Wednesday, August 19, 2009

BIARKAN HIDUP MEREKAH


“Anda dibangun bukan untuk menyusut tetapi untuk kian merekah.”
—Oprah Winfrey, dalam O Magazine, Februari 2003.


Beberapa tahun belakangan ini, saya acap bersua dengan para pekerja kreatif periklanan yang baru ‘kemarin sore’ melangkah di industri ini. Karena baru, mereka umumnya sedang asik-asiknya menghimpun portfolio yang banyak dan – mesti – yang cool, seperti iklan cetak atau televisi dari merek-merek yang top atau berpotensi memenangkan penghargaan. Tahun lalu, misalnya, saya bertemu dengan yunior saya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dahulu yang telah menjadi copywriter (penulis naskah iklan) di sebuah biro iklan papan atas. Ia termasuk golongan seperti tersebut di atas. Sehingga waktu saya meminta dia (dengan imbalan, tentu saja) untuk membantu saya mengerjakan beberapa proyek penulisan laporan tahunan (annual report) dan profil perusahaan, dengan mimik melecehkan ia menolak. “Gue lagi ngumpulin portfolio yang cool dulu, nih,” katanya, seraya ngeloyor pergi.

Golongan penghimpun portfolio keren bukan saja mencakup anak-anak kemarin sore di dunia periklanan, tetapi ada juga yang dari kalangan para pelaku kawakan, yang sudah malang-melintang di medan komunikasi pemasaran selama minimal sepuluh tahun. Saya pun pernah menjadi makhluk semacam itu, sampai suatu saat saya memperoleh kepahaman, bahwa apabila saya menolak atau tergesa-gesa menghadapi suatu peristiwa atau keadaan dalam hidup ini berarti saya tidak membiarkan hidup saya merekah, tumbuh dan berkembang sempurna.

Saya mengibaratkan hidup ini bagaikan sekuntum bunga. Ketika kita dilahirkan di dunia, maka hidup kita ini bagaikan bunga yang masih kuncup. Hujan dan sengat matahari, siang dan malam terus menyirami kita. Kita dihinggapi kupu-kupu dan lebah pengisap madu, juga ancaman dipetik ketika hidup kita bahkan belum sempurna. Untuk tampil penuh dan merekah cantik, bunga itu harus melalui proses yang berliku. Banyak dari kita yang tidak sabar dengan proses menuju hidup yang merekah secara penuh dan menggelora. Semua ingin mereka capai, kalau bisa, secara serba instan. Padahal, melalui proses tersebut kita beroleh pelajaran, pengalaman dan pemahaman yang dapat menjadi bekal untuk melakoni hidup. Banyak dari kita tidak bersedia memberi hidup mereka kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, utamanya karena mereka tidak sabar serta berat hati untuk melewati prosesnya.

Ketergesaan, sebagaimana dituturkan oleh pengalaman saya, melemahkan kepekaan kita. Hidup kita menjadi tidak kreatif, tidak berjiwa, serta kita tidak akan mampu memaknai maksud dan tujuan hidup kita. Ketidaktahuan mengenai apa tujuan hidup kita lebih mengerikan daripada kematian, karena kita bakal seperti orang buta yang berjalan tertatih-tatih tanpa tujuan. Hidup tanpa mau melalui prosesnya juga membuat kita miskin secara material, intelektual serta spiritual. Kita akan cenderung menyesali dunia di mana kita hidup.

Meski kini saya sudah lebih dari lima belas tahun menggeluti profesi saya sebagai copywriter, saya sadar bahwa dengan membatasi diri atau menghindari diri dari jenis-jenis pekerjaan yang kesannya tidak bergengsi sama saja saya menolak untuk berproses. Sama saja saya menolak rezeki dari Allah – yang baru dapat kita ketahui kebenarannya apabila kita telah mewujudkannya melalui berbagai tindakan ikhtiar. Dalam lima tahun terakhir, saya telah ditawari berbagai kesempatan, yang umumnya ‘melenceng’ dari dunia periklanan serta kesukaan-kesukaan saya lainnya, namun tidak saya tampik. Bukan karena saya serakah, bukan pula demi imbalannya – yang kadang tidak sepadan dengan ukuran pekerjaannya, melainkan karena saya terdorong oleh rasa penasaran: ke mana kesempatan-kesempatan itu akan membawa saya dan pada akhirnya saya akan tiba di mana.

Kadang kita sampai pada suatu keadaan yang mengecewakan atau di luar harapan kita, atau suatu kondisi yang tidak kita mengerti. Tetapi tetap saja kita harus memberi kesempatan pada hidup kita untuk berkembang. Kepahaman atas hal itu mungkin tidak segera menghampiri kita saat itu juga, tetapi lama kemudian; tidak tahu kapan, tiba-tiba saja kita akan dimengertikan oleh suatu pengalaman.

Dengan saya tidak menutup pintu saya terhadap jenis-jenis pekerjaan yang secara subyektif dianggap tidak bergengsi atau tidak ‘mencemerlangkan’ portfolio, alhamdulillah kini bertambah luas wawasan saya serta bertambah banyak kemampuan saya. Hidup saya merekah sedemikian rupa, serasa begitu luas. Dan saya pun semakin menginsafi betapa berlimpahnya kekayaan material, intelektual dan spiritual yang Tuhan berikan atas diri manusia.

Hadapi segala peristiwa dan keadaan dalam hidup Anda dengan sabar, ikhlas dan tawakal. Dan biarkan hidup Anda merekah secara penuh.©


Jakarta, 8 Agustus 2009

No comments: