Thursday, August 20, 2009

Tuhan Teori

Enam Oktober 1995, ayah saya masuk rumah sakit lantaran menderita sakit lever. Oleh sebab penyakit yang diderita ayah saya sudah sangat kritis, maka beliau langsung ditempatkan di high-care unit (HCU).

Ada empat kamar dalam posisi dua kamar bersebelahan, sementara dua lainnya berada di seberangnya. Satu per satu pasien HCU meninggal. Ayah saya sempat keluar dari rumah sakit, karena menurut dokter, kondisinya membaik. Namun, satu hari kemudian beliau masuk HCU lagi sampai beliau wafat pada 1 November 1995.

Di kamar di seberang kamar yang ditempati ayah saya berbaring seorang pasien yang kondisinya, tampaknya, sudah sangat kritis. Ia mengenakan masker oksigen dan selang-selang serta kabel-kabel disambung ke badannya. Saya perhatikan, tampaknya keluarga yang mengerubungi si pasien beragama Islam yang taat, karena yang wanita semua berjilbab, sedang yang prianya berjenggot, ujung celana bawah menggantung di atas mata kaki. Hingga saat itu, anggapan saya, keislaman yang baik dan benar adalah bila berpenampilan seperti itu.

Si pasien, yang tampaknya adalah suami dan ayah mereka, terlihat megap-megap, mengingatkan saya pada kakek saya yang mengembuskan napas terakhir sepuluh tahun sebelumnya, dan tanda-tanda sebelum wafat adalah megap-megap semacam itu. Perhatian saya kemudian tidak terlalu tertuju pada si pasien, melainkan pada keluarganya, yang tindak-tanduknya sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW: mereka, wanita maupun pria, meraung-raung, meratap, memukul-mukul tembok. Salah seorang putranya yang sudah dewasa malah membentur-benturkan keningnya ke jendela sambil menangis dan berteriak, "Ayah, Ayah, jangan pergi, Ayah!"

Hari itu adalah awal mula saya meragukan (pel)ajaran yang pernah diberikan oleh guru agama. Sebenarnya, bukan (pel)ajaran agamanya, tetapi orang-orangnya; mereka yang selalu menggaungkan Islamlah agama yang paling benar, tetapi pada saat yang sama tidak dapat memberikan contoh yang baik. Mereka mengutamakan atribut supaya diidentifikasi sebagai muslim, namun tidak menghayati penyerahan diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal yang seharusnya menjadi sikap dan perilaku muslim (yang berarti 'orang yang berserah diri').

Pada hari, di mana pasien yang menjadi tetangga ayah saya di HCU mengembuskan napas terakhir, diiringi ratapan dan raungan keluarganya -- bukannya ketenangan diri, keikhlasan dan doa, saya mulai mencari Tuhan yang bisa saya alami dengan keenam indra saya. Tuhan yang menjadi bagian dari praktik kehidupan saya. Bukan Tuhan teori.

Sebelum ini, keberagamaan saya terisi dengan pencekokan tentang Tuhan yang teori, Tuhan yang dibikin-bikin oleh manusia, dibatas-batasi sifat dan kehendakNya. Pelajaran agama yang saya terima melulu berisi informasi tentang Tuhan yang sifatNya mirip manusia: harus dipuja-puji dulu baru mau kasih apa yang kita minta. (Dalam hal ini, kok Tuhan seperti saudara-saudara dan teman-teman saya yang mesti saya puji dulu, di-baik-baikin dulu, supaya mereka mau memenuhi permintaan saya?!)

Waktu ayah saya wafat, disusul ibu saya sepuluh bulan kemudian, saya baru menyadari apa yang tidak diajarkan ke saya lewat agama, mungkin karena guru agama keasikan meneorikan Tuhan. Saya tidak pernah diajarkan dan dibiasakan dengan metode, cara atau teknik berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal, yang belakangan baru saya tahu bahwa itu ciri-ciri seorang muslim yang baik.

Para guru agama saya, sadar atau tidak, telah mengajarkan rasa takut pada diri saya, bukan hanya kepada Tuhan tetapi juga kepada setan. Buktinya, mereka memberi saya doa-doa untuk melawan setan, seakan doa itu mantra a la pemburu vampir dalam film. Untungnya, pertama kali saya berjumpa face-to-face dengan kuntilanak, lalu dengan pocong, saya sudah memiliki keinsafan bahwa Tuhan bersama saya selalu, sehingga tak ada yang perlu saya takutkan. Bukan doa yang saya semburkan ke muka mereka, melainkan caci-maki, "Dasar jin kunyuk. Emangnya gue takut ama lu apa?!" Saat itu, saya telah beroleh kepahaman bahwa makhluk-makhluk itu tidak bakal mendekati manusia yang jiwanya berserah diri kepada kekuasaanNya.

Suatu kali, kawan saya, seorang wanita yang ibunya aktif sebagai pengurus salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, sehingga ia pun mengidentifikasi dirinya dengan atribut-atribut organisasi tersebut, bercerita bahwa ia belum pernah salat Tahajud, bukan karena tidak mau, melainkan lantaran tidak berani. "Salat Tahajud harus malam, sih. Aku takut ketemu setan," ujarnya.

Saya pun bilang ke dia, kalau setan tidak kenal waktu. "Kalau dia muncul pas kamu salat Subuh, Dzuhur, Asar, Maghrib dan Isya', kamu nggak bakal salat lima waktu dong?" Kawan saya itu hanya bisa ngambek, dianggapnya saya menakut-nakuti dia.

Kawan saya lainnya rela menunaikan salat di atas kasur ranjang di kamar hotel yang dia inapi, karena pelayan housekeeping yang datang merapikan kamar selalu bersepatu dan ia khawatir lantainya kotor karenanya. Dia takut salatnya tidak sah karena itu, tetapi tidak takut bilamana kasur yang ia pakai untuk menggelar sajadahnya mungkin pernah dipakai tamu sebelumnya untuk berzina.

Kedua kawan saya di atas pasti menyerap teori dari guru agama, bahwa setan maupun Tuhan pilih-pilih waktu dan tempat. "Jangan menyebut nama Allah pas kamu di WC," tandas guru agama waktu saya sekolah dasar dahulu, sehingga waktu saya baca Surat al-Baqarah ayat 115, yang menyatakan bahwa ke mana pun engkau menghadap, di situ wajahKu, saya jadi bingung. Sebab, menurut guru agama saya, Tuhan tidak ada di WC -- di situ, ke mana pun engkau menghadap hanya ada wajah setan. Bagaimana dong ketika saya sudah sangat kebelet, dan mendapat penyalurannya di WC, dan spontan berucap "alhamdulillah"?

Tuhan Maha Segalanya, Maha Bisa dan ada di mana-mana, tetapi kehadiranNya dan apa yang bisa dan tidak bisa, mungkin dan tidak mungkin Dia Lakukan ditentukan oleh ulama dan pendeta, bahkan oleh kita semua yang bernisbah ciptaanNya? Tidak mengherankan, jika di negeri yang mayoritas penduduknya memeluk salah satu dari lima agama yang diakui negara korupsinya malah merajalela. Lha, yang disembah Tuhan teori, sih.(ads)


Jakarta, 9 Juli 2009

1 comment:

Anonymous said...

salam...........pengalamannya ampir sama.....ohya, namanya blognya jg ampir sama..... blog saya kriyasemestafoundation.blogspot.com... web kriyasemesta.com heheheh gabung aja di facebook,kita bicang2 banyak