Saturday, July 4, 2020

Membawa Makanan ke Surga


SEBERAPA sering Anda makan sup iga? Steik? Soto jeroan sapi? Saya yakin, tidak sering. Mungkin hanya sekali seminggu atau sekali sebulan, atau bahkan setahun hanya sekali.

Saat memakannya, pasti berasa sangat lezat. Ya, jelas, karena jarang memakannya, jadi lidah telah menjadi “murni”. Itu sebabnya, demikian pengamatan saya, anak kecil dianjurkan makan makanan yang berbeda-beda, agar lidahnya peka terhadap rasa.

Karena kejarangan dalam konsumsi makanan-makanan yang saya sebutkan di atas, seharusnya kita tidak perlu khawatir. Makanlah secukupnya, tidak perlu berlebihan pula. Berlebihan itulah yang menyebabkan penyakit, tetapi pikiran khawatir yang menyertai saat memakannyalah yang lebih berbahaya, karena juga dapat menyebabkan penyakit.

Dapat dikatakan bahwa lebih dari 75 persen penyakit mematikan dewasa ini disebabkan oleh pikiran yang dipenuhi kekhawatiran atau ketakutan, lebih dari penyakitnya sendiri. Saya amati bahwa selama tiga bulan sejak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan di Jakarta dalam rangka menghadapi pandemi COVID-19, lebih banyak orang yang meninggal karena stroke atau serangan jantung, daripada karena virus Corona penyebab COVID-19. Orang yang mati karena tertekan lantaran memikirkan ancaman virus lebih banyak daripada akibat virusnya sendiri.

Berdasarkan pengalaman saya, menyantap makanan dengan pikiran yang kalut tidak akan memberi kita kelezatan yang sejatinya ditawarkan makanan tersebut—sehingga kita juga menjadi tidak mensyukuri rezeki Tuhan itu. Simpul-simpul saraf di lidah kita agaknya terkendala dengan simpul-simpul saraf di otak yang terbungkus aneka pikiran negatif. Menarik untuk direnungkan, kearifan yang menyatakan bahwa bahan-bahan yang membentuk makanan yang kita makan dapat terbawa ke surga apabila kita memakannya dalam keadaan diri yang dipenuhi sukacita. Bahkan, leluhur kita percaya—dari pengalaman nyata—meskipun racun yang kita makan, dia akan kehilangan dampak mematikannya apabila orang yang memakannya dalam keadaan ikhlas dan berpikir positif.

Saya pribadi menerapkan cara itu dalam menyambut tawaran makan dari orang lain. Makanya saya selalu merasa janggal dengan orang yang disodori makanan yang ada unsur yang pantang dia makan dengan alasan kesehatan, seperti nasi putih. Lain halnya bila prasmanan, yang swalayan, sehingga bisa menghindari makanan-makanan yang dipantangi. Tapi bila ditawari oleh tuan rumah, misalnya, adalah tidak sopan untuk menolak, apalagi dengan perkataan “Wah, saya nggak makan nasi, saya diabetes” atau “Saya tidak boleh makan jeroan, kolesterol tinggi”. Terima saja, tanpa komentar macam-macam, dan makanlah yang Anda rasa baik bagi tubuh Anda. Sisihkan yang Anda tidak mau atau tidak suka, tidak usah banyak komentar.

Saya ingat pada suatu pengalaman di bulan Desember 2015 di Kota Bandung, di mana saya dan tiga saudara Subud saya dari Jakarta Selatan dijamu minum bir di sebuah kafe oleh para saudara Subud Kelompok Cilengkrang. Satu saudara Subud saya dari Jakarta Selatan berbisik ke telinga saya, “Bro, gimana nih, minum bir nanti kita mabuk.” Ada nada kecemasan pada suaranya. Dia membayangkan bahwa usai acara di kafe tersebut kami akan langsung balik Jakarta naik mobil yang disopiri saudara Subud lainnya yang juga ikut menenggak bir.

Saya jawab dengan berbisik pula di telinga saudara Subud itu, “Bro, kita nggak akan mabuk. Tergantung niat, bro. Niat kita adalah untuk memuliakan tuan rumah.”

Alhasil, tidak ada di antara kami berempat yang mabuk, meski telah menenggak bergelas-gelas bir malam itu, dan dapat kembali ke Jakarta malam itu dengan lancar dan selamat. "Birnya sudah kita surgakan," gurau saudara Subud yang sebelumnya takut mabuk bila menerima tawaran minum bir dari tuan rumah itu. ©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 4 Juli 2020

No comments: