Tuesday, August 18, 2009

'P' Ke-6

“Satu-satunya yang membuat hidup itu mungkin adalah ketidakpastian
yang permanen dan tak tertahankan beratnya; tidak tahu apa yang akan datang kemudian.”
—Ursula K. Le Guin


Selasa pagi, 26 Mei 2009, saya mengantar istri saya ke markas Kodam Jaya di Jalan Mayjen Sutoyo, Cililitan, Jakarta Timur, untuk suatu urusan. Karena belum sarapan, sekalian menunggu istri saya selesai urusannya, saya mampir di sebuah warung Tegal (warteg) tidak seberapa jauh dari gerbang kompleks markas Kodam Jaya.

Warteg itu sepi pembeli, dan karena saya menunggu istri saya hingga sore, saya merupakan satu dari segelintir pembeli dan satu-satunya yang makannya dua kali (sarapan dan makan siang). Beberapa kali saya dengar ibu pemilik warteg berkeluh-kesah, baik kepada anak-anaknya yang membantunya melayani pembeli maupun kepada sesama pedagang dan juru parkir, tentang sepinya pembeli.

Penjual minuman ringan dan dingin di muka warteg juga mengeluhkan hal yang sama. Cuaca yang panas dengan matahari yang bersinar terik rupanya tidak mendorong pejalan kaki yang lalu-lalang sambil menyeka keringat dan para calon penumpang bus dalam dan antar kota untuk mampir beli minum. Aneh sekali, saya pikir.

Ketika tiba jam makan siang, seorang lelaki paruh baya berbadan kurus yang memikul dan menenteng dagangannya berupa boneka bantal berwajah Dora Emon singgah mengisi perut di warteg. Ibu pemilik warteg bilang bahwa ia ragu barang dagangan si lelaki bakal laku. “Lha, saya jual makanan yang kebutuhan utama orang saja sepi kok, apalagi mainan,” kata si ibu. Ucapan ibu itu mengundang simpati saya pada si pedagang boneka bantal, dan dalam hati saya doakan agar Tuhan membukakan pintu rezekinya.

Sudah sejak lima tahun belakangan ini saya tidak memercayai lagi bahwa pemasaran itu memiliki hukum yang pasti berlakunya. Philip Kottler memformulasikan bauran pemasaran (marketing mix) 4P (product, price, place, promotion) agar upaya pemasaran bisa berhasil. Salah satu klien saya dahulu bahkan pernah ngotot bahwa apabila biro iklannya menerapkan 4P dalam rancangan strategi komunikasi pemasarannya, maka mereknya akan sangat berhasil di pasar. Praktiknya, tidak demikian. Bagaimanapun, dalam hidup di mana yang pasti itu hanyalah ketidakpastian, saya kira bauran pemasaran seharusnya 5P, dengan ‘P’ yang ke-5 mewakili prayer (doa). Saudara Subud saya yang sama-sama praktisi komunikasi pemasaran memfinalkan dengan ‘P yang ke-6: permission, alias ‘perkenan Gusti Allah’.

Ketika ajaran agama mengharamkan umat untuk memercayai ramalan para ahli nujum, karena hal itu dianggap mendahului kehendak Tuhan, pada saat yang sama kita meyakini kepastian hasil sebagaimana yang diramalkan atau dirumuskan secara teoritis oleh para pemasar, analis politik dan ekonomi, serta makhluk-makhluk sejenisnya, dan menjalani hidup atas dasar itu.

Ramalan atau rumusan dalam segala bidang kehidupan harus disikapi sebagai antisipasi, bukan kepastian yang mutlak. Walaupun ada sejumlah perokok berat yang mencapai usia panjang, sedangkan yang tidak merokok malah mati muda, bukan berarti merokok itu baik bagi kesehatan. Dalam hal ini, berlaku perkenan Gusti Allah tadi, meski mungkin sulit bagi kita untuk memahaminya. Bila kita tahu bahwa merokok bisa membahayakan kesehatan, tetapi kita tetap merokok, dalam pandangan saudara Subud saya – mengutip Alkitab – itu namanya ‘mencobai Tuhan'. Kita harus mengantisipasi akibat buruk rokok dengan menghindari rokok. Tuhan memang akan menentukan akhir kita, namun bukan berarti kita boleh berhenti berusaha.

Segala sesuatu yang menyangkut hidup kita tidak ada yang pasti. Apa yang berhasil di sejumlah tempat, jangan serta-merta dipukul rata bahwa di semua tempat akan sama keadaannya. Oleh karena itu, para guru bijak mengajak kita untuk senantiasa ‘hening dalam kebijaksanaan’, bersikap sabar, ikhlas dan tawakal dalam membiarkan Tuhan mengimplementasikan kehendakNya. Dalam hal ini, kita sama sekali tidak berhak menggugat, “Ya Tuhan, kemarin-kemarin Engkau beri aku kemudahan di banyak pekerjaan. Kenapa sekarang Engkau biarkan aku dihadang kesusahan?” Kita harus yakin bahwa di balik semua keadaan dan peristiwa ada rencanaNya.

Selama ini, kita merasa pasti bahwa rumah kita menawarkan keteduhan, keamanan dan kenyamanan. Penduduk Desa Geplak, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, mungkin juga akan selamanya merasa pasti dengan ketiga aspek itu seandainya pada Rabu, 20 Mei 2009, pukul 6.30 sebuah pesawat C-130 Hercules tidak jatuh menimpa rumah mereka.

Ironi ketidakpastian tampak nyata dalam musibah ini: penghuni rumah ada yang tewas, sedangkan pesawat yang celaka menyisakan sebelas penumpang yang selamat. Mereka yang selamat maupun orang-orang yang menyaksikan tidak percaya mereka bisa selamat mengingat kondisi pesawat yang hancur lebur. Kondisi mereka kira-kira sama dengan para pedagang makanan dan minuman di ruas Jl. Mayjen Sutoyo, Cililitan, yang terlalu percaya pada khasiat 4P sampai tidak percaya bilamana dagangan mereka pada Selasa naas ini tidak laku.

Dengan menginsafi bahwa tidak ada yang pasti dalam hidup ini dan bahwa segala yang terjadi merupakan perkenan Gusti Allah, bukan karena kebetulan, kita akan mampu melihat dengan jernih, meraih kearifan dan tertuntun hidup kita olehnya. Jika Anda menghayati secara khidmat perkenan Gusti Allah (yang didaulat saudara Subud saya sebagai ‘P’ ke-6 dari bauran pemasaran), Anda pasti (sekaligus juga belum pasti) siap menerima kenyataan dari ketidakpastian apa pun yang Anda hadapi.©

No comments: