Friday, July 3, 2020

Nonkonvensional: Mengapa Saya Bertahan di Subud


SAYA kerap mengonsumsi makanan tertentu secara tidak seharusnya. Seperti makan soto mie dengan roti (bukan dengan nasi), roti lapis isi gado-gado, spaghetti dengan kuah kari (bukan saos tomat), dan lain-lain. Saya juga sering mengerjakan hal-hal biasa dengan pendekatan-pendekatan yang tidak biasa. Artikel saya di Facebook pernah dikomentari seorang teman yang sedang menempuh pendidikan magister di Amerika Serikat: “Artikelnya pakai kerangka tidak jelas. Seharusnya pakai piramida terbalik, atau plotting. Yang menarik, artikelnya tetap enak dibaca, dengan menampilkan hal-hal secara surprising.”

Foto-foto makanan yang “tidak seharusnya” itu saya posting di Facebook dan Instagram, dan karuan mendapat komentar-komentar yang diawali atau diakhiri dengan kata “seharusnya”. Ada satu teman saya yang merasa ganjil dengan cara saya menyantap soto mie dengan roti. “Apa enak? Kok aneh, sih!”

“Apa yang enak dimakan dengan nasi, pasti enak dimakan dengan roti,” balas saya.

Kita hidup di dunia yang telanjur dicekoki dengan konvensi “harus/tidak harus”. Konvensi adalah suatu hukum atau aturan-aturan tidak tertulis yang ada dalam kehidupan bermasyarakat, yang timbul karena kebiasaan-kebiasaan. Dalam konteks memetika, konvensi atau adat istiadat tergolong meme, yaitu ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya.

Sejatinya, tidak ada yang harus atau tidak harus dalam kehidupan kita. Konvensi-konvensi tertentu malah mematikan kreativitas kita, menghambat kita untuk berevolusi sebagai manusia, karena kita jadi menutup diri terhadap perubahan, sedangkan perubahan adalah satu-satunya yang pasti dalam hidup. Aturan—tak tertulis maupun tertulis—dibuat untuk menatatertibkan kehidupan bersama, bukan untuk mengatur cara bagaimana satu individu menjalani hidupnya.

Konvensi mengacu pada “melakukan hal-hal secara benar”. Dalam tindakan kreatif, konvensi-konvensi dilanggar maupun dihormati, dan inilah yang membuat sebuah artefak baru dapat dikatakan kreatif dan bisa dimengerti. Lebih jauh lagi, dari perspektif sosio-kultural, pengetahuan dan konvensi yang membentuk apa yang kita sebut “tradisi” tidak pernah menjadi kenyataan yang statis, melainkan lebih terkait dengan kreativitas dan inovasi.

Dalam kaitan dengan Subud, saya pernah dihadapkan pada pertanyaan: “Haruskah beragama atau percaya pada Tuhan untuk bisa ‘diterima’ menjadi anggota Subud?”

Saya pernah mengalami episode tidak percaya Tuhan, sebelum dan sesudah dibuka di Subud. Dalam bahasa Subud, episode ini, bila sudah dibuka, biasanya merupakan pembersihan dari kepercayaan kepada “Tuhan ajaran” (bentuk ketuhanan yang diajarkan dalam agama-agama, dengan sifat-sifat yang diberikan merupakan representasi dari sifat-sifat manusiawi) menuju Tuhan yang dapat dialami melalui rasa. Kepada saya pun pernah diceritakan oleh beberapa pembantu pelatih dan di buku memoar Varindra Vittachi Special Assignment: A Subud Trilogy, bahwa orang yang percaya “Tuhan ajaran” cenderung tidak bertahan lama, dibandingkan mereka yang tidak percaya Tuhan apa pun.

Saya masuk Subud dalam keadaan tidak percaya Tuhan. Saya menanggalkan agama dan kepercayaan saya kepada Tuhan mulai tahun 2003, ketika segala sesuatu yang saya perjuangkan dengan usaha dan doa tidak membuahkan hasil yang saya harapkan. Ketika ngandidat di Subud, saya dilayani oleh pembantu-pembantu pelatih yang membiarkan saya tidak percaya Tuhan, karena di Subud tidak ada ajaran maupun pelajaran. Saya akan mengalami sendiri kelak eksistensi sesuatu yang dikonvensikan sebagai “tuhan”.

Subud adalah jalan berbasis pengalaman (experiential), yang tidak memaksakan “harus/tidak harus”. Anda “dituntut” (oleh diri Anda sendiri) untuk menjadi diri sendiri, dengan aturan-aturan atau pedoman yang hanya cocok untuk Anda sendiri. Bagi orang seperti saya, yang suka melanggar konvensi, pembersihan dari ajaran atau kebiasaan-kebiasaan umum tergolong proses yang mudah. Itulah yang membuat saya bertahan di Subud.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 4 Juli 2020

No comments: