Sunday, July 5, 2020

Kebebasan Berimajinasi


“Paruh pertama kehidupan adalah belajar menjadi orang dewasa. Paruh kedua adalah belajar menjadi seorang anak.”
—Pablo Picasso


PADA malam hari, tanggal 5 Juli 2020, saya menemani putri saya yang berumur tiga tahun delapan bulan menonton film animasi Spider-Man: Into the Spider-Verse di HBO. Selama nonton, putri saya banyak sekali bertanya ini-itu menyangkut superhero, yang rupanya dia favoriti. Menjelang akhir film, putri saya mengatakan bahwa dia ingin menjadi Spiderman, bahwa dia ingin bisa meloncat dari bangunan yang satu ke bangunan yang lain, dan, dengan sedih, mengatakan bahwa dia belum bisa melakukan apa yang dia inginkan. Saya bilang kepadanya, sebagai penyemangat, bahwa dia bisa melakukannya asal dia berusaha dengan belajar dan berlatih.

Putri saya, Nuansa, menyenangi ketokohan superhero dan sering mengimajinasikan dirinya sebagai pahlawan super pembela kaum lemah. Kepedulian dan sifat penolongnya, yang sudah tampak dalam usia sebelia ini, adalah alasan utama dia ingin menjadi pahlawan super.

Nah, malam itu, saat menonton film animasi Spiderman di HBO, dia memasang sikap badan seperti jagoannya itu. Saya tertawa, karena senang melihatnya menikmati dirinya sebagai tokoh favoritnya. Tetapi Nuansa salah paham terhadap tawa saya; dia kira, saya menertawakannya. Dia tiba-tiba menangis keras dan mengamuk dan memukuli saya. Setelah dipeluk dan ditenangkan oleh istri saya, terungkaplah penyebab mengapa dia menangis dan mengamuk terhadap saya. Nuansa merasa saya menertawakannya dan malu karenanya. Dia merasa harga dirinya jatuh karena sikap saya yang keliru ia pahami.

Di situlah saya merasa sangat bersalah, sekaligus teringat pengalaman saya sendiri dengan orang tua saya yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa saya suka berimajinasi.

Adalah ibu saya, terutama, yang paling tidak suka bila saya berimajinasi. Beliau menganggap berimajinasi adalah perbuatan dosa, buang waktu, dan membuat seorang anak tertinggal secara intelijensia. Ketika kecil, hingga sekolah menengah atas, saya suka membayangkan diri saya sebagai perwira militer, seorang komandan pasukan yang berwibawa di medan tempur. Saya tuangkan imajinasi itu ke dalam gambar (saya sangat suka menggambar) atau tulisan-tulisan di label nama di alat tulis yang saya gunakan di sekolah. Menurut ibu saya, hal itu tidak wajar. Saya dilarang berimajinasi, dan beliau akan marah besar bila memergoki saya berimajinasi.

Kala itu, saya membenci sikap ibu saya terhadap kegemaran saya berimajinasi. Tapi kini, saya tidak lagi marah atau benci, karena setelah membaca ceramah-ceramah Bapak Muhammad Subuh, setelah saya masuk Subud, mengenai kesalahan-kesalahan yang diwarisi leluhur, saya jadi paham bahwa orang tua saya tidak bersalah. Mereka memiliki sikap seperti itu karena dengan cara itulah mereka dididik oleh orang tua mereka (kakek-nenek saya), dan begitu seterusnya ke atas. Mereka hanya tidak mengerti; untuk orang-orang yang tidak mengerti seyogyanya saya memohon agar Tuhan memurahi mereka, alih-alih membenci mereka.

Imajinasi bagi anak-anak, berdasarkan pengalaman saya, bukanlah sesuatu yang buruk. Hal itu dapat membuat anak mampu berpikir kreatif dan menganalisis, memperkaya pengetahuannya, membuat anak lebih percaya diri, mandiri, dan mampu bersaing. Dalam penuturan satu saudara Subud saya yang juga pakar pendidikan, Harris Roberts, pada hari Kamis, 2 Juli 2020, lalu di Wisma Subud Cilandak, Jakarta Selatan, berimajinasi membuat seorang anak mampu berkonsep. Dengan kemampuan berkonsep, dia akan mampu memaknai segala sesuatu yang dihadapinya dalam kehidupan dewasanya kelak.

Insiden dengan putri saya membuat saya bertekad untuk menghentikan selamanya pewarisan sikap dan tindakan dari kedua orang tua saya, dan dari kedua orang tua dari ayah-ibu saya, dan seterusnya ke atas, dengan sikap dan tindakan saya dalam mengasuh putri saya, yang saya cintai sepenuh hati, diri, dan jiwa saya. Saya dan istri telah sepakat untuk membebaskan Nuansa berimajinasi sesuai usianya. Kami sebagai orang tua hanya mendukung sebisa kami, selama yang ia inginkan dan (akan) lakukan tidak merugikan dirinya.

Tekad saya itu sekaligus menjadi cara saya memaafkan masa lalu saya—yang tidak seberuntung putri saya, lantaran kebebasan berimajinasi saya direnggut oleh orang tua saya.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 6 Juli 2020

No comments: