Wednesday, July 1, 2020

Malaikat Penjaga



SAYA kesengsem pada film seri Touched by an Angel yang diputar oleh salah satu televisi kabel. Saya sering membayangkan, bahkan ketika masih kecil, kehadiran malaikat penjaga (guardian angel) yang menemani saya sepanjang perjalanan hidup saya. Saya membayangkan malaikat itu bagaikan seorang sahabat yang berada di dekat saya dalam suka maupun duka.

Dahulu, saya pikir malaikat penjaga hanyalah khayalan belaka, fantasi kanak-kanak yang diangkat ke layar kaca untuk menghibur pemirsa yang mungkin sedang menderita kesusahan. Tetapi pemikiran itu keliru, sejak saya menerima Latihan Kejiwaan. Meskipun tak tampak, gaib, kehadiran “malaikat penjaga” ini terasa nyata, dalam cara bagaimana ia senantiasa memberi saya jalan keluar.

Saya ingat pada satu pengalaman baru-baru ini.

Tanggal 22 Juni 2020 lalu, dalam perjalanan kembali ke Wisma Subud Cilandak, Jakarta, dari Wisma Subud Bogor, bersama empat saudara Subud dalam satu mobil, saya mendapat pesan WhatsApp dari klien saya, Dinas Penerangan Angkatan Laut (Dispenal), yang menantikan artikel saya untuk dimuat di majalah The Horizon edisi ke-2 tahun 2020. Jauh hari sebelum hari itu, saya memang sudah diminta, namun karena saya anggap becanda, maka saya santai saja, tidak membuat artikel tersebut. Saya pikir, apalah saya dibandingkan penulis-penulis lainnya yang rata-rata perwira menengah hingga tinggi di lingkungan TNI Angkatan Laut.

Namun, hari itu, klien—person in charge majalah The Horizon, seorang anggota Korps Wanita Angkatan Laut (Kowal) berpangkat Letnan-Kolonel Laut—terus mendesak, dengan tekanan bahwa tenggat waktunya adalah keesokan harinya. Saya membatin, “Ya, Tuhan, apa yang harus saya tulis? Saya belum begitu memahami dunia angkatan laut.”

Meskipun mendalami kajian militer, fokus saya selama ini hanya pada angkatan darat, sejarah dan strategi perang darat, belum pernah pada angkatan laut.

Tiba-tiba, saya mendengar suara batin saya berkata, “Tidak usah dipikirkan. Relakan saja.”

Saya (membatin): “Tapi aku capek sekali. Aku pengen istirahat hari ini.”

Suara batin: “Ya, istirahatlah secukupnya. Sampai rumah nanti kamu tidur.”

Sampai rumah, saya menyantap makan siang, dan beberapa lama kemudian saya tidur. Terbangun setelah magrib, saya mendesah, terpikir kembali oleh saya bahwa saya harus membuat artikel untuk majalah The Horizon. Saya pun mendengar suara batin—saya menganggapnya suara sang malaikat penjaga—berkata, “Tulislah tentang sesuatu yang paling kamu pahami dan dikaitkan dengan angkatan laut.”

Saya membatin, “Sesuatu yang paling aku pahami? Ya, kereta api dan kuliner. Ada relevansinya dengan angkatan laut?”

Suara batin: “Kamu ingat, apa yang menjadi tema skripsimu?”

Saya (membatin): “Perang urat saraf. Studi awal terhadap perang urat saraf dalam Perang Kemerdekaan RI.”

Suara batin: “Mengapa kamu menulis tentang perang urat saraf?”

Saya (membatin): “Karena terinspirasi Bapak (panggilan untuk ayah saya) yang pernah kursus perang urat saraf di Jerman Barat.”

Saya terpaku. Mendadak, semua kenangan itu mengisi benak saya. Ayah saya, pernah bercerita tentang pengalaman beliau mengikuti kursus perang urat saraf di Jerman Barat, dikirim oleh kantor tempat beliau bekerja, yaitu Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin; sekarang Badan Intelijen Negara/BIN). Beliau menuturkan tentang cara kerja intelijen, yang menaklukkan musuh dengan perang urat saraf. Dalam perang urat saraf (psychological warfare), tindakan yang dilancarkan menggunakan cara-cara psikologi dengan tujuan membangkitkan reaksi psikologis yang telah dirancang terhadap orang lain.

Rangkaian dialog-dalam-kenangan dengan ayah saya itu mengerucut pada satu tema: Intelijen. Nah, suara batin saya, berteriak, seolah menggoyang badan saya seperti guru terhadap muridnya yang bodoh: “Tidakkah kamu paham, intelijen relevan dengan angkatan laut. Intelijen adalah mata dan telinga dari angkatan laut maupun angkatan-angkatan lainnya.”

Saya ingin berteriak “Eureka!” (bahasa Yunani yang berarti “Saya telah menemukannya”, yang diteriakkan Archimedes ketika ia menemukan hukum gaya tarik), tetapi hari sudah malam; saya khawatir akan mengejutkan keluarga saya. Saya pun bergegas turun dari tempat tidur dan pergi ke ruang kerja saya, menyalakan komputer, lalu duduk diam menatap layarnya yang telah menyajikan halaman putih pertama dari Microsoft Word. Satu kalimat judul telah tercantum: The Future of Naval Intelligence (Masa Depan Intelijen Angkatan Laut)

Saya (membatin): “Saya harus mulai dari mana?”

Suara batin: “Coba diingat-ingat apa yang pernah Bapak katakan ke kamu.”

Saya memohon kepada Tuhan agar Dia “mengembalikan” saya ke masa lampau, ke momen saya mengobrol dengan ayah saya, lalu saya menenangkan diri dengan perasaan sabar, tawakal, dan ikhlas. Laksana potongan-potongan jigsaw puzzle, satu per satu kenangan-kenangan bersama ayah saya menyatu menjadi satu rangkaian pita seluloid film yang ditayangkan di layar pikiran saya. Saya teringat pada satu episode di mana ayah saya mengatakan betapa lemahnya intelijen militer yang mengabaikan pengkajian sejarah, budaya, dan sosiologi suatu bangsa atau masyarakat, yang akibatnya memberi mereka pondasi analitik yang melenceng.

Dengan ingatan itu, saya pun mulai merancang bangun artikel saya tentang masa depan intelijen yang dihadapkan pada tantangan dalam memperoleh data yang valid. Saya berangkat dari kecenderungan para perwira intelijen yang malas dalam menggali data sehingga berpotensi mengacaukan operasi militer. Saya menyarankan dalam artikel tersebut agar proses pengumpulan data disandarkan pada cara sejarawan, dengan mengklasifikasi data menurut asalnya: data primer (sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya yang berupa wawancara, jajak pendapat dari individu atau kelompok, maupun hasil observasi dari suatu obyek, kejadian atau hasil pengujian terhadap benda), data sekunder (sumber data penelitian yang diperoleh melalui media perantara atau secara tidak langsung yang berupa buku, catatan, bukti yang telah ada, atau arsip, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan secara umum), dan sumber tersier (kumpulan data primer dan sekunder, seperti ensiklopedia atau buku teks). Saya tegaskan dalam artikel saya yang sepanjang empat setengah halaman A4 itu bahwa sebisa mungkin perwira intelijen angkatan laut harus mendapatkan data primer.

Saya juga mengkritisi, bahwa sebagai akibat dari kemalasan mereka, para perwira intelijen dewasa ini cepat percaya pada data sekunder yang mereka peroleh dari internet, bahwa ketergantungan pada teknologi harus diimbangi dengan kemampuan “manual”, sehingga ketika teknologi tidak berfungsi mereka tetap dapat menjalankan tugasnya.

Pada malam itu juga, sejak saya mulai mengerjakannya, saya mengirimkan artikel tersebut ke klien saya.

Keesokan malamnya, dalam bincang-bincang saya dengan senior saya dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang berdinas di TNI Angkatan Laut, terungkap dari pihaknya bahwa intelijen TNI AL khususnya memang malas menggali data, dan cenderung mudah mempercayai informasi yang diperoleh dari internet. Menurutnya, artikel saya layak dibaca oleh Asisten Pengamanan dari Kepala Staf Angkatan Laut (Aspam KASAL), karena menyajikan informasi valid dan aktual. Saya sulit mempercayai bahwa dialog batin saya menghasilkan karya sedemikian rupa. Puji Tuhan!

Saya berterima kasih pada malaikat penjaga saya dan kepada Tuhan yang telah menugaskan malaikat penjaga yang cerdas untuk mendampingi saya terus-menerus.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 1 Juli 2020

1 comment:

Serafica jati said...

Istimewa bekerjanya cara Tuhan