Wednesday, August 19, 2009

Siapa Menggerakkan Siapa?

“…Maka Allah menyesatkan siapa pun yang Dia Kehendaki,
dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia Kehendaki.
Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
—QS Ibrahim [14]: 4


“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah;
dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.”
—QS Yunus [10]: 99-100


Waktu saya baru masuk Subud, seorang kawan ngenyeki (mengejek). Enyekan, cemoohan, bahkan tudingan murtad, sesat dan bid’ah merajam saya dari berbagai penjuru. Tetapi setiap kali saya mengheningkan diri, menyerahkan semua itu ke tangan kekuasaan Tuhan, saya terbebas dari kemelekatan pada ‘bentukan budaya’ yang mengatur dengan tegas bahwa enyekan, cemoohan dan tudingan itu menyakitkan dan bahwa pujian dan sanjungan itu menyenangkan. Dalam sekejap, rajam keji itu berubah menjadi siraman kalbu yang membawa kepahaman.

Karena masih baru, saya tidak dapat memberi penjelasan kepada kawan saya itu, sehingga saya memperkenalkannya pada saudara Subud yang lebih luas wawasan dan pengalamannya. Saudara Subud saya itu seorang ulama yang arif dan bijaksana. Dengan nada menyerang, kawan saya bertanya padanya, dari mana kita tahu bahwa yang menggerakkan peserta Latihan Kejiwaan Subud itu Tuhan. “Bisa saja jin kan?” kata kawan saya ketus.

Sambil tersenyum dengan keadaan diri tenang, tidak terprovokasi pertanyaan yang bernada menyerang itu, saudara Subud saya itu mengangguk-angguk dan berkata, “Iya, bisa saja. Tapi saya ingin nanya ke sampeyan, yang menggerakkan jinnya siapa ya?”

Kawan saya langsung gelagapan, kehilangan kata-kata. Reaksinya melantur tak jelas. Iya, siapa ya? Siapa yang menggerakkan jin, manusia serta alam semesta? Mungkinkah ada dualisme kekuasaan atas keberlangsungan hidup kita ini? Dan kalau pun ada, bagaimana jadinya hidup dan kehidupan kita apabila dua kekuasaan ini punya kepentingan masing-masing, yang satu mau menang atas yang lainnya? Saya tidak dapat membayangkan apabila dalam hal ini, setan yang menang atas Tuhan. Lho, Tuhan kok bisa kalah, kan Tuhan yang menciptakan setan?

Saya pribadi hanya ‘berpihak’ pada Tuhan Yang Maha Esa, yang tunggal, tidak ada yang lain. Hanya Dia Yang Maha Ada dan Maha Mengatur. Selebihnya, saya serahkan pada kehendakNya saja. Saya percaya, kehendakNya adalah yang terbaik bagi masing-masing kita. Saat kita ditimpa kemalangan maupun kesenangan, keburukan maupun kebaikan, derita maupun gembira, semua itu mengandung kehendakNya. Apakah jalan sesat itu memang sesat, dan apakah jalan lurus itu memang lurus, kita takkan pernah tahu – yang selama ini kita tahu hanyalah perumpamaan dari sesuatu yang sulit dijelaskan. Banyak orang menemukan kelurusan lewat jalan sesatnya, dan ada pula yang sebaliknya.

Itulah gunanya kita mesti senantiasa mengheningkan diri, melepaskan diri dari kemelekatan terhadap penilaian-penilaian atau penghakiman-penghakiman. Kita sering tidak sabar menghadapi masalah, sehingga kita kerap mencari kambing hitam atau menghujat, tanpa mau sedikit pun berintrospeksi. Berulang kali para guru kebijaksanaan menandaskan bukti-bukti bahwa wajah baik atau buruk lingkungan kita mencerminkan keadaan hati dan pikiran kita sendiri; bahwa hati yang busuk, misalnya, meresonansikan kebusukan ke ruang kehidupan kita.

Dengan senantiasa mengheningkan diri, kita akan terbebas dari penilaian/penghakiman terhadap segala perilaku. Saya perhatikan dari tingkah-laku sejumlah relasi saya yang acap menilai dan menghakimi orang lain sebagai salah dan sesat, pada akhirnya – mungkin karena penat menghadapi kebebalan yang tak kunjung usai – tanpa sadar memojokkan Tuhan, seolah Dia membiarkan kesesatan terjadi. Orang-orang semacam itu takkan pernah mau memahami hukum alam bahwasanya untuk memadamkan api diperlukan air atau pasir, bukan dengan api juga, yang malah akan menimbulkan kebakaran hebat; bahwa kebebalan mesti dipadamkan dengan kelembutan, dengan kerendah-hatian. Hal itu akan membawa kesembuhan, baik bagi yang bebal maupun bagi yang sebal.

Beberapa tahun lalu, di salah satu stasiun televisi swasta dalam rangka Ramadan, A’a Gym mengatakan,, “Janganlah kita membenci seseorang karena perbuatannya, karena begitu Allah membalikkan hatinya, ia bisa menjadi lebih baik daripada kita. Sebagai muslim, kita sebaiknya mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun.” Salut! Seperti itulah gambaran orang yang berserah diri; segala sesuatunya diserahkan kepada Tuhan, karena dari Dia segalanya berasal dan kepadaNya segalanya kembali.

Keheningan diri akan membawa kita kepada kepahaman bahwa semua perbuatan dan perkataan, pikiran dan perasaan digerakkan atas kehendak Tuhan. Bingung, atau kaget? Itu mungkin lantaran Anda masih terbelenggu penilaian atau penghakiman. Pengheningan diri akan merontokkan belenggu itu. Tetapi saya takkan memaksa Anda – ini bukan iklan atau aturan yang mengikat. Saya serahkan pada Tuhan saja, bagaimana Dia berkehendak menggerakkan kepahaman Anda. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memurahi Anda dengan tuntunanNya.©


Jakarta, 18 Juli 2009

No comments: