Tuesday, August 18, 2009

Relativitas Waktu

“Hanya waktu – oh, waktulah yang akan menceritakannya.”
—Bob Marley, Time Will Tell


Sufi besar Jalaluddin Rumi mengatakan bahwa waktu sejatinya tidak ada. Dengan adanya perputaran siang dan malamlah maka ada hari, ungkap Rumi dalam salah satu syairnya. Waktu ternyata bersifat relatif. Cepat atau lambat itu relatif, tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Bagi mereka yang sabar melewati suatu proses, waktu bisa berjalan sangat cepat, sedangkan bagi yang tidak sabar, ingin cepat-cepat selesai, maka prosesnya akan terasa sangat lambat dan bertele-tele. Saat tangan kita memegang panci panas, sebentar serasa lama sekali. Tetapi ketika kita asik mengobrol dengan wanita/pria berparas menawan, berbodi aduhai, waktu yang lama serasa singkat sekali.

Seperti itu pula rasanya ketika kita dihadapkan pada keadaan yang menyenangkan, menggembirakan hati. Hari-hari serasa berlalu dengan cepat. Sebaliknya, ketika kita menderita, waktu serasa panjang sekali. Ketika saya menderita infeksi lambung, saya harus diopname di rumah sakit selama delapan hari. Tetapi sakit yang tak terperi membuat saya tak sabar. Delapan hari pun serasa seabad. Tatkala saya menerima berbagai macam perawatan dan terapi, dari suntik sampai infus (sementara saya fobia jarum), dari menu makanan yang diatur secara ketat sampai tubuh saya dipindai dan dilarik dengan CT-Scan, endoskopi, USG dan Rontgen, peralihan jam ke jam, menit ke menit, detik ke detik, rasanya lama sekali.

Yang jelas dan pasti, perubahan selalu terjadi, seolah telah menjadi hukum alam. Tidak ada yang abadi, tidak ada yang tetap di alam semesta ini. Orang yang paling menderita adalah orang yang sulit menerima perubahan, terutama perubahan yang tidak enak. Dan karena kita tidak bisa menghentikan perubahan, maka kita harus selalu menyambut dan merangkulnya.

Bersabar adalah sikap mental untuk senantiasa siap menerima keadaan apa pun dan bagaimanapun, tanpa syarat. Sabar sesungguhnya memiliki dimensi yang lebih pada pengalahan hawa nafsu yang terdapat dalam jiwa kita. Sikap membanding-bandingkan adalah gambaran orang yang tidak sabar. Ketika menghadapi penderitaan atau tidak berkenan dengan suatu keadaan, dia akan cenderung mengeluhkan keadaan tersebut dan membanding-bandingkannya dengan segala kelebihan dari keadaan yang dikehendakinya.

Di lingkungan perkumpulan persaudaraan kejiwaan Subud saja, di mana anggota-anggotanya berlatih untuk menjunjung perasaan menyerah dengan sabar, ikhlas dan tawakal, masih terdapat anggota-anggota yang tidak sabar dan sebagian memilih untuk meninggalkan Subud karena menghadapi keadaan-keadaan dan orang-orang yang tidak sesuai dengan kehendaknya untuk jangka waktu yang lama dan sering – tanpa mau berusaha memahami dengan perasaan menyerah secara sabar, ikhlas dan tawakal bahwa keadaan/orang yang tidak dikehendaki pribadinya sejatinya merupakan kehendak Tuhan.

Melalui keadaan atau orang itulah kita belajar, kita merefleksi diri, jangan-jangan kita pun tak lebih baik dari keadaan atau orang itu. Seringnya, menurut pengalaman saya, keadaan atau tingkah laku orang lain yang buruk hakikatnya mencerminkan bahwa diri kita pun masih buruk. Makanya, kepada anggota Subud yang mengeluhkan keadaan buruk atau tingkah laku buruk anggota lainnya saya katakan, bahwa Subud bukan showroom mobil, yang memamerkan mobil-mobil kinclong yang menggoda pembeli untuk merogoh kocek, melainkan bengkel, di mana mobil-mobil yang ringsek akibat tabrakan atau mogok dibongkar dan dibersihkan untuk kemudian diluncurkan kembali sebagai mobil yang brand-new.

“Seorang mukmin merupakan cermin bagi mukmin lainnya,” sabda Nabi Muhammad. Kata-kata beliau menekankan bahwa sikap dan perilaku orang lain mencerminkan sikap dan perilaku kita sendiri. Jadi, kalau menghendaki orang lain mengubah sikap dan perilakunya, mulailah dengan mengubah sikap dan perilaku kita sendiri! Saat orang-orang ramai-ramai berteori begini-begitu tentang eksistensi ‘guru sejati’, yang dipromosikan berbagai aliran mistikisme, kita justru menjumpainya pada orang-orang dan keadaan-keadaan yang kehadirannya seringkali tidak kita kehendaki, yang justru memberi kita pelajaran bernilai tinggi tentang kehidupan yang bahagia. Tentu saja apabila kita mampu memaknai orang-orang dan keadaan-keadaan itu dengan kearifan yang mendalam.

Mengetahui serta menghayati kenyataan bahwa segala sesuatu pasti berubah seyogianya mendewasakan batin kita dan membuat kita merasa bahagia dengan aneka keadaan dan tingkah laku orang terhadap kita. Baik maupun buruk. Kesukacitaan maupun kedukacitaan datang silih berganti sebagaimana kehidupan kita yang langgeng oleh kelahiran dan kematian, penciptaan dan kehancuran. Saat kita senang, sadarilah bahwa suatu saat kesenangan itu akan berubah menjadi kedukaan. Namun, sebaliknya, saat kita menderita, sadari pula hal itu akan segera berlalu. Berapa lama jangka waktu datang dan perginya? Serahkan saja pada relativitas waktu.©

No comments: