Tuesday, July 7, 2020

Kesombongan Spiritual

SEMASA masih aktif berlatih kejiwaan di Wisma Subud Surabaya, Jalan Manyar Rejo 18-22, Surabaya, Jawa Timur, pada tahun 2004, saya pernah mengalami kejadian yang kocak. Saat itu, saya baru selesai melakukan Latihan Kejiwaan di hallnya dan bergabung dengan para anggota dan pembantu pelatih di teras timur bangunan hall Latihan.

Sebelum dan sesudah Latihan, para anggota pria Subud Cabang Surabaya biasa duduk secara lesehan di teras yang dialasi tikar. Saat itu, saya duduk di seberang satu pembantu pelatih, seorang pria tua yang gemar merokok Djisamsoe. Beliau menawarkan saya rokoknya, yang saya sambut dengan senang hati—karena saya tidak punya rokok, sedangkan saya malas jika harus pergi keluar lingkungan Wisma Subud Surabaya untuk membeli rokok.

Sang pembantu pelatih, di balik kepulan asap rokoknya, berkata, “Tadi waktu Latihan, Dik Anto ketemu Yesus ya?” Beliau mengacu pada penerimaan di Latihan saya tadi di dalam hall, di mana saya merentangkan lengan kanan saya ke atas sementara tangan kiri saya saya letakkan di dada kanan. Dengan postur seperti itu saya berjalan keliling ruangan hall sambil berucap berulang kali “Yesus gembalaku!”

Dengan lugu, terutama karena saya saat itu masih baru di Subud, saya menjawab, “Nggak, Pak.”

Seorang pembantu pelatih sepuh lainnya, yang duduk di sebelah si pembantu pelatih yang bertanya ke saya, berkata, “Dia belum sampailah di situ… masih baru.”

Saya menandai ada nada kesombongan dalam ucapan si pembantu pelatih itu. Pembantu pelatih Djisamsoe yang membuka obrolan tadi itu berkata, “Saya pernah ketemu Yesus dalam Latihan, Dik.”

Saya memandang beliau dengan sebal. Sombong sekali! Terbersitlah sebuah ide konyol di benak saya. Saya menatap beliau sambil tertawa dan berkata, “Saya pernah ketemu Bapak dalam Latihan, Pak. Bapak bilang ke saya: ‘Nak, jangan percaya PP sebelum Nak mengalaminya sendiri.’.”

Si pembantu pelatih tua itu hanya mengepulkan asap rokok dan tidak berkomentar lagi. Selanjutnya beliau menoleh ke sebelah beliau dan mengobrol dengan orang yang duduk di sebelah beliau. Saudara Subud di sebelah saya berbisik, Sampeyan nekat ah, ngerjain PP!

Lain lagi pengalaman saya saat berkunjung ke Subud Cabang Batang, Jawa Tengah, pada bulan Februari 2006, bersama tiga pembantu pelatih yang tergabung dalam Forum Komunikasi Anggota Subud serta satu anggota biasa. Mereka semua tercatat sebagai pembantu pelatih dan anggota Cabang Jakarta Selatan. Selama perjalanan dengan menumpang KA Argo Bromo Anggrek dari Stasiun Gambir ke Stasiun Pekalongan, saya bercerita kepada kawan-kawan seperjalanan saya tentang buku karya Master Sheng-yen, seorang guru Zen asal Taiwan (kelahiran Republik Rakyat Tiongkok), berjudul Zen: Tiada Penderitaan (Penerbit Suwung, 2004) yang sedang saya baca. Antara lain tentang adanya perintah Buddha Gautama kepada para pengikutnya, agar membunuhnya apabila para pengikutnya masih melihat kehadiran diri Gautama dalam semadi mereka.

Saat sarasehan malam harinya di hall Latihan Cabang Batang, ada satu anggota setempat yang mengungkapkan kepada salah satu pembantu pelatih dari Jakarta Selatan itu, Pak Djoko namanya, “Saya sering bertemu Yang Mulia Bapak dalam Latihan saya, Pak. Apa artinya ya?”

Saya merasakan kondisi diri si anggota terisi kesombongan, merasa dirinya istimewa karena didatangi Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo. Dengan santai, Pak Djoko menuturkan, “Tadi di kereta, Mas Anto ini cerita ke saya kalau dia lagi baca sebuah buku tentang Zen. Penulisnya mencantumkan cerita di mana Sang Buddha mengatakan, ‘Kalau kamu dalam semadimu masih melihat aku, maka bunuhlah aku!’ Jadi, Anda bunuh saja Bapak kalau masih suka datang saat Anda Latihan!”

Seluruh hadirin tergelak, sedangkan si anggota yang menceritakan pengalamannya didatangi Bapak Subuh dalam Latihannya hanya terpana, juga malu.

Kesombongan spiritual istilahnya. Hal ini biasa terjadi dalam semua komunitas spiritual, tidak hanya di Subud. Bahkan di agama-agama juga terjadi kesombongan seperti ini, bahkan pada orang-orang yang dipandang “tinggi” ilmunya. “Belum sampai” adalah kalimat yang biasa diucapkan seorang anggota atau pembantu pelatih Subud kepada anggota lain yang dia anggap belum menyamai pemahamannya. Ungkapan itu tidak jarang membuat seorang anggota merasa tersinggung, baper, lantas marah dan memutuskan tidak mau lagi aktif di Subud.

Latihan Kejiwaan merepresentasi proses pembelajaran berkelanjutan (continuous learning process), di mana “sampai” tidaklah relevan. Pengalaman merupakan bagian dari proses tersebut, dan sifatnya hanya sementara alias icip-icip. Pengalaman hari ini tidak akan sama dengan pengalaman di hari-hari berikutnya, dan semua pengalaman itu hanya merupakan media pembelajaran seorang anggota, untuk pada akhirnya dapat memahami atau memaknai peristiwa-peristiwa yang mengisi hidupnya. “Sampai” di saat ini hanya untuk saat ini; berikutnya, proses pembelajaran seseorang masih akan berlanjut. Jika Anda adalah anggota Subud dan merasa “sudah sampai”, dan dengan itu dengan sombongnya Anda menganggap orang lain “belum sampai”, sesungguhnya Andalah yang belum sampai. Belum sampai pada pengertian sejatinya.

Lagipula, pengalaman tidak dapat ditiru; tidak ada anggota Subud yang pengalamannya sama persis dengan saudara sejiwanya. Jangankan di Subud atau di jalan spiritual pada umumnya, di kehidupan duniawi saja, suatu solusi yang telah terbukti sukses dalam praktiknya tidak serta-merta dapat diterapkan sama persis untuk menyelesaikan masalah lainnya, meskipun masalahnya mirip. Penceritaan pengalaman, sebagaimana yang sedang saya lakukan ini, bukan suatu ajaran atau desain yang dapat ditiru, melainkan—diharapkan—menjadi pembangkit inspirasi atau “alat bantu” bagi orang lain untuk memaknai hidupnya sendiri.

Kesombongan spiritual memberi kita satu hal: Kita akan berhenti mengalami tumbuh-kembang kejiwaan sebagaimana yang diharapkan. Kita stuck di situ saja, di pemahaman sementara, seperti pengemudi mobil yang terlena di rest area sebuah jalan tol sehingga ia tidak akan pernah sampai di tujuan sebenarnya.

Pemahaman saya, Tuhan itu Maha Luas dan Maha Tidak Berbatas. Hidup mewakili keluasan dan ketakterbatasanNya, sehingga kita senantiasa dituntut menanggalkan kesombongan dan terus menjelajahi segala kemungkinan yang Tuhan sediakan untuk kita. Karena itu, tidak ada gunanya bersombong ria dengan apa pun yang kita alami dalam proses pembelajaran berkelanjutan ini.Ó2020



GPR 3, Tangerang Selatan, 8 Juli 2020

No comments: