Sunday, June 28, 2020

Organisasi Dengan “Isi”


TAHUN 2010, saat di Selandia Baru tengah berlangsung Kongres Subud Dunia, seorang anggota Subud di depan toilet pria di Hall Cilandak berbicara kepada saya yang duduk di sebelahnya. Meskipun tidak akrab, saya cukup mengenal anggota itu: seorang pria usia lanjut, yang masuk Subud ketika dirinya sudah sangat tua (70an), dan pemikir yang kritis yang mendapati kenyataan bahwa di Subud “berpikir kritis” tidak selalu relevan.

Meninggal pada 1 Maret 2019 lalu dalam usia 81 tahun, anggota ini mengutarakan kesebalannya pada berbagai laporan mengenai acara-acara di kongres dunia yang tengah berlangsung di Christchurch, Selandia Baru. Ia merasa agenda acaranya tidak cocok untuk Subud karena, menurutnya, minim aspek kejiwaannya.

Pernyataannya membuat saya terlonjak karena kaget. Meskipun banyak anggota Subud, saya ketahui, memisahkan antara keduniawian dan spiritualitas, atau antara non-kejiwaan dan kejiwaan, tetap saya kaget mendengar pernyataan seperti itu. Merasa barangkali dia salah ucap, saya pun bertanya padanya, “Maksudnya, Pak?”

“Iya, kok yang dibahas hanya masalah organisasi dan enterprise saja. Kejiwaannya mana?” jelasnya, dengan suara parau seakan pita suaranya juga ikut menua sejalan dengan usianya.

“Maksud Bapak dengan ‘bahasan kejiwaan’ apa, ya?” tanya saya, benar-benar bingung.

Bapak tua itu terlihat bingung merespons pertanyaan saya. Mungkin dia menyadari bahwa yang namanya bahasan kejiwaan sesungguhnya tidak ada, karena kejiwaan adalah ranah gaib yang bebas bahasa dan, karena itu, tidak bisa dibahas. Menurut pengertian saya, “kejiwaan” adalah wilayah rasa, yang untuk tiap orang berbeda, sehingga membahasnya hanya akan mengaburkan maknanya.

“Pak Achmad pernah jadi pengurus di Subud?” tanya saya, setelah kagetnya berlalu dan menjadi tenang. Bapak itu menidakkan, dengan alasan bahwa dia tidak tertarik dan hanya mau “berkejiwaan” saja. Saya pun menjelaskan lebih lanjut.

“Subud itu tidak mengenal pemisahan ranah-ranah dunia dan akhirat, Pak. Tidak ada istilah kejiwaan dan non-kejiwaan. Diri kita, luar dan dalam, adalah wadah yang menaungi kedua aspek tersebut. Seperti diterangkan Yang Mulia Bapak, adalah seperti air dan minyak yang disatukan dalam wadah yang sama: Nggak saling mencampuri tapi harmonis dalam wadah tersebut,” kata saya. “Yang Mulia Bapak menyebutnya Ilmu Pisah.”

Saya meneruskan penuturan saya dan si anggota usia lanjut itu mendengarkan dengan saksama. Saya menceritakan pengalaman saya saat mengemban tugas sebagai Wakil Sekretaris Nasional (namun karena aktif berkomunikasi dengan komunitas Subud internasional, para anggota luar negeri menganggap saya adalah “Sekretaris Nasional”-nya untuk masa bakti 2009-2011) di pengurus nasional PPK Subud Indonesia. Saya mengutarakan bahwa apa pun jabatan yang diemban dalam kepengurusan Subud semuanya bertitik tolak pada Latihan Kejiwaan. Dalam berpikir dan merasakan, dalam berkata dan berbuat sebagai “pengurus”, semuanya merupakan ekspresi yang terbimbing Latihan Kejiwaan. Sekalinya mengandalkan akal pikir yang ditunggangi nafsu, maka yang mengemuka adalah kepentingan pribadi yang ujung-ujungnya berbuah konflik antar pribadi. Saya pernah mengalaminya, makanya bisa menceritakan hal ini.

“Itulah sebabnya mengapa rapat-rapat pengurus nasional selalu didampingi Pembantu Pelatih Nasional dan sebulan sekali atau tergantung tuntunan, pengurus dan PP Latihan bersama. Supaya selalu harmonis, selalu rukun. Kalau perkumpulan kita terasa kacau, biasanya karena nggak terisi Latihan. Semua yang terlibat punya kepentingan, apa pun itu,” kata saya.

Si bapak tua itu tertegun. “Jadi, walaupun kelihatannya bukan kejiwaan, tapi sebenarnya acara-acara Kongres Dunia itu ada isi Latihannya ya?” tanyanya, seperti menuntut penegasan saya.

“Betul, Pak. Organisasi kita ini ada ‘isi’nya. Isinya adalah Latihan Kejiwaan. Jadi, Pak Achmad jangan menolak kalau ditawari jadi pengurus. Karena itu kesempatan untuk tumbuh dan berkembang Latihannya Pak Achmad. Pak Achmad jadi bisa belajar me-niteni bekerjanya jiwa, hati, dan akal pikir, sehingga dapat mengendalikan diri,” jawab saya. Anggota uzur itu mengangguk-angguk dalam diam. Selanjutnya, ia mohon diri dan berlalu dari hadapan saya.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 29 Juni 2020

No comments: