Wednesday, August 19, 2009

Maka Yang Tersisa Adalah…

“Produk tercipta di pabrik. Merek tercipta di benak konsumen.”
—Walter Landor (1913-1995)

“Apa artinya sebuah nama? Yang kita namakan mawar akan
sama harumnya dengan nama yang lain.”
—William Shakespeare (1564-1616)


Saudara Subud saya, seorang dosen yang mengajar periklanan di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, suatu kali bercerita kepada para mahasiswanya bahwa ia menelan tablet Feminax ketika sakit kepala dan minum Kiranti saat haus. Para mahasiswanya tentu takkan terkejut dan meributkan hal itu seandainya saudara Subud ini bukan seorang pria!

Lalu, saudara Subud saya ini mengajak para mahasiswanya mengurai kedua produk ‘khas wanita’ itu satu per satu. Feminax, bila dicabut mereknya yang mengacu pada kata ‘feminin’, ditiadakan iklannya yang menginformasikan bahwa itu obat untuk mengatasi sakit akibat haid, maka yang tersisa adalah parasetamol yang digunakan secara luas sebagai pereda nyeri (pain reliever) dan antipiretik (penurun demam), yang boleh dikonsumsi pria maupun wanita, sedang haid atau tidak. “Apakah buah dada saya bakal membesar dan berganti kelamin jika saya mengonsumsi Feminax?!” seru saudara Subud itu di ruang kuliah.

Kiranti, bila dihapus mereknya dan dihentikan promosinya yang mengedukasi pasar bahwa ia minuman khusus untuk wanita yang sedang datang bulan, maka yang tersisa adalah air ekstraksi kunyit dan asam plus gula jawa yang di Surabaya dikenal sebagai sinom dan dijual secara umum kepada mereka yang kehausan, tanpa memandang jenis kelaminnya.

Mengapa ada makanan enak dan tidak enak? Mengapa orang miskin cukup puas dengan kekurangannya dan orang kaya bangga dengan kelebihan hartanya? Mengapa gagal itu menyakitkan dan sukses itu menyenangkan? Semua berawal dari pikiran yang memproduksi persepsi akibat pengaruh lingkungan. Orang kaya tidak mau disuguhi makanan sederhana dan tidak enak, karena dipersepsikan tidak cocok dengan kondisi kekayaannya, padahal bila makanan enak dan tidak enak diurai hingga ke esensinya, yang tersisa adalah kenyataan bahwa bahan dan bumbunya sama saja. Yang berbeda hanya tampilannya semata.

Saya menandai bahwa sejumlah mitra kerja saya di dunia permerekan yang secara materi mampu, tetapi tidak, membeli BlackBerry. Ketika saya tanyakan alasan mereka, saya pun dibawa ke momen penguraian berbagai telepon seluler (ponsel) pintar. Yang tersisa adalah nama (merek) yang berbeda, namun isinya sama: papan soket di mana sejumlah komponen elektronik terhubung satu sama lain, yang penampilannya tidak menarik minat siapa pun kecuali, mungkin, mahasiswa teknik elektro atau pelajar sekolah menengah kejuruan listrik. Isi tersebut bisa diberi pakaian dan nama apa saja, terserah kita. Toh tidak bakal mengubah esensinya. BlackBerry dibeli lebih disebabkan oleh namanya yang menunjang gengsi pemiliknya yang didorong oleh persepsinya yang dibangun sedemikian rupa oleh berbagai upaya komunikasi pemasaran.

Dari mana gengsi itu berasal? Dari pikiran. Jadi, kalau Anda punya keinginan tak terbantahkan untuk membeli BlackBerry, namun apa daya kocek tak sampai, tenangkan diri Anda dan uraikan esensi di balik merek BlackBerry serta merek ponsel yang Anda miliki saat ini.

Dokter-dokter Barat dewasa ini berkesimpulan bahwa hampir semua penyakit disebabkan oleh hal yang sama, yaitu pikiran. Suatu penyakit bisa menjadi parah atau malah sembuh juga disebabkan oleh pikiran. Lagi-lagi, keadaan pikiran itu dipengaruhi oleh ‘merek’ penyakitnya. Kita umumnya susah untuk berpikir positif jika penyakit yang kita derita bermerek ‘kanker stadium akhir’, sebaliknya akan santai saja apabila disuguhi merek ‘pilek biasa’. Hiromi Shinya, M.D., dalam bukunya The Miracle of Enzyme: Self-Healing Program – Meningkatkan Daya Tahan Tubuh, Memicu Regenerasi Sel (Jakarta: Qanita/PT Mizan Pustaka, 2009), antara lain menganjurkan agar kita bermeditasi dan senantiasa berpikir positif – ketimbang mengonsumsi obat dan suplemen berbahan kimia.

Saat ini, saya menderita DVT (deep vein thrombosis) atau terjepitnya saraf di paha saya akibat terlalu lama duduk ketika melakukan perjalanan jauh menumpang mobil bulan April lalu. Lama-lama, saya menyadari bahwa apabila pikiran saya tenang, tidak kemrungsung (kacau), sakitnya tidak akan terasa sama sekali, dibandingkan jika saya cemas. Karena itu, berkat DVT, saya kini dapat mendorong diri saya agar senantiasa berpikir positif.

Mengurai segala sesuatu terlebih dahulu telah menjadi kebiasaan saya dan saudara Subud tersebut di atas agar kami senantiasa terdorong untuk berpikir positif. Kebetulan kami berdua telah lama bergelut dengan komunikasi merek dan pemasaran produk, sehingga dapat memahami bahwa segala sesuatu yang sifatnya bertentangan pada intinya sama saja, tak ada beda.

Uraikan dan temukan esensi dari segala sesuatu yang menjadi bagian dari hidup Anda: sehat-sakit, kaya-miskin, sukses-gagal, pintar-bodoh, kebaikan-keburukan, bahagia-menderita, kehidupan-kematian. Maka yang tersisa adalah…©


Jakarta, 3 Juli 2009

No comments: