Friday, July 24, 2020

Berkoneksi Dengan Inti Terdalam


MAKAN merupakan kegiatan yang menyenangkan. Terlebih bila suasana hati kita sedang senang. Bagi saya, yang membuat suasana hati jadi senang adalah pengalaman dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Esa, dalam situasi yang tidak menyenangkan sekalipun. Seperti kemarin siang (Jumat, 24 Juli 2020).

Kemarin siang, tiba-tiba rumah saya disantroni seorang freelancer yang, lantaran termakan nafsu daya rendahnya sendiri, menuntut bayaran yang melampaui seharusnya. Dengan tampang beringas, dia siap meledakkan amarahnya dan menghantam saya dan istri. Saya terkejut melihat matanya merah seperti orang baru mengisap ganja dan wajahnya lebih gelap daripada biasanya.

Si freelancer sudah saya bayar honornya beberapa bulan lewat, dengan potongan yang tidak signifikan, karena secara sepihak dia telah membatalkan tanggung jawabnya atas dua pekerjaan yang sedang berlangsung, sementara saya dikejar tenggat waktu dari klien-klien. Akibat perbuatan tidak profesionalnya, saya dirugikan secara moril dan materi: Saya mendapat keluhan dari klien dan saya harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk mendapatkan pengganti si freelancer—yang merupakan pekerjaan tidak mudah, karena selain aspek teknis, chemistry juga penting.

Saya dan istri hanya menenangkan diri saat si freelancer yang sedang “spaneng” menyemprot kami dengan kata-kata tak pantas, yang menunjukkan ketidakdewasaannya (usia sekitar empat puluhan awal, sudah menikah dan memiliki anak usia 2,5 tahun). Di balik dada saya hanya menggema suara diri: “Tuhan, Tuhan, Tuhan” terus-terusan, dan “Ayo, praktikkan sabar, tawakal, ikhlasnya”—yang dapat saya jangkau tanpa usaha sama sekali. Dia nyerocos terus, dengan suara keras, yang saya rasakan merupakan cara spontan dia untuk menutupi kesalahannya, serta kualitas pribadinya yang rendah untuk mendapatkan apa yang dia kehendaki: Uang lebih banyak!

Sebaliknya, dia berbicara seolah saya dan istri yang salah sehingga dia menuntut uang dari kami. Dia bilang bahwa uang tidak ia pentingkan, hanya jawaban pasti bahwa dia akan dibayar atau tidak; kalau tidak pun, dia tidak apa-apa. “Tapi karena Mas dan Mbak tidak menjawab telpon dan pesan-pesan WhatsApp saya, saya kan jadi spaneng. Akhirnya, ya saya minta uang!”

Saya setuju untuk memberi yang dia mau, meski dia sudah merugikan saya secara moril dan materi. Karena saya yakin, “Gusti Allah ora sare” (Tuhan tidak tidur). Ajaibnya, sejak dia datang dengan tiba-tiba ke rumah saya hingga dia pergi (tanpa minta maaf dan tidak pula bilang terima kasih), saya hanya merasakan kedamaian luar biasa, lerem luar-dalam, setelah saya berkoneksi dengan Inti Terdalam. Istri pun mengalami hal yang sama. Mengiringi kepergiannya, saya hanya berucap pelan, “Hati-hati di jalan, ya.”

Dengan ke-lerem-an kami, baik saya maupun istri dapat dengan cepat melupakan kejadian itu. Terlebih setelah satu saudara Subud yang melakoni usaha kuliner meminta saya menjadi tester atas rasa baru dari sajiannya. Kiriman makanan darinya (yang berkesanrasa Jepang) via ojek daring melengkapi rasa syukur saya dan istri atas apa yang telah kami lalui kemarin. Puji Tuhan!©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 24 Juli 2020

No comments: