subud, Jl. RS Fatmawati 52, Jakarta Selatan. Saya sudah cukup baik mengenal X, sedangkan Y, meski saya sering bertemu dengannya di Wisma Subud Cilandak, masih terasa asing. Maka ketika makan itulah saya mengarahkan pertanyaan-pertanyaan kepada dirinya. Sebagai praktisi komunikasi pemasaran, saya memang terbiasa menanyai dan mengamati kehidupan pasar sasaran (target market), untuk mengetahui apa yang mereka pikirkan dan inginkan dari sebuah merek.

Jawaban-jawaban Y serta kisah-kisah pelengkapnya membuat saya tersentak, terutama karena erat dengan doa 'agar kaya' yang saya panjatkan. Y hidup sebatang kara di Jakarta; orang tuanya tinggal di luar Pulau Jawa. Tiga tahun yang lalu ia menginjakkan kaki di Jakarta,  tanpa uang yang cukup untuk makan tiga kali sehari, serta tidak punya kerabat—satu-satunya keluarga adalah saudara-saudara Subudnya. Setiap malam ia tidur di masjid, tidak tahu apakah keesokan harinya ia masih bisa makan atau tidak, karena pekerjaan pun ia tak punya. Ia bukan pemalas, karena dari ceritanya tersirat keinginannya untuk mencari nafkah. Yang luar biasa dari dirinya adalah bahwa ia tak pernah absen datang ke Wisma Subud untuk Latihan Kejiwaan, berbakti kepada Tuhan—sedangkan yang berduit saja belum tentu seminggu sekali datang.

Rasa malu spontan menusuk hati saya. Beberapa jam yang lalu saya masih berkeluh-kesah mengenai hal-hal sepele, dan memohon kepada Tuhan agar saya diberi kekayaan. Membandingkan diri saya dengan Y yang sedemikian rupa, ternyata apa yang saya alami belum seberapa. Dari kisah Y pula saya mendapat kepahaman bahwa 'kaya' hanyalah soal rasa.

Dunia kita sudah sedemikian tenggelam dalam lumpur materialisme, sehingga kita memiliki paradigma yang keliru tentang kekayaan. 'Kaya' semata diukur dari kelebihan dalam hal benda yang kasat mata dan tak bergerak. Padahal banyak aspek tankasat mata dan bergeraknya yang justru lebih menyokong kepada terciptanya kesejahteraan kita. Sebut saja 'waktu', 'cinta', 'hubungan', 'wawasan' atau 'ilmu', 'kreativitas' , 'keberanian' , atau sekadar 'serius tetapi santai'.

Industrialis Amerika dan pendiri Getty Oil Company, Jean Paul Getty (1892-1976), suatu saat disurati oleh seorang sahabat masa kecilnya, yang menyatakan bahwa bagaimanapun ia lebih kaya dan bahagia daripada Getty. Dari segi finansial, derajat Getty dan sahabatnya itu bagaikan langit dan bumi. Tetapi toh sahabatnya itu merasa lebih kaya. Bagaimana mungkin? Ternyata, meski kekayaan Getty mencapai $50,1 miliar (menurut majalah Forbes, Februari 2008) waktunya habis hanya untuk bekerja membangun kerajaan bisnisnya. Sebaliknya, sang sahabat bekerja sewajarnya, dengan komitmen untuk menghidupi keluarganya, sehingga pada waktu-waktu pasca jam kerja dan pada akhir pekan ia mempunyai banyak kesempatan berkumpul bersama keluarganya—sesuatu yang tidak dimiliki Getty. Selama hidupnya, Getty telah lima kali menikah, semua hanya berlangsung singkat; ia tidak percaya hubungan jangka panjang; bahkan kelak ia berkata, "Hubungan abadi dengan seorang wanita hanya mungkin jika Anda gagal dalam bisnis." Getty pun akhirnya mengakui bahwa ia ternyata sangat miskin waktu, dan jangankan menikmati kebersamaan dengan keluarganya, momen-momen untuk menikmati harta kekayaannya pun tidak ia miliki. J. Paul Getty, karena itu, miskin waktu dan cinta.

Mitra kerja saya, seorang creative director yang berstatus pegawai tetap pada sebuah biro iklan berskala kecil, beberapa waktu lalui mengeluhkan tekanan batinnya selama bekerja di biro iklan tersebut. Saya sarankan agar ia mengundurkan diri saja, karena sebagai seorang pekerja kreatif yang jam terbangnya sudah banyak seharusnya ia tidak lagi bekerja untuk orang lain, melainkan mendirikan perusahaannya sendiri atau menjadi agen bebas seperti saya. Ia tidak berani menempuh jalan itu, karena rupanya ia tidak mempunyai jaringan kapital sosial yang sebenarnya dapat menawarkan kepadanya berbagai peluang. Sebagai seorang creative director berpengalaman, mitra kerja saya itu bergaji besar; ia kaya harta dan jabatan, tetapi sangat miskin hubungan dan keberanian.

Salah seorang klien saya ketika saya masih berkarier di industri periklanan di Surabaya adalah seorang pengusaha bergelar akademis MBA dari sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat, plus gelas dari sekolah bisnis di Singapura. Bagaimanapun, ia selalu duduk manis seperti murid TK yang mendengarkan penjelasan gurunya dengan seksama setiap kali saya memberinya masukan-masukan mengenai strategi pemasaran bagi produknya. Ia pun memastikan bahwa saya, seperti dirinya, jebolan sekolah bisnis bergengsi di Amerika. Ia tercengang, ketika saya mengatakan bahwa saya 'hanya' sarjana strata satu jurusan sejarah dari sebuah perguruan tinggi negeri di Depok, Jawa Barat. "Tetapi kok kamu ngerti marketing? Yang kamu sampaikan tadi adalah kuliahku dahulu di Amerika," kata klien saya, lugu. Saya hanya tersenyum. Kesukaan membaca mendatangkan kekayaan dalam wujud ilmu bagi saya.

Saudara Subud saya, yang juga mitra kerja saya, seorang desainer grafis, merupakan sosok yang serius dalam melakoni profesinya tetapi sangat santai ketika bekerja. Dari penampilan luarnya saja sudah memberi kesan kesantaiannya: kaos tanpa kerah, celana jeans belel yang sobek di sana-sini, dan lehernya berkalungkan USB flashdisk, seperangkat kunci dan sebuah kartu bebas bea masuk ke kompleks perkantoran di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Setiap kali memasuki areal kerja ia menyapa orang-orang di situ dengan tawa cengengesan atau "What's up, bro!" Selagi sibuk mendesain layout di layar komputer, dengan tenggat waktu yang ketat, tak berkurang senda-guraunya atau mengurusi hal-hal remeh yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, seperti chatting, teriak-teriak tidak karuan, atau menimpali celetukan porno dari orang-orang di sekitarnya (termasuk saya). Tetapi hasil pekerjaannya selalu berkualitas tinggi, membuat iri rekan setimnya yang tidak merangkul privilese 'serius tetapi santai' dalam bekerja seperti dirinya. Ditanya perihal itu oleh rekan satu timnya, ia menjawab dengan serius tetapi santai, "Ah, gue kan cuman penyalur kekuasaan Tuhan ke komputer ini. Aslinye, gue kagak bise ape-ape!"

Kekayaan tidak bisa menciptakan kreativitas, tetapi, sebaliknya, kreativitas bisa mewujudkan kekayaan; bukan hanya harta benda, tetapi juga cinta, hubungan, wawasan, keberanian dan rasa syukur. Itu pengalaman saya sebagai pekerja kreatif selama lebih dari empat belas tahun. Memperoleh gagasan yang cemerlang memercikkan kegembiraan tiada tara, yang sulit diungkap dengan kata-kata. Antusiasme—mendekati getaran orgasme—yang mengiringi ketika saya mengupayakan perwujudan dari gagasan itu membuat saya merasa optimis bahwa semua persoalan bisa teratasi. Perasaan itu saja, bagi saya, sudah memadai untuk menisbikan masalah!

Saya tidak setuju dengan visi 'kebahagiaan universal' seperti yang disuarakan oleh banyak motivator sumber daya manusia. Kebahagiaan lebih bersifat pribadi, sesuatu yang berawal dari cara pandang masing-masing kita terhadap kehidupan. Jika kekayaan tidak bisa kita syukuri, maka dalam sekejap akan berubah menjadi kemiskinan. Sedangkan bila kemiskinan kita sikapi sebagai hadiah terindah dari Tuhan, maka seketika kita akan merasa kaya. Sesaat setelah mendapat kepahaman melalui kisah Y itu saya mengucapkan doa syukur di dalam keheningan ruang batin saya: "Terima kasih, Tuhan, karena Engkau telah menjadikan aku kaya akan rasa kaya."©



Jakarta, 14 November 2008.

No comments: