Wednesday, October 29, 2008

Baju Agamis

Saya pertama kali mengunjungi Masjid Sunan Ampel di Surabaya pada tahun 2000. Waktu itu, saya baru sembilan bulan bekerja di sebuah biro iklan di Kota Pahlawan dan saya ke kawasan Ampel dalam rangka mencari lokasi untuk pemasangan iklan media luar ruang buat klien saya, produsen Sarung Kenari. Saya ke kompleks yang merupakan salah satu tempat 'wajib kunjung' dalam rangkaian ziarah Wali Sanga itu bersama tiga teman saya (dua cowok, satu cewek).

Di halaman depan masjid bersejarah itu terpampang papan yang memberitahu para pengunjung agar berbusana Muslim. Teman saya yang cewek kebetulan tidak mengenakan busana yang memenuhi syarat untuk disebut sebagai 'busana Muslim' dan ia pun dipersilakan oleh juru kunci Masjid dan Makam Sunan Ampel agar meninggalkan lokasi itu. Saya protes keras!!! Terutama karena pihak pengurus Masjid dan Makam tidak bersikap konsisten. Sambil menunjuk ke arah makam, saya berkata kepada sang juru kunci, "Tapi orang-orang salat ngadep kuburan dibiarin? Itu kan syirik, Pak, nggak Islami! Bid'ah!" Di lokasi makam memang banyak orang mengerjakan salat menghadap kuburan Sunan Ampeldenta dan membakar dupa. Tapi juru kunci hanya mengangkat bahu, mengisyaratkan bahwa ia tak dapat berbuat apa-apa terhadap hal itu.

Mengenang kejadian menyebalkan di kompleks Masjid Sunan Ampel Surabaya itu saya teringat pada program radio Keluarga Islami yang rutin ditayangkan di Radio Ramako 105.8FM (sekarang Lite FM) setiap malam Jum'at, yang menampilkan Pak Siwo sebagai narasumber. Suatu kali, ada seseorang menelepon dan menanyakan pendapat Pak Siwo tentang masyarakat agamis yang menentang spiritual(itas). Pak Siwo bertanya balik, "Apa maksudnya 'masyarakat agamis'? Apa ukurannya? Masyarakat agamis kok nentang spiritual. Gimana mau benar agamanya kalau tanpa spiritual? Spiritual itu kan cuman istilah asing yang diterjemahin sebagai 'kerohanian'. Nah, kalau agama tanpa dibarengi kerohanian mau jadi apa?" Saya tertawa ngakak mendengar sentilan Pak Siwo. Beliau selanjutnya mengatakan, "Apa tolok ukur agamis itu pada pakaian? Apa kalau pakai baju koko, berpeci, atau berjilbab lantas dianggap pemakainya lebih beriman daripada yang nggak berbusana Muslim? Jangan ngawur dong!"

Saya sering menjumpai orang-orang yang berlindung di balik 'baju agamis'. Bukan hanya dari kalangan orang Islam, tapi juga para pemeluk agama-agama lainnya. Pada saat bersamaan, sikap dan perilakunya amat tidak menunjukkan sikap keberagamaan yang sesuai! Yang lebih parah bila terlalu menganggap Arab/Timur Tengah itu Islam, karena, akibatnya, banyak juga yang tertipu. Ada orang-orang Islam yang bangga memasang stiker berkaligrafi tulisan Arab yang ternyata, setelah diterjemahkan dan dikaji, merupakan kutipan dari kitab suci non-Muslim. Jangan-jangan, kalau ada orang Arab iseng membuat bacaan nista (misalnya, stensilan porno) dalam bahasa dan aksara Arab serta mencantumkan riwayat bohong seolah sang penulis adalah anggota Rantai Emas (keturunan Nabi Muhammad), kaum pemuja simbol agama ini akan menganggapnya sebuah kitab hadis sahih! Wah, kacau balau, deh! Pasalnya, Arab/Timur Tengah tidak dengan sendirinya identik dengan Islam. Kawasan itu juga merupakan tempat lahirnya (cradle) agama-agama wahyu lainnya, juga aliran-aliran sesat.

Saya pernah menanyakan saudara saya dari Subud Cabang Surabaya, seorang keturunan Tionghoa yang beragama Katolik, kenapa ia tidak mengenakan kalung salib seperti halnya saudara-saudara saya umat Kristen pada umumnya. Ia menjawab sambil menepuk-nepuk dadanya, "Ada di dalam sini, Mas." Ada anggota Subud lainnya, juga dari Surabaya, yang seorang ustadz bergelar sarjana agama jebolan Universitas Darul Ulum, Jombang. Penampilannya biasa saja; artinya, tidak show off kepada publik melalui busana dan aksesori yang menandakan ia seorang ustadz!

Sejak mengembara di Jalan Spiritual, tidak lagi terpesona mata lahir saya terhadap simbol-simbol agama. Saya hanya terpesona, memandang dengan hati penuh kerinduan pada Dzat Wajibul Wujud, al-Haqq 'Azza wa Jalla!!! Pada saat ini, saya merasakan ada pemberhalaan terhadap sistem dan pemberhalaan terhadap materi. Sistem yang diajarkan agama, bila dipahami secara kontemporer dan kontekstual, adalah suatu 'jalan' menuju kepada Tuhan. Namun, tanpa disadari, fanatisme sering membutakan kita sehingga kita menyembah 'jalan' tersebut, bukannya Tuhan. Dan juga kita menyembah materi yang berupa simbol-simbol. Simbol merupakan materi, sedangkan Allah tidak dapat dibatasi dengan materi. Dia adalah suatu Spirit yang Maha Kuasa dan tidak dapat dibatasi materi. Mengutip Perjanjian Baru (Yohanes 4: 24): "Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam roh dan kebenaran."

Spiritualitas merupakan suatu jalan tanpa sistem dan tanpa materi perantara (simbol-simbol), yang saya percaya juga dapat meraih Tuhan seperti agama. Sebab, jalan kepada Allah adalah dengan rumah ibadah yang berasal dari dalam hati. Psikolog Amerika, DR Robert Frager, yang juga seorang syekh Tarekat Sufi al-Halveti al-Jerrahi, dalam bukunya Hati, Diri & Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi (Jakarta: Serambi, 2002) menyebut hati sebagai 'kuil Tuhan'. Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab Jala'al Khawathir [Bersitan-Bersitan Hati]: 45 Hikmah Kebajikan (Surabaya: Risalah Gusti, 2006) maupun Al-Fath ar-Rabbani wa al-Faydl ar-Rahmani [Renungan Sufi: 62 Petuah Ruhaniah] (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Al-Furqan, 2006) mengajak kita untuk sering-sering memejamkan mata dan menundukkan kepala, merendahkan hati, diri dan jiwa di hadapan Allah 'Azza wa Jalla.

Kenapa memejamkan mata? Amalan pemejaman mata terdapat tidak saja di dalam [tasawuf] Islam, tapi juga di meditasi transendental Buddhisme Zen dan persembahyangan Hindu. Bahkan, bukankah kita juga lebih khidmat berdoa kalau mata kita terpejam? Mata lahir kita sejak menapak usia akil baliq sudah terbiasa melihat gemerlap duniawi yang menggoda. Dunia sarat dengan materi dan 'bahasa simbol', sehingga kita pun sering tidak yakin telah berhadapan dengan Tuhan kalau tidak ada benda perantara, seperti tulisan Arab untuk 'Allah' dan 'Muhammad' di dinding masjid (bahkan kita pun kadang merasa tidak sreg kalau masjid tidak berarsitektur Timur Tengah), salib, patung Buddha Shakyamuni, dan lain-lain. Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani, Maulana Jalaluddin Rumi dan para guru kebajikan lainnya selalu menekankan agar kita berlatih memutus rupa dunia dengan memejamkan mata atau menundukkan kepala, terutama ketika sedang sembahyang, seperti halnya orang mati. Falsafah Kejawen menyebutnya mati sajroning urip (mati di dalam hidup), yaitu kematian hawa nafsu.

Sang Buddha pernah bertitah kepada umatnya, "Bila kamu dalam meditasimu masih melihat aku [fisik], bunuhlah aku!" Dalam ajaran Sang Buddha, pemujaan terhadap bentuk-bentuk lahir merupakan refleksi dari berkuasanya nafsu pada diri seseorang, dan menghalangi perjalanannya menuju Sang Pencipta. Spiritualitas tidak memerlukan perantara apa pun untuk mendekat kepada al-Haqq, Puncak Kebenaran, karena yang digunakan adalah perangkat ruhaniah (hati, diri dan jiwa) yang bersifat rahasia, gaib (tankasat mata) dan tersembunyi. Silakan teman-teman merasakan sendiri bedanya antara beribadah dengan perantaraan materi dan dengan menggunakan perangkat ruhaniah. Maha Suci al-Khalik dari segala keserupaan dengan makhluk. Wa Allahu 'alam bishowab.©


Jakarta, 30 Oktober 2008.

No comments: