Thursday, July 23, 2020

Pengajian Semasa SMP


SEMASA sekolah menengah pertama (SMP), saya bersama Aprilsyah, anak asuh orang tua saya, diikutkan pengajian mingguan di rumah warga satu kompleks tempat tinggal kami. Saya sejak pertama kali mengenal yang namanya pengajian sebenarnya sudah emoh—saya paling malas belajar agama yang kebanyakan teori, tanpa aplikasi. Tapi pengajian semasa SMP itu menggugah saya, yang mengubah pandangan saya terhadap agama, dan mengarahkan saya ke perjalanan ruhani dengan tanya-jawab batin yang tak berkesudahan, namun asik.

Pengajian itu diikuti sepuluh anak sebaya saya, diajar seorang ustad yang sudah sepuh dan mumpuni ilmu agamanya. Namanya anak SMP, tentu sukanya bercanda dan bermain, tidak sepenuhnya menaruh perhatian pada pelajaran. Namun, adakalanya, saya memperhatikan dan tergugah. Yang paling saya ingat adalah pelajaran di mana sang ustad menyampaikan: “Belajar agama tidak cukup hanya ilmu yakin, hanya yakin dengan apa yang diajarkan tanpa kenyataan. Kamu juga harus ainul yakin, yaitu dengan mengalaminya. Dan, yang paling penting adalah haqul yakin, keyakinan yang diperkokoh oleh kesaksian akan kebenaran Allah.”

Di pengajian semasa SMP saya, ustadnya membacakan satu surah Alquran, ayat demi ayat, dan kami, para murid, mengikuti bacaan beliau dengan mengulanginya. Lalu, ustad menjelaskan korelasi suatu ayat dengan keteladanan Nabi Muhammad dan para sahabat dan/atau kisah-kisah sehari-hari sebagai contoh. Ada suatu kesegaran baru di pikiran dan hati saya tiap kali menghadiri pengajian tersebut. Apakah hari gini masih ada ustad yang seperti ustad pengajian semasa SMP saya? Saya belum menemukan.

Sebelum memulai pengajian, para peserta yang hadir menjelang asar lantas salat Asar berjamaah, yang diimami sang ustad. Pada satu kesempatan salat Asar berjamaah, saya dan Aprilsyah, karena badan kami lebih tinggi daripada rekan-rekan kami di pengajian itu, berada di saf paling belakang. Hal itu membuat kami sering iseng menggoda rekan-rekan kami di saf di depan kami dan bercanda di antara kami sendiri.

Usai salat, dengan nada halus tak mengandung amarah, ustad berkata kepada saya dan Aprilsyah, “Jangan mencampuradukkan salat dengan main-main, ya. Kalau mau salat ya salat saja, kalau mau main main saja. Pilih salah satu.”

Giliran salat Magrib berjamaah, saya dan Aprilsyah bersantai saja di teras rumah tempat pengajian diselenggarakan, sementara rekan-rekan kami mempersiapkan diri mereka untuk salat. Selama salat Magrib berlangsung, saya dan Aprilsyah tetap bercanda di teras. Ustad kemudian menegur kami, “Mau main-main saja?”

“Iya, Pak Ustad. Enak main aja,” kata saya, cuek. Ustad tersenyum, dan meninggalkan kami, tanpa memberi petuah panjang lebar, apalagi memperingatkan tentang surga dan neraka.

Ketika sudah di perguruan tinggi, saya berpapasan dengan sang ustad di jalan di dekat rumah orang tua saya. Terjadilah obrolan yang hangat, diisi kenangan akan pengajian semasa sekolah menengah pertama. Ustad mengatakan ke saya, “Saya sudah tahu dulu itu, kalau kamu tipe pencari kebenaran, nggak mau brenti di ilmu yakin saja. Makanya, saya biarkan kamu dan saudaramu bermain, waktu teman-temanmu salat Magrib.”

Ah, saya jadi kangen pengajian semasa SMP, dengan ustad yang arif dan bijaksana seperti KH Chaeruddin Bakri, Lc.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 24 Juli 2020

No comments: