Wednesday, August 19, 2009

Menyerah untuk Sukses

Merupakan hal yang hampir lumrah bila profesional mematok target, karena dengan pijakan target biasanya pekerjaan menjadi terarah visi dan misinya. Namun kebanyakan profesional dewasa ini -- di tengah tuntutan dunia yang semakin kompetitif -- malah mengekang diri dengan target-target, seolah kesuksesan merupakan efek dari kimia pribadi: bila berusaha keras, maka kesuksesan adalah imbalan logis dari usaha tersebut. Ini sering terjadi pada kita yang cenderung menetapkan target-target yang tidak sepadan dengan kemampuan kita. Sehingga begitu target gagal tercapai, kita akan terserang penyakit hati: marah, kecewa, iri pada kesuksesan orang lain dan, yang parah, menuduh Tuhan tidak adil.

Tolok ukur kesuksesan tidak terletak pada hasil yang dicapai ketika kita telah menuntaskan usaha kita dan memperoleh imbalan materi yang signifikan. Kesuksesan bukan berhasil menimbun kekayaan sebagai dampak dari upaya pekerjaan. Kesuksesan justru terletak pada kemauan kita untuk berproses. Kesuksesan adalah ketika kita berhasil melawan ketakutan dan kekhawatiran akan kegagalan dalam usaha. Berhasil menempatkan diri dalam proses, itulah makna sejati kesuksesan. Greget dan gelora semangat lebih terasa ketika kita berikhtiar, ketimbang ketika kita sampai pada perwujudan ekspektasi.

Di dunia yang fana ini, terdapat dua elemen kehidupan makhluk berakal, yaitu bentuk dan rasa. Menurut Rumi (dalam William Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi {Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003}), bentuk berasal dari rasa, seperti singa mewujud dari kegelapan belantara yang berasal dari pikiran. Walaupun tampaknya terpisah, tetapi bentuk dan rasa pada hakikatnya merupakan satu entitas yang tak terpisahkan satu sama lain. Gula harus berasa manis. Gula adalah bentuk kristalisasi tebu setelah mengalami pemrosesan tertentu. Rasa gula adalah rasa manis tebu. Tanpa rasa manis tebu, atau bahkan pahit seperti brotowali, tidak dapat disebut gula.

Manusia terdiri dari raga dan jiwa. Jiwa dan raga membentuk entitas bernama manusia. Di dalam jiwa bersemayam akal. Itulah yang membedakan manusia dari hewan; hewan hanya memiliki ruh dan hidup berdasar naluri hewaniah. Tetapi jiwa manusia juga tak dapat berdiri sendiri untuk dapat melakoni hidup di dunia. Manusia pun diperlengkapi dengan rasa diri, yang membungkus jiwa.

Bagaimana membangkitkan rasa diri? Yang telah dilakukan orang-orang di masa lalu, kebangkitan rasa diri dimulai dari kemauan menentramkan batin, menghentikan sementara bekerjanya akal pikir dan hawa nafsu. Atau, tepatnya, yang selama ini akal pikir dan hawa nafsu dipertuan, dikembalikan kepada proporsi hakikinya sebagai pembantu. Dengan ketentraman batin mereka melakoni penyerahan diri kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa dengan sabar, ikhlas dan tawakal. State of submission ini membawa mereka ke state of transcendency (kontak batiniah dengan Tuhan), mengikuti gerak diri secara spontan begitu rasa diri terbebas dari pengaruh akal pikir dan hawa nafsu.

Apa sebab hawa nafsu dan akal pikir harus dipisahkan dari rasa diri, sedangkan kedua unsur itu merupakan alat peserta hidup kita yang utama, yang dapat digunakan untuk mempertinggi dan memperluas wawasan intelektual kita? Dengan masih adanya hawa nafsu kehendak dan akal pikir dalam rasa diri, kita tidak akan dapat sampai ke state of transcendency, sehingga tidak mungkin mendapatkan kontak spiritual dengan Ruh Yang Maha Kuasa yang sesungguhnya telah meliputi, baik di dalam maupun di luar rasa diri.

Bila kita menyerahkan semua hasrat, harapan, ketakutan dan angan-angan tanpa terkecuali, maka yang tersisa adalah rasa diri yang hakiki! Apakah kita yang hidup di zaman modern ini bisa membangkitkan rasa diri, mengingat orang-orang di masa lalu harus melakoni laku prihatin (self-denial) dan laku tapa di hutan atau pegunungan? Para profesional, apalagi, terikat jadwal kerja dan sebagian sudah berkeluarga, sehingga tidak mungkin meninggalkannya.

Sesungguhnya, membangkitkan rasa diri bisa dilatih tanpa harus menjalankan laku prihatin dan tapa. Hanya berbekal kemauan untuk berserah diri dengan ikhlas, menumbuhkan rasa bahwa hanya Tuhan Yang Maha Berkehendak, sedang manusia hanya dapat berikhtiar dan berencana. Sikap menyerah seperti ini membuat kita dapat mengakses langsung 'kekuasaan' di balik kehidupan manusia (beyond human life) tanpa syarat amalan khusus serta meniadakan hubungan guru-murid, teori, ajaran atau pelajaran, maupun tata cara ritual penyembahan. Dengan sikap itu, rasa diri benar-benar dirasakan sudah tidak lagi terpengaruh oleh nafsu, kehendak pribadi dan akal pikir.

Berserah diri bersinonim dengan 'memasrahkan hasil kepada Tuhan'. Manusia hanya berhak atas proses, sedangkan hasil ada di dalam kendali Sang Pencipta. Berserah diri tidak sama dengan menyerah tanpa usaha sama sekali. Berserah diri justru sebuah sikap proaktif, sebuah perjuangan habis-habisan untuk melaksanakan apa pun yang bisa kita lakukan sekaligus menyadari eksistensi kekuasaan Tuhan yang bekerja di luar kontrol kita.

Inti dari berserah diri adalah selalu dapat melakukan sesuatu dalam situasi apa pun. Berserah diri bukanlah duduk termenung dan berdiam diri, tetapi konsep yang sangat dinamis dan proaktif. Jangan salah, menyerahkan pada Tuhan bukanlah tindakan yang pasif tetapi suatu pilihan yang kita ambil secara sadar.

Sikap berserah diri akan memberikan ketentraman yang sejati. Dalam situasi tanpa kontrol, berserah diri berarti memilih untuk menerima apa adanya, serta menghilangkan keinginan, ambisi dan cita-cita apa pun. Orang yang berserah diri dianugerahi kehidupan yang mengalir seperti air. Kaya atau miskin, sehat atau sakit, beruntung atau sial adalah produk rasa yang diperintah akal pikir. Dengan manajemen akal pikir dan hawa nafsu, rasa diri kita dapat memerintah akal pikir untuk selalu mengedepankan sikap-sikap positif.

"Kepemimpinan selalu dimulai dari diri sendiri," ujar Colin Powell, mantan menteri luar negeri Amerika Serikat. Karena itu, mulailah melakukan perjalanan ke dalam, yaitu menyelami diri kita masing-masing dan mendeteksi adanya benih-benih penyakit spiritual. Awalnya pasti sulit, namun camkan kata-kata mantan Sekretaris Jendral PBB, Dag Hammarskjold (1905-1961), yang banyak melakukan perjalanan antar negara dan antar benua, "Perjalanan yang paling panjang dan paling melelahkan adalah perjalanan ke dalam diri kita sendiri."©


Jakarta, 7 Agustus 2009

No comments: