Monday, August 10, 2009

Gelas Kosong Pemuas Dahaga

“Kanvas sejati penciptaan adalah ketenangan.” 
~Siimon Reynolds, pengarah kreatif Andromeda, Australia, dalam Cutting Edge Advertising, hlm. 167.


REKAN kerja saya di Surabaya dahulu punya anak perempuan yang tuna rungu. Sebelum mengenal anaknya dengan lebih baik, saya selalu bertanya-tanya, mengapa Tuhan menciptakan makhluk-makhluk yang tidak sempurna, sementara yang lain seakan mewakili kesempurnaanNya. Apa maksudNya? 

Pada tahun 2005, ketika anak itu telah menjadi gadis remaja, ia mengalami perkembangan psikologis yang sulit dimengerti dan sudah berlangsung cukup lama, sehingga rekan kerja saya membawanya ke dokter, mulai dari umum sampai spesialis, ke ahli jiwa mulai dari psikolog sampai psikiater, bahkan ke "orang pintar" yang memberinya air kembang yang sudah dibaca-bacai. Semua tidak memberi hasil; gejalanya tidak dikenal, bahkan makin menjadi-jadi. Kepekaan si anak menjadi hidup: telinganya yang tuli dapat mendengar azan yang sumbernya gaib, dan matanya bisa ‘melihat’ makhluk halus. Ibunya, yang membesarkannya sebagai single parent, menganggapnya sudah tidak waras. 

Suatu saat, rekan kerja saya itu membawa anak gadisnya ke kantor selama beberapa hari berturut-turut. “Daripada di rumah mengganggu adik-adiknya melulu,” ujar ibunya memberi alasan. Saya pun mengintensifkan komunikasi dengan si anak. Ia dapat membaca gerak bibir, sehingga saat berbicara saya harus menghadapkan wajah saya kepadanya agar ia dapat melihat pergerakan bibir saya. Tetapi, sebaliknya, ia harus menuliskan jawabannya di secarik kertas, karena saya nyaris tidak bisa menangkap apa yang diomongkannya. 

Pada dirinya, tiba-tiba saya melihat makhluk kesayangan Sang Pencipta. Manusia tuna (rungu, netra dan wicara/RNW) ternyata dianugerahi Tuhan dengan keistimewaan yang kebanyakan kita – yang justru menganggap diri normal, tidak bercacat – tidak memilikinya, sehingga cara menjalani hidup pun kita cenderung bercacat. Keberadaan manusia RNW, seperti putri dari rekan kerja saya itu, memberi saya kepahaman bahwa pikiran mereka tidak terdistorsi oleh berbagai macam paradigm dan bentukan budaya, sehingga tidak mudah menilai. "Kekurangan" mereka justru menghindarkan mereka dari mendengar hal-hal yang tidak bermanfaat, melihat pemandangan yang merusak serta mengucapkan kata-kata yang tidak baik. 

Spiritualitas kaum tuna RNW juga amat kaya, karena mereka memiliki apa yang sulit sekali kita capai tanpa berlatih secara khusus. Saya ajak gadis itu menenangkan rasa dirinya, merem (memejamkan mata) dan lerem (menentramkan diri). Mudah sekali ia menerapkan hal itu, sementara kawan-kawan saya yang "normal", termasuk ibu dari gadis itu, susah sekali melakukannya. “Bagaimana mungkin pikiran dikosongkan?!” kilah mereka. 

Manusia tuna RNW, dengan ketidakmampuan mereka mendengar, melihat dan berbicara, jelas memiliki gelas pikiran yang senantiasa cepat kosong. Mereka tak memahami dunia sebagaimana kita memahaminya dengan mata, telinga dan mulut lahiriah kita. Maka mereka pun cenderung damai di dunia batiniah. Karena gelas pikiran mereka sering dikosongkan dengan mudah – atau, paling tidak, isinya tidak keruh, maka pengisian ilmu dan kepahaman pun tak pernah terkendala. Sedangkan gelas manusia "normal" sering penuh, lantaran kemelekatan pada apa yang sudah diperoleh, sehingga penuangan berikutnya akan menyebabkannya meluber dan tumpah sia-sia. 

Mungkin Anda pernah secara khusus memerhatikan bahwa kita lebih mudah mendapatkan gagasan yang cemerlang di toilet atau saat baru bangun tidur. Saya kira, karena saat buang hajat atau tidur kita tidak terbebani oleh berbagai macam pikiran, yang campur-aduk tak karuan, membentuk nilai-nilai yang kemudian membatasi diri kita sendiri. Pada kedua momen itu kita memperoleh penyaluran secara rileks. Tidur sama saja dengan mati; pikiran kita mati atau kosong. Doa sebelum tidur dalam agama Islam saja berbunyi, “Bismika allahumma ‘ahya wa bismika amuutu – dengan nama Allah aku hidup, dan dengan nama Allah aku mati.” Saat buang hajat atau tidur, gelas pikiran kita cenderung kosong. Jadi, kalau pikiran Anda sedang sumpek atau kemrungsung akibat beban hidup yang terlalu berat, dan Anda merasa susah untuk merem dan lerem, baiknya Anda nongkrong di toilet atau tidur. 

Senantiasa mengosongkan gelas pikiran dari paradigma-paradigma lama atau usang membuat kita kaya pengetahuan, lantaran kita tidak menghambat mengalirnya kepahaman. Kita boleh saja memercayai suatu kebenaran, namun janganlah sampai terbelenggu olehnya. Bebaskan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan lain setelah Anda memahami yang sebelumnya. Pencerahan tidak datang sekali, melainkan berkali-kali. Kita harus bertransformasi diri setiap waktu; jangan jadi pribadi yang itu-itu saja sepanjang hayat. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seorang yang beriman mengalami hijrah (transformasi hati) empat puluh kali sehari. Seorang munafik tetap keadaan agamanya selama empatpuluh tahun.” 

Anda mungkin pernah tahu ungkapan yang berbunyi, “Agama adalah untuk mereka yang tidak mau masuk neraka. Spiritualitas adalah untuk kita yang pernah melaluinya.” Itu mempertegas bukti-bukti yang ditandaskan para ahli agama bahwa umat yang pernah sesat ketika kembali lurus biasanya taraf imannya lebih teguh daripada mereka yang belum pernah ‘tersesat’. Lihat saja ulama-ulama kondang saat ini; rata-rata mereka sebelumnya pernah berada di jalan hidup yang rusak. Saya pribadi sangat bersyukur lantaran berkat pernah tercebur dalam kenistaan saya akhirnya dipertemukan Tuhan dengan Latihan Kejiwaan Subud (yang sampai sekarang kadang membuat saya menyesali, “Ah, kenapa nggak dari dulu ya?”) 

Sejumlah pembaca Note Facebook saya mengeritik, baik langsung maupun di belakang saya, oleh sebab sikap dan pernyataan saya yang tidak konsisten. Lha, bagaimana saya bisa konsisten dan teguh mempertahankan sikap dan pendapat apabila dalam proses perjalanan hidup ini saya senantiasa tumbuh dan berkembang. Bukankah hidup ini suatu proses pembelajaran yang berkesinambungan (continuous learning process)? Satu-satunya yang tetap kan cuma perubahan. Dan jika Anda tak pernah berubah, itu artinya gelas pikiran Anda tak pernah menyediakan tempat bagi penuangan kepahaman-kepahaman baru, yang menjauhkan Anda dari pencerahan. Dahaga Anda takkan pernah terpuaskan.©2009



Jakarta, 10 Agustus 2009

No comments: