Tuesday, August 18, 2009

Maksud Baik Belum Tentu Berakibat Baik

“Tangan dingin pemerintah tidak akan pernah dapat menggantikan
tangan yang senantiasa membantu dari seorang tetangga.”
—Hubert H. Humphrey (1911-1978)


Alkisah, seekor kera berjalan-jalan di tepi sungai. Melihat sebuah dahan pohon menjulur ke atas permukaan air, si kera menaikinya dan memandangi permukaan air sungai yang jernih. Tampak olehnya dua ekor ikan di dalam air. Tiba-tiba ia merasa iba dan dengan segera ia menangkap kedua ikan tersebut dan diletakkan keduanya di atas dahan di mana kera itu bertengger. “Aku telah menyelamatkan kalian dari musibah tenggelam. Kalian kini aman di sini bersamaku,” ujar kera. Kedua ikan itu tentu saja menggelepar dan megap-megap. “Lempar kami kembali ke dalam sungai,” teriak salah seekor ikan itu. “Kami tidak tenggelam. Habitat kami memang di dalam air!”

Kisah anekdot ini memberi contoh bahwasanya kita mesti mengetahui terlebih dahulu apa yang dibutuhkan orang yang hendak kita bantu. Sebab apabila pemberian bantuan kita salah sasaran, bisa-bisa maksud baik kita malah berakibat tidak baik.

Maksud baik memang tidak selalu berakibat baik. Ini yang kadang sulit kita pahami atau terima, utamanya oleh mereka yang landasan pelajaran budi pekertinya adalah ‘selalu berbuat baik’. Anda perlu pengendalian diri, wawasan mengenai profil pihak yang akan Anda bantu dan pemahaman esoterik (batiniah) mengenai di mana posisi Tuhan dalam hal ini.

Pengendalian diri penting dalam berbuat baik. Di dalam diri kita bersemayam dua kekuatan yang tak henti-hentinya bertarung: kekuatan Ilahiah dan kekuatan setaniah. Yang satu senantiasa berusaha menguasai yang lainnya. Mengapa pengendalian diri penting dalam melakukan sesuatu yang positif? Karena kita mudah terjebak oleh ego kita sendiri; ini yang dikhawatirkan oleh para guru sufi ketika melatih murid-murid mereka dalam berbuat baik. Saya pernah mengalaminya.

Suatu kali, saya membantu saudara Subud saya yang sedang mengalami ujian hidup yang sangat berat. Saya mengabaikan peringatan saudara-saudara Subud lainnya, bahwasanya tanpa ‘mengecek diri sendiri’ terlebih dahulu bisa-bisa saya terjebak dalam sikap sok pahlawan di hadapan Tuhan. Tetapi saya bersikeras -- kok orang yang di dekat saya tidak dibantu?! Saya bantu saudara Subud itu mendapat pekerjaan di tempat saya bekerja. Bos saya malah menawarinya tempat berteduh dan makan tiga kali sehari. Tidak sampai sebulan kemudian, ia mengkhianati saya dan bos saya, dengan membawa kabur keuntungan yang diperoleh perusahaan!

Terus terang, saya memang merasa punya andil besar dalam memberi bantuan; merasa bahwa Tuhan tidak ada apa-apanya dibanding saya yang bisa segera memberi bantuan.

Beberapa tahun kemudian, ketika saudara Subud saya itu sudah sintas dari ujian berat hidupnya – dan pada saat yang sama saya sudah memohon ampunan Tuhan karena telah mendahului kehendakNya – ia menyampaikan kepahamannya, bahwa apa yang sebenarnya dibutuhkannya saat ia melewati jalan derita hidupnya bukanlah keberlimpahan materi, melainkan kesadaran pribadi bahwa ia bisa memohon pertolongan pada Tuhan Yang Maha Menolong.

Dari pengalaman itu, saya memetik pelajaran tentang pentingnya merasakan diri dan diri pihak lain terlebih dahulu, merenungkan situasi dari berbagai sisi, sebelum memutuskan berbuat baik pada yang bersangkutan. Sebab, yang kita anggap baik bagi seseorang, belum tentu baik bagi dirinya. Kita di Jakarta sering menganggap apa yang baik bagi orang di daerah adalah yang sejalan dengan tolok ukur kita di Jakarta, sehingga ketika hal itu tidak terwujud, kita lantas menganggap telah terjadi ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi. Pertimbangan yang keliru ini juga dianut oleh masyarakat Barat terhadap kita di Indonesia.

Di Papua, belum nyata benar perkembangan teknologi informasi, namun ketika saya sarankan seorang pemuda Sentani yang telah mengenyam bangku kuliah untuk membuka akun Facebook agar dirinya punya banyak teman, ia malah menertawakan saya seraya berkata, “Saya bisa pergi langsung ke teman itu to?!” Ah, rupanya saya tidak memahami bahwa di habitatnya silaturahmi dengan bertemu muka langsung lebih baik daripada lewat sarana teknologi yang kehilangan sisi personal dari hubungan antar-manusia. Segera saja saat itu saya merasa laksana kera yang mencoba menyelamatkan ikan dengan mengeluarkannya dari dalam air!

Dan kera-kera seperti saya rupanya tidak sedikit. Memprihatinkan kondisi perekonomian masyarakat di kabupaten yang dikelolanya, Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, menyatakan maksud baiknya lewat pencanangan Gerakan Wajib Tanam Kakao sejak tahun 2006, karena kakao punya nilai ekspor. Pak Bupati berniat mengubah pola pertanian penduduk dari subsisten (bertani untuk memenuhi kebutuhan sendiri) menjadi berorientasi pasar, yang secara ekonomi lebih menguntungkan. Tanah Papua baik untuk ditanami kakao, ketimbang padi yang pernah dicanangkan oleh kera-kera di Jawa sebagai pengganti sagu dan umbi-umbian, karena padi terbukti baik bagi orang Jawa. (Saya jadi teringat pada relasi saya yang baru-baru ini meninggal akibat perut Jawanya tidak sanggup mencerna makanan yang disajikan di tempat penugasannya di kawasan Indonesia Timur.)

Namun, sayangnya, Pak Bupati kurang menyelami tradisi masyarakat – padahal ia sendiri asli Papua. Kakao adalah jenis tanaman yang agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik harus di-tongkrongi (dirawat dengan cermat) secara terus-menerus oleh petani. Tetapi dasarnya orang Papua menganut gaya hidup semi-nomadik, perkebunan kakao mereka kerap ditinggalkan tak terawat dan tidak dipanen hingga buahnya membusuk, karena petaninya pergi mengunjungi kerabatnya di kampung lain selama berbulan-bulan. Jadi, maksud sang bupati supaya masyarakat mandiri dalam mengupayakan kesejahteraan diri mereka gagal di beberapa tempat.

Kenyataan ini diperparah oleh kera-kera Barat yang datang dengan wajah lembaga swadaya masyarakat pemberi dana bantuan, karena dianggap mereka orang Papua miskin akibat kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak adil dan menindas. Dana-dana itu tidak disertai program pengentasan kemiskinan yang jelas dan terarah, mengakibatkan masyarakat Papua semakin terbuai kemalasan. Padahal orang Papua terlahir sebagai pekerja keras. Betapa tidak, bila perlu uang tinggal mengemis dana bantuan internasional.

Dibantu salah, tidak dibantu juga salah. Makanya, direnungkan dahulu bantuan seperti apa yang akan diberikan. Jangan sampai maksud baik berakibat tidak baik.©

No comments: