Monday, July 6, 2020

Al Fatihah—Pembuka Kontak Dengan Kekuasaan Tuhan


SAYA ingat pada sebuah pengalaman yang unik, sebuah kejadian yang mungkin bisa didaulat sebagai “pengalaman kejiwaan”. Saat mengalaminya, saya masih tinggal berdua dengan istri di sebuah rumah kontrakan di Gang Margodadi III, Demak Timur, Surabaya, Jawa Timur. Rumah itu saya kontrak dari salah satu pembantu pelatih Subud Cabang Surabaya. Beliau menerima dalam Latihan Kejiwaannya bahwa beliau harus membangun rumah dua lantai tepat di seberang rumah beliau sendiri, dan menerima bahwa yang boleh mengontrak dan menempatinya hanya anggota Subud. “Kebetulan” (saya pakai tanda petik karena saya tidak percaya pada kebetulan, karena semua sudah diatur oleh Tuhan) sayalah anggota Subud pertama yang memerawani rumah tersebut, untuk masa kontrak 2004-2006.

Tinggal berdua saja di rumah kontrakan tersebut, saya dan istri mengalami banyak hal yang memperkuat keyakinan kami pada kekuatan Latihan Kejiwaan sebagai jalan untuk berkontak dengan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang selalu membimbing kami dalam segala gerak hidup kami. Salah satunya adalah apa yang akan saya ceritakan di sini.

Pada suatu malam—saya lupa apa yang terjadi sebelumnya, namun saya ingat bahwa—saya dan istri sedang bercengkerama di dalam kamar tidur. Cengkerama yang kemudian “menuntun” kami berhubungan suami-istri. Sesuatu yang menurut perasaan saya heboh dan hebat terjadi pada diri kami (kami saling berbagi cerita pengalaman kami saat “kumpul” itu lama sesudahnya). Akan halnya dengan saya, saya merasakan kenikmatan luar biasa, yang sulit saya gambarkan dengan kata-kata. Malah kata-kata hanya akan menyempitkan makna dari pengalaman tersebut.

Saat berhubungan badan itu, saya merasakan nikmat yang tak terperi. Bukan kenikmatan seksual, melainkan kenikmatan berzikir layaknya saya sedang berada di tengah majelis yang mendaraskan nama Allah Swt berkali-kali sebagai pengagungan dan pemuliaan terhadapNya! Bukan kenikmatan rasa saat dua jenis kelamin saling “mengikat”, tetapi kenikmatan dari getaran rasa diri saat mengingat kemurahan Tuhan atas hambaNya.

Terbangun keesokan paginya, saya termangu-mangu di pinggir kasur. Selama menempati rumah kontrakan itu, agar ringkas kami tidak menggunakan satu set ranjang, melainkan kasur kami gelar di lantai dengan dialasi lembaran-lembaran kardus. Sehingga, ketika duduk termangu di tepi kasur, sementara pantat saya berada di kasur, kedua kaki saya yang bersila berada di lantai yang cukup dingin. Istri saya sudah lebih dahulu bangun dan sedang berada di dapur, menyiapkan sarapan.

Saat duduk di tepi kasur itu, saya membatinkan pertanyaan: “Apakah yang saya alami tadi malam itu. Kok saya teringatnya rasa menyebut nama Allah, dan bukannya kenikmatan bersetubuh?”

Saya kemudian menenangkan diri. Bukan sesuatu yang saya sengaja, bila saya “menenangkan diri”. Tiap kali kepala saya mulai nyut-nyutan karena “kemasukan” lintasan-lintasan pemikiran yang tidak perlu, saya akan memejamkan mata, dan tiap kali memejamkan mata saya akan mengalami penenangan diri atau menerima Latihan Kejiwaan. Dalam keadaan rasa diri yang tenang itu, saya menerima Latihan Kejiwaan dan dalam Latihan itu saya mengucapkan Surah Al Fatihah lengkap dari ayat pertama hingga ketujuh. Setelah itu saya menerima pengertian, bahwa yang saya alami tadi malam adalah ekspresi badaniah dari Surah Al Fatihah.

Al Fatihah, demikian yang saya terima lama sesudah hari itu, melambangkan penyerahan diri makhluk atau ciptaan kepada Sang Khalik atau Pencipta. Ayat-ayatnya menegaskan hal itu. Surah itu adalah seperti pengingat bagi kita agar selalu berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan berperasaan sabar, tawakal, dan ikhlas.

Al Fatihah secara etimologis berarti “pembukaan”. Meskipun secara syariat “pembukaan” di sini bermakna bahwa Al Fatihah merupakan surah pertama/pembuka dari kitab suci Al Qur’an, tetapi yang saya terima dalam Latihan Kejiwaan saya adalah makna hakikatnya. Yaitu bahwa surah tersebut menjadi kunci bagi manusia yang berserah diri dengan sabar, tawakal, dan ikhlas untuk membuka jalan yang lurus (yang mudah dan lancar, tanpa halangan dan rintangan) kembali kepada atau berkontak dengan kekuasaan Tuhan.

Namun, saya terima juga, Al Fatihah tidak serta-merta menjadi pembuka jalan yang lurus hanya dengan mendaraskannya, atau mengucapkannya, belaka. Hanya melalui pengamalannya, melalui pengejawantahannya, dalam kehidupan sehari-hari kita, Al Fatihah membuka jalan bagi manusia yang masih hidup untuk dapat berkontak dengan kekuasaan Tuhan. Dalam pengertian saya, karena itu, Latihan Kejiwaan merupakan media praktik dari ayat-ayat yang terkandung dalam Surah Al Fatihah.

Belakangan, seolah tren, banyak orang mengucapkan atau menuliskan dalam kolom komentar di media sosial “Al Fatihah kepada si Fulan” sebagai ungkapan penghiburan atau pernyataan belasungkawa atas meninggalnya seseorang atau ketika kenalan mereka tengah memperingati tahun kesekian meninggalnya kerabat atau sahabatnya. Sejatinya, demikian pemahaman saya, dengan mengamalkan atau mempraktikkan Surah Al Fatihah atau, dalam bahasa yang universal, berserah diri kepada Tuhan, kita membantu arwah-arwah dari orang-orang yang telah mendahului kita dimurahi perjalanan kembali mereka langsung ke Sang Pencipta. Mengucapkan atau menuliskannya belaka tidak dapat membantu; gerak hidup kitalah yang dapat.

Tren ini mengaburkan manfaat sejati dari Surah Al Fatihah, yaitu untuk mengingatkan yang masih hidup agar senantiasa memuji Allah, Tuhan semesta alam, yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, yang menguasai Hari Pembalasan. Untuk mendorong setiap manusia agar hanya kepada Tuhanlah mereka menyembah, dan hanya kepada Tuhanlah mereka seharusnya memohon pertolongan. Untuk meminta petunjukNya ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang dianugerahi nikmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa, bukan jalan dari mereka yang dimurkaiNya dan bukan pula jalan mereka yang sesat—yaitu orang-orang yang mengandalkan akal pikir dan hati yang terisi nafsu daya rendah. Sudah pastilah itu (amin)!Ó2020



GPR 3, Tangerang Selatan, 7 Juli 2020







No comments: